Konflik Timur Tengah

Sedang Hadapi Pasukan Houthi di Laut Merah, AS Malah Tembak Pesawat Sendiri Pakai Rudal

Jet tersebut baru saja lepas landas dari geladak USS Harry S Truman. Para pilot selamat karena bisa keluar sebelum pesawat dihancurkan rudal

Editor: Agustinus Sape
AP/US NAVY/KELASI AARON HARO GONZALES
Foto dari Angkatan Laut AS menggambarkan jet tempur F/A-18 Super Hornet siap lepas landas dari geladak terbang Kapal Induk USS Theodore Roosevelt, 5 Juli 2024, di Laut China Selatan. 

POS-KUPANG.COM, DOHA - Amerika Serikat tengah menyelidiki penembakan satu jet tempur F/A-18F. Jet dari kapal induk USS Harry S Truman itu ditembak dari kapal perang USS Gettysburg. Insiden terjadi di tengah saling serang AS dengan Houthi.

Penembakan terjadi pada Minggu (22/12/2024) di Laut Merah. Lokasi kejadian di antara Arab Saudi dan Sudan. Dalam pernyataan Angkatan Laut AS disebutkan, kecelakaan itu merupakan insiden paling serius sejak AS beroperasi menghadapi pemberontak Houthi di Yaman dalam 1,5 tahun terakhir.

Saat insiden terjadi, jet tersebut baru saja lepas landas dari geladak USS Harry S Truman. Para pilot selamat karena bisa keluar sebelum pesawat dihancurkan rudal dari USS Gettysburg.

Kapal itu bagian dari gugus tempur laut USS Harry S Truman. Guspurla tersebut baru beberapa hari kembali ditugaskan ke Laut Merah.

Baca juga: Paus Fransiskus Kembali Kecam Serangan Israel, Dorong Penyelidikan Dugaan Genosida di Gaza

Karena satu guspurla, AL AS belum tahu mengapa penembakan bisa terjadi. Biasanya, semua kapal dalam satu guspurla saling menghubungkan sistem radio dan radar.

Komando Tengah AS, penanggung jawab operasi militer AS di Timur Tengah, menyatakan bahwa guspurla USS Harry S Truman sedang menangkis serangan Houthi saat insiden terjadi.

AL menyatakan, Houthi menerbangkan banyak pesawat nirawak dan menembakkan rudal antikapal. Dalam situasi itu, menurut Komando Tengah, awak kapal tidak punya banyak waktu bereaksi.

Guspurla USS Harry S Truman juga dilaporkan menyerang Sanaa, ibu kota Yaman, pada Sabtu malam hingga Minggu dini hari. Serangan disebut menyasar gudang senjata dan markas komando Houthi. Menurut pernyataan Houthi, AS menyasar Sanaa dan Hodeida.

Sejak Oktober 2023, Houthi meningkatkan serangan ke berbagai kapal di Laut Merah. Sasarannya terutama kapal yang terkait dengan Israel dan pendukungnya.

Serangan dinyatakan sebagai pembalasan atas serangan Israel ke Gaza dan belakangan Lebanon. Houthi menyatakan siap menghentikan serangan itu jika Israel berhenti menyerang Gaza dan Lebanon.

AS dan sekutunya menyikapi serangan Houthi dengan operasi gabungan. Kapal perang, jet tempur, dan helikopter serbu AS dan sekutunya berulang kali menyerang Yaman.

Gaza merana

Musim dingin sudah datang menyapa Natal yang akan tiba pada Rabu (25/12/2024). Akan tetapi, di Jalur Gaza, Palestina, selama dua tahun berturut-turut tidak ada sukacita Natal karena perang masih berkecamuk. Bahkan, untuk melindungi diri dari cuaca dan hawa beku, sebanyak 2 juta penduduk di wilayah ini pun tidak mampu.

Desember di Gaza tidak hanya datang dengan suhu dingin. Masih ada hujan, angin, dan jika suhu benar-benar turun, datanglah salju. Para warga di Gaza tidak punya mantel ataupun pakaian hangat. Tidak hanya itu, tempat tinggal mereka juga tidak mampu menahan beban cuaca.

pengungsi gaza_1312
Reda Abu Zarada (50), seorang pengungsi di Khan Younis, Jalur Gaza, Palestina, bersama cucu-cucunya menghangatkan diri di sekeliling api unggun di luar tenda mereka, 19 Desember 2024.

Para pengungsi akibat perang yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 itu tinggal di tenda-tenda. Tempat berteduh dari terpal, karung goni, ataupun plastik itu sudah semakin tipis.

Sebagian malah sobek dan bolong-bolong setelah dipakai selama 14 bulan. Padahal, pada malam hari, suhu udara bisa di bawah 10 derajat celsius, bahkan semakin rendah dengan semakin memuncaknya musim dingin.

”Setiap saya mendengar prakiraan cuaca mengatakan ada hujan atau angin kencang, saya takut sekali. Nanti tenda saya bisa-bisa terbang ditiup angin,” kata Shadia Aiyada, salah seorang pengungsi di Khan Younis, Minggu (22/12/2024).

Omar Shabet mengungsi dengan ketiga anaknya. Mereka juga tinggal di tenda. Jika suhu udara dingin, mereka tidak berani membuat api unggun di luar tenda. Alasannya, mereka takut diincar pesawat tempur ataupun pesawat nirawak militer Israel.

”Begitu matahari terbenam, saya dan anak-anak langsung meringkuk dan berpelukan di dalam tenda. Kami tidak keluar sampai pagi,” katanya.

Tersangkut birokrasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, 945.000 warga Palestina memerlukan bantuan pakaian hangat dan tenda. Jika tidak, mereka dikhawatirkan tidak akan bisa bertahan melewati musim dingin kali ini.

Selain itu, warga Gaza mengalami kekurangan gizi. Musim dingin berisiko membawa berbagai penyakit, termasuk yang menular dan infeksius.

”Jumlah bantuan yang masuk dan disebarkan ke Gaza belum cukup,” kata Louise Wateridge, Juru Bicara UNRWA, lembaga PBB yang mengurus soal pengungsi di Palestina.

Sejauh ini baru 6.000 tenda bisa disebarkan UNRWA di Gaza. Sebanyak 22.000 tenda masih tersendat distribusinya di Jordania. Di Mesir, ada 600.000 lembar selimut dan 33 kontainer truk yang belum bisa masuk ke Gaza.

Pemerintah Israel sejak musim panas lalu tidak mau memberikan izin kepada UNRWA untuk menyebarkan bantuan tersebut. Mereka menolak membuka perbatasan Rafah. Menurut Wateridge, logistik yang menumpuk ini juga mulai rusak, bahkan ada yang ditilap.

Israel mengklaim sudah berkoordinasi dengan berbagai lembaga internasional untuk menyebarluaskan bantuan sosial kepada warga Gaza. Akan tetapi, prosedurnya dikeluhkan oleh lembaga-lembaga itu, salah satunya Komite Penyelamatan Internasional (IRC).

”Birokrasinya berbelit-belit dan memakan waktu lama. Warga Gaza tidak bisa menerima bantuan tepat waktu. Jika ini terus belanjut, mereka tidak akan bisa melewati musim dingin,” ujar Dionne Wong, Wakil Direktur IRC untuk Timur Tengah. IRC fokus menolong anak-anak di Gaza.

Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) di dalam laporan yang diterbitkan pada 16 Desember 2024 menyatakan, rumitnya birokrasi membuat organisasi-organisasi bantuan harus memilih bantuan yang diutamakan. Pilihan itu jatuh kepada pangan, terutama tepung terigu untuk membuat roti. Oleh sebab itu, logistik lain terpaksa ditunda penyebarannya.

Sebanyak 450.720 pengungsi di Wadi Gaza terancam kehilangan tempat mengungsi karena wilayah tersebut rawan banjir. Pada November lalu, 101 keluarga terpaksa pindah karena hujan lebat mendatangkan banjir.

Banyak dari mereka yang kehilangan tempat tinggal itu hanya pindah dengan membawa tenda dan tikar. Kasur-kasur sudah rusak dan membusuk akibat terendam banjir. (kompas.id/ap/afp/reuters)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved