Haul Gus Dur
Haul Ke-15 Gus Dur, Yenny Wahid Sentil Maraknya Kasus Kekerasan yang Dilakukan Polisi
Kasus kekerasan oleh polisi dan problem ekonomi yang dihadapi masyarakat jadi sorotan dalam peringatan haul ke-15 Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Putri kedua Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, menyentil maraknya kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian akhir-akhir ini. Sentilan Yenny Wahid disampaikan pada saat peringatan haul ke-15 Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, di Ciganjur, Jakarsa, Jaksel, Sabtu (21/12/2024).
Haul ke-15 Gus Dur diselenggarakan oleh keluarga Gus Dur dengan mengambil tema, "Menajamkan Nurani, Membela yang Lemah". Haul ke-15 ini diharapkan menjadi momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai perjuangannya.
Menurut Yenny, semasa hidup, Gus Dur selalu berjuang menegakkan keadilan dan melindungi rakyat kecil. Almarhum yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun selalu mengedepankan prinsip bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus digunakan demi kesejahteraan rakyat, bukan sebagai alat untuk memanipulasi atau merugikan masyarakat.

Nilai-nilai perjuangan Gus Dur itu, ujar Yenny, perlu dihidupkan kembali di tengah sejumlah problem yang mengemuka belakangan. Salah satunya, maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Data dari Amnesty International Indonesia mengungkapkan ada 116 kasus penganiayaan yang dilakukan oleh oknum polisi sepanjang 2024.
"Kita melihat ada kasus-kasus di mana justru aparat keamanan yang seharusnya memberikan rasa aman, memberikan perlindungan kepada warga negara, tetapi justru melakukan tindakan represif, intimidasi, dan penganiayaan," ujar Yenny.
Padahal, pada era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid 1999-2001, polisi sengaja dipisahkan dari tentara dengan harapan bisa terwujud negara yang demokratis. Selain itu, pemisahan bertujuan agar polisi dapat melindungi dan bukan menjadi institusi yang menindas masyarakat sipil.
Yenny lantas mencontohkan kasus kekerasan oleh polisi yang terjadi di Semarang pada Minggu (24/11/2024) dini hari. Kala itu, seorang polisi menembak tiga siswa SMK Negeri 4 Semarang. Salah satunya, Gamma Rizkynata Oktafandy, tewas. Kasus kekerasan oleh polisi seperti di Semarang ini tak bisa diterima masyarakat dan menjadi keprihatinan bersama.
"Kembalikan polisi dan lembaga negara lainnya pada fitrah untuk jadi pelindung bagi masyarakat, bukan kepentingan segelintir orang,” katanya.
Tak hanya soal kasus kekerasan oleh polisi, nilai-nilai perjuangan Gus Dur juga perlu diingatkan kembali di tengah kesulitan masyarakat menghadapi gejolak perekonomian, seperti daya beli yang menurun, laju ekonomi yang melemah, hingga kelas menengah yang berkurang hingga 9 juta orang.
Pada waktu yang sama, pemerintah justru berencana menerapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Padahal, di negara-negara lain, seperti Vietnam, pemerintah justru menurunkan pajak untuk mendukung masyarakat.
No viral, no justice
Menurut Yenny Wahid, banyak kasus yang seharusnya menjadi perhatian negara, justru harus diramaikan oleh masyarakat terlebih dahulu agar mendapatkan perhatian.
"Kasus-kasus yang terjadi pada masyarakat di mana seharusnya negara justru hadir melakukan pembelaan, yang terjadi justru masyarakatnya harus bangkit. Ini menjadi fenomena 'no viral, no justice'; kalau tidak viral, tidak ada keadilan untuk orang yang menjadi korban," ungkap Yenny.
Peristiwa ketidakadilan ini adalah masalah serius yang harus segera diperbaiki. Sebab, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari negara serta layanan publik yang terbaik.
"Ini kan sesuatu yang harus kita koreksi. Bagaimanapun, kita semua orang-orang Indonesia taat membayar pajak, taat pada aturan. Kita semua berhak mendapatkan perlindungan dari negara, kita semua berhak mendapatkan pelayanan masyarakat yang terbaik," imbuh dia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.