Opini

Opini: Fatherless dan Natal

Natal menjadi menjadi momentum untuk sejenak merenungkan kembali peran ayah dalam kehidupan seorang manusia. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Iron Sebho 

Oleh: Iron Sebho
Tinggal di Seminari KPA St. Paulus Mataloko, Ngada, Flores

POS-KUPANG.COM - Menjadi ayah yang hebat untuk anak-anak adalah kebanggaan setiap pria. Namun, kehilangan ayah adalah luka yang dalam bagi anak-anak. 

Geliat kehidupan tanpa ayah tengah merasuki ruang kehidupan dewasa ini. Konstruksi budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk paling kuat, kini mendapati dirinya terkapar di tengah modernitas. 

Keluhan dan teriakan generasi tanpa ayah ( fatherless) adalah kritik paling tajam yang membungkam taring patriarki. 

Superioritas ayah dalam euforia budaya masa lalu, hanyalah sinopsis dalam sejarah panjang peradaban manusia.

Natal menjadi menjadi momentum untuk sejenak merenungkan kembali peran ayah dalam kehidupan seorang manusia. 

Salah satu tokoh Natal yang menjadi titik refleksi dalam tulisan ini adalah Santo Yoseph. 

Santo Yoseph menjadi saksi sejarah yang menggambarkan bagaimana menjadi ayah di tengah ketidakmengertiannya atas misteri Allah. 

Hatinya yang tulus adalah bongkah emas yang melapisi seluruh ritme hidupnya bersama Maria dan Yesus. 

Fatherless tengah menjadi isu global.  Indonesia menempati urutan ke-3 fatherless country di dunia menurut Global Fatherhood Index Report 2021. 

Fatherless sering juga disebut father hunger, yaitu sebuah kondisi ketidakhadiran atau kurang maksimalnya peran ayah dalam proses tumbuh kembang anak. 

Ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak memberikan dampak yang sangat signifikan dalam tumbuh kembang anak. 

Dalam skala global, banyak negara telah mempertimbangkan dampak yang ditumbulkan oleh fatherless

Dampak yang diwaspadai ialah kurang percaya diri secara emosional, lemah dalam bersosialisasi, menurunnya prestasi akademik, hingga mengalami kesehatan mental.

Penyebab utama fatherless adalah kondisi ekonomi, yang menyebabkan pergeseran prioritas dari seorang ayah. Hal ini menciptakan kesenjangan emosional antara ayah dan anak.

Penyebab lainnya ialah perceraian, dan juga kematian. Beberapa lembaga internasional telah mengambil langkah preventif. 

Unicef melalui “Responsible Fatherhood”, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mencangankan program “Healthy Fathers, Healthy Families. The International Center for Research of Women’s mengagendakan program”Engaging Men and Boys”. 

Program-program ini mendorong penguatan peran ayah dalam keluarga melalui pelatihan, konseling, peningkatan kesadaran, hingga memberikan rekomendasi kebijikan kepada para pemangku kebijakan. 

Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada mengeluarkan kebijakan untuk meminimalisir krisis ini. 

Langkah yang ditempuh untuk mendukung peran ayah dalam keluarga ialah dengan memberikan cuti melahirkan bagi ayah, ruang kerja yang fleksibel, hingga keringanan pajak.

Keayahan Santo Yoseph

Sejarah keselamatan tidak terlepas dari sosok yang sangat fenomenal, yaitu Santo Yoseph. 

Ia tampil sebagai pribadi yang melawan arus tradisi dengan mengambil Maria sebagai istrinya. Sekalipun ia tahu bahwa Maria mengandung bukan dari darah dan dagingnya. 

Ia menemani perjalanan Maria dalam seluruh hidupnya, mulai dari pencatatan jiwa di Yerusalem, kesetiaannya mencari tempat bagi kelahiran Yesus, dan kisah penjagaannya di kandang hina Betlehem, mengungsi menuju tanah Mesir, dan kisah perjalanan merayakan Paskah di Yerusalem bersama Yesus dan Maria, serta petualangannya mencari Yesus yang tengah berdebat
dengan guru agama. 

Kitab Suci tidak mencatat seberapa banyak kata yang diutarakan oleh Santo Yoseph. 

Bahkan Leonardo Boff menyebut kisah Santo Yoseph seperti sebuah bidang tanah yang jauh dari benua teologis atau bahkan tidak ada sama sekali. Kehadirannya hanya sebagai pelengkap atau memliki peran sekunder dalam sejarah keselamatan. 

Namun keheningan hatinya telah membawa andil besar dalam sejarah keselamatan. 

Santo Yoseph dilukiskan sebagai pribadi yang tulus hati oleh para teolog, karena hatinya seperti hati Maria: conservabat Omnia verba haec in corde-menyimpan semua perkara di dalam hatinya (Luk. 2: 51). 

Keheningan hati yang tulus untuk menemani Maria dan Yesus seluruh hidupnya adalah sikap keayahan Santo Yoseph yang memungkinkan revolusi Allah dalam kehidupan manusia terpenuhi.

Natal dan Revolusi Peran Ayah

Kisah Natal di Betlehem menjadi revolusi kehidupan, di mana peran ayah mendapat tempat dalam kehidupan seorang anak. Ayah adalah dia yang selalu menemani tanpa batas. 

Ayah adalah dia yang memeluk kesederhanaan dengan kasih yang besar, dan memberikan segalanya untuk mimpi-mimpi yang tanpa batas. Santo Yoseph menjadi teladan bagaimana membangkitkan kembali generasi yang memiliki ayah. 

Santo Yoseph membungkam gagasan patriarki yang melihat ayah sebagai simbol otoritas. Sulit memetahkan secara komprensif peran ayah yang sejati. 

Namun, dalam keheningan Santo Yosef di Betlehem, hidup sebuah memori kolektif yang memungkinkan anak-anak mendapat kasih sayang dan perlindungan. 

Sebab anak adalah anugerah, bukan produk keinginan atau instrumen ambisi manusia, demikian kata Filsuf Harvard, Michael Sandel.

Natal menjadi momen revolusi bagi para ayah untuk menguatkan kapasitas perannya dalam kehidupan keluarga. 

Natal memanggil pulang para ayah untuk memeluk kembali anak-anak mereka, merangkul dengan kasih yang utuh, dan memberikan tempat dan waktu bagi keluarga. 

Natal menjadi momentum untuk membungkam keraguan generasi kepada para ayah. Bahwasanya, di dalam diri seorang ayah terdapat harapan, kelembutan, dan keajaiban. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved