Opini

Opini: Bunga Pusara Abadi di Bulan Desember

Flamboyan, atau yang  masyarakat setempat disebut Sepe dipandang dengan mata penuh rasa hormat dan takjub. Bagi orang Kupang, Flamboyan bukan hanya

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG.COM/NOVEMY LEO
Bunga Sepe dari Pohon Sepe, pohon unik yang jadi salah satu ikon Kota Kupang, Provinsi NTT 

Oleh: Dr. Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik dan Sekjen Badan Musayawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat.

POS-KUPANG.COM - Minggu pertama  Desember aku di Kupang, dan segala indraku terpesona keindahan bunga sepe yang mekar di sekitar, harumannya menenangkan jiwa. 

Konon, bunga ini sangat mahal harganya karena sering digunakan sebagai taburan di pusara, penghormatan terakhir bagi yang telah tiada. Saat Desember datang dengan udara panas menggigilkan, Kembang Flamboyan (Sepe) mekar dengan penuh semangat. 

Merahnya seperti api yang melawan keheningan musim, seperti suara yang tak terucapkan, tapi terdengar di setiap sudut hati yang sunyi. Dengan kelopak-kelopak yang memerah membara, bunga ini tak hanya mewarnai bumi, tapi mengundang kenangan tak pernah mati, kenangan yang dihidupkan di tengah ketidakpastian.

Flamboyan, atau yang  masyarakat setempat disebut Sepe dipandang dengan mata penuh rasa hormat dan takjub. Bagi orang Kupang, Flamboyan bukan hanya hiasan alam. 

Ia adalah bunga yang sering mereka taburkan di atas kuburan, bunga yang menemani mereka dalam doa dan kesedihan, bunga yang menandai akhir, namun juga awal dari sebuah ingatan abadi.

Sepe, dengan segala kecantikannya yang menyentuh hati, hadir bukan hanya untuk mengingatkan pada perpisahan, tapi juga untuk merayakan kenangan yang hidup dalam ingatan. 

Setiap kelopak yang jatuh seperti pesan dari dunia lain, seperti bisikan lembut dari mereka yang telah tiada, yang mengingatkan bahwa kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan pertemuan dan perpisahan. 

Flamboyan yang mekar di tanah Kupang mengajarkan kita bahwa dalam kematian, ada kehidupan. Dalam kesedihan, ada keindahan yang tak terungkapkan.

Masyarakat Kupang, dengan penuh ketulusan, menaburkan bunga ini di atas kuburan orang-orang yang telah meninggalkan dunia. Flamboyan yang mekar di bulan Desember adalah saksi bisu dari perpisahan dan harapan. 

Bunga yang mengingatkan bahwa di setiap kuburan ada jiwa yang tidak pernah mati, ada kenangan hidup dalam setiap sudut bunga yang jatuh ke tanah.

Sepe, bunga yang hadir di tengah tanah yang kering, di bawah langit yang panas, tetap melambangkan bahwa bahkan dalam kegelapan ada cahaya yang bersinar. Bahkan di dalam kesedihan ada keindahan yang terlahir kembali.

Bunga Kuburan, dalam kemekaran Flamboyan di daratan Kupang, mengajarkan kita tentang waktu yang berjalan dan memelihara kenangan. 

Bunga itu tumbuh penuh keberanian, tak peduli panasnya matahari, tak peduli badai menerpa. 

Seperti doa tak pernah padam, seperti harapan  tak pernah berhenti berakar, kembang Flamboyan mekar sebagai simbol pengingat, bahwa setiap perpisahan adalah permulaan bagi kenangan yang tak pernah pudar. 

Sepe bukan sekadar bunga. Ia adalah peluk mesra dari masa lalu yang tidak pernah meninggalkan kita, meski tubuh sudah terbaring di bawah tanah. Bunga itu selalu mekar, menebar harum, membungkus kenangan dengan keindahan abadi.

Bunga Persaudaraan Abadi

Di bumi yang luas ini, ada bunga yang hadir bukan sekadar untuk mewarnai, tapi juga untuk mengajarkan kita tentang siklus kehidupan yang penuh makna. 

Kembang Flamboyan, dengan kelopak merah menyala yang membara di bawah langit tropis, adalah bunga yang tak hanya tumbuh di tanah, tetapi juga menyentuh relung terdalam hati manusia. 

Di Kupang, dan di banyak tempat lainnya, Flamboyan adalah simbol yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, antara yang sudah tiada dan yang akan datang. 

Ia adalah Alpha dan Omega, permulaan dan akhir dari perjalanan panjang, asal dan tujuan yang tak terpisahkan dalam hidup manusia.

Sepe, dengan kelopak merahnya yang membara, adalah bunga yang tumbuh dari tanah yang keras dan panas, menyerap sinar matahari dengan penuh keikhlasan. 

Dalam setiap mekarnya, Flamboyan mengingatkan kita akan asal mula—asal mula yang tidak hanya dilihat sebagai titik permulaan, tetapi juga sebagai kekuatan yang melahirkan kehidupan. 

Sepe adalah awal yang menggugah, tanda kebangkitan dan pertumbuhan, seperti cinta yang pertama kali mekar dalam hati manusia. Awal yang penuh semangat, yang tidak memandang usia atau waktu.

Sama seperti kehidupan manusia yang bermula dari titik yang tak tampak, Flamboyan melambangkan benih-benih harapan yang ditanam dalam gelapnya bumi, yang akhirnya bermekaran menjadi sesuatu yang luar biasa. 

Setiap akar yang menyusuri tanah, setiap tunas yang tumbuh penuh keteguhan, adalah gambaran dari perjalanan panjang menuju kesadaran, menuju penemuan diri. 

Dalam semangat Flamboyan yang memerah, kita bisa melihat semangat pertama kehidupan manusia yang menyala, menggapai langit, mencari arti dalam dunia ini. 

Namun, Flamboyan juga simbol dari akhir, dari kenyataan bahwa setiap yang hidup pasti mengalami masa untuk beristirahat. Ketika ia mekar, bunga ini tidak hanya menawarkan keindahan yang sementara, tetapi juga mengingatkan kita pada kenangan yang akan tetap hidup meski kelopaknya satu per satu jatuh ke tanah. 

Sepe bukan hanya bunga yang dihadirkan untuk merayakan kehidupan, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa dalam setiap akhir ada awal yang baru.

Bunga Kuburan, seperti yang disebut oleh orang Kupang, adalah simbol pengingat tentang kematian yang tak terhindarkan. 

Tapi justru dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh mereka yang telah pergi, kehidupan terus berlanjut. Dalam setiap kelopak yang jatuh ke tanah, ada pesan bahwa setiap akhir adalah bagian dari kesatuan yang lebih besar. 

Flamboyan adalah bentuk cinta yang berkelanjutan, cinta yang tidak pernah padam meski tubuh telah tiada, cinta yang menyatukan antara yang telah pergi dan yang masih ada. 

Flamboyan di sini adalah Omega, titik akhir yang tidak pernah menjadi penutup, melainkan pelajaran untuk selalu mengingat dan menghargai. Seperti bunga yang menyatu dengan tanah tempat asalnya, kita pun kembali ke asal kita, bumi yang memberi hidup.

Sebuah akhir yang membawa kita pada kesadaran akan hubungan kita yang lebih dalam, lebih abadi—hubungan dengan alam, dengan sesama, dengan peradaban manusia itu sendiri. 

Flamboyan mengajarkan kita bahwa asal dan tujuan hidup manusia tidaklah terpisah, melainkan bagian dari perjalanan yang satu. Seperti bunga yang tumbuh dari akar dan akhirnya kembali ke tanah, hidup kita juga bergerak dalam siklus yang tak terhentikan, antara awal dan akhir. 

Dalam setiap langkah perjalanan itu, cinta kasih adalah benang merah yang menghubungkan semuanya.

Cinta adalah yang menghidupkan, cinta adalah yang menguatkan, cinta adalah yang membawa kita dari satu titik ke titik lainnya. 

Flamboyan, dengan seluruh keindahannya yang menyala di bawah matahari yang terik, adalah metafora bagi perjalanan cinta itu sendiri. 

Cinta yang meliputi segala, yang membawa manusia pada kesadaran bahwa setiap langkah kita, baik itu langkah pertama yang penuh semangat maupun langkah terakhir yang penuh kerendahan hati, adalah bagian dari perjalanan menuju kedamaian universal. 

Seperti Flamboyan yang berbunga dengan penuh keberanian, manusia pun dipanggil untuk mencintai tanpa henti, tanpa memandang perbedaan, tanpa menghitung waktu, karena dalam cinta, kita menemukan asal dan tujuan kita—tempat kita berasal dan tempat kita kembali. 

Flamboyan mengingatkan kita bahwa cinta kasih adalah inti dari peradaban, yang melintasi batas-batas ruang dan waktu, menjalin persaudaraan semesta, dan menghubungkan segala yang hidup dengan segala yang mati. 

Dari Alpha hingga Omega, dari permulaan hingga akhir, cinta adalah kekuatan yang abadi. Seperti Flamboyan yang selalu mekar, kita pun dipanggil untuk selalu memberi warna, memberi kehidupan, memberi kasih—sepanjang perjalanan kita di dunia ini.

Perdamaian Abadi

Bunga Sepe, dengan kelopak merah menyala yang mekar di tanah Kupang, menjadi simbol penting bagi warga bumi untuk selalu menjaga dan merawat planet ini sebagai rumah bersama. 

Sepe mengingatkan kita akan tanggung jawab untuk menjaga bumi, yang menjadi tempat tinggal bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang latar belakang. 

Keindahannya yang mekar di atas kuburan mengandung makna mendalam tentang kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, yang harus tercipta bagi seluruh rakyat di dunia ini. 

Sebagai ciptaan Allah, sumber damai sejahtera, bunga ini mengajarkan kedamaian sejati hanya bisa terwujud ketika kita hidup dalam keadilan, saling menghormati, dan menjaga alam semesta sebagai anugerah Tuhan. 

Sepe adalah pengingat bahwa kemerdekaan dan kedamaian tidak hanya tentang kebebasan individu, tetapi juga tentang berbagi dan melindungi kehidupan di bumi, demi kesejahteraan bersama yang berkelanjutan.

Masyarakat Kupang menaburkan bunga Sepe di atas kuburan bukan hanya sebagai tanda penghormatan, tetapi juga sebagai simbol harapan akan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial-ekologis yang kelak terwujud di langit dan bumi yang baru. 

Dalam keindahan merah yang membara, Sepe mencerminkan semangat perjuangan untuk kebebasan dan keadilan, yang menghubungkan yang telah tiada dengan yang hidup, serta melambangkan kedamaian yang datang setelah pertempuran batin dan fisik. 

Bunga ini menjadi penanda bahwa peradaban manusia tak hanya diukur dengan waktu yang berlalu, tetapi oleh kesadaran kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara alam, sesama, dan diri kita, untuk mewujudkan dunia yang lebih adil, harmonis, dan berkelanjutan. 

Sebagai bunga yang tumbuh di atas tanah yang kering, Sepe mengingatkan bahwa keadilan dan kedamaian harus terus diperjuangkan dan dipelihara, sebagaimana bumi yang selalu memberi ruang bagi kehidupan baru untuk tumbuh, mekar, dan berkembang.

Bunga Sepe yang ditaburkan di kuburan oleh masyarakat Kupang mengandung makna mendalam sebagai pengikat antara kehidupan dan kematian, mengingatkan kita bahwa manusia berasal dari tanah dan akhirnya akan kembali ke tanah. 

Dengan kelopak merahnya yang membara, Sepe menjadi simbol pengingat bahwa setiap jiwa yang meninggalkan dunia ini adalah bagian dari siklus alam yang tak terelakkan. 

Taburan bunga ini adalah panggilan untuk merenungkan kembali nilai-nilai luhur yang harus dijaga dalam kehidupan: percayalah pada Injil kasih, yang mengajarkan kita untuk hidup dalam damai, berbagi, dan saling menghormati. 

Sepe juga menyuarakan seruan agar kita menjauhkan diri dari perbuatan budaya korupsi, kekerasan, dan intoleransi yang merusak tatanan sosial dan menjauhkan kita dari cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab. 

Sebagai bunga yang tumbuh subur di tanah Nusantara, Sepe mengingatkan kita bahwa hanya dengan menjaga prinsip-prinsip kebaikan dan keadilan, serta berpegang teguh pada kasih yang universal, kita bisa mewujudkan bumi yang lebih harmonis dan sejahtera bagi seluruh umat manusia, di tengah keberagaman yang ada. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved