Berita NTT
WALHI Sebut NTT Harus Dibuat Miskin Agar Terus Dijarah
Dari citra itu, maka provinsi kepulauan itu terus dikeruk dengan alasan mewujudkan kesejahteraan.
Penulis: Irfan Hoi | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut NTT harus terus dibuat miskin agar terus dijarah.
Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamhu Paranggi menjelaskan, dalam data BKPN total investasi termasuk pariwisata yang eksratif ada 427. Dari total itu ada dua ratusan itu merupakan investasi asing salah satunya Australia.
"Dengan konteks karst, kita masih ingat proyek batu gamping di Manggarai. Salah satu perusahaan yang eksis yakni di Fatuleu," katanya, dalam diskusi bersama Kader Hijau Muhamadiyah di Hotel Greenia Kota Kupang, Selasa 3 Desember 2024.
Umbu Wulang mengatakan, saat ini, modus yang digunakan adalah mendorong pemilik lahan setempat untuk menjadi pemegang saham. Umbu Wulang mengatakan, pasca keputusan terkait dengan Flores sebagai daerah proyek geothermal.
Baca juga: Presiden Dijadwalkan Buka Tanwir dan Milad Muhammadiyah di NTT, Ormas Garuda Sampaikan Apresiasi
Banyak sekali praktik prostitusi yang sering terjadi pada kawasan pengembangan. Seringkali perempuan lokal menjadi korban praktik itu. Umbu Wulang mengatakan, prakti pasca izin geothermal itu menetapkan NTT keluar dari kemiskinan.
NTT, kata dia, harus dirancang agar terus mengalami keterpurukan. Dari citra itu, maka provinsi kepulauan itu terus dikeruk dengan alasan mewujudkan kesejahteraan.
"NTT harus dibuat miskin sebagai alasan untuk dijarah," kata dia dalam kegiatan bertema, Ta'awun untuk keadilan ekologi.
Dia mengatakan, pembiayaan politik ikut berkontribusi dalam upaya mengeruk berbagi potensi sumber daya alam yang ada di NTT.
Umbu Wulang mengatakan, tanah ulayat seringkali menjadi senjata perusahaan karena berbasis pada kepemilikan tokoh. Kondisi itu pasca pendudukan Belanda yang dikenal dengan nama Swapraja.
Seperti pengembangan perusahaan gula di pulau Sumba, yang menggaet anak-anak dari tokoh setempat. Negara itu mengkoktasi anak-anak dari tokoh yang ada. Dia bilang itu merupakan sangat kompleks persoalan itu.
Umbu Wulang mengatakan, semua proyek energi terbarukan yang sifatnya bukan investasi dan menyentuh masyarakat memang dibuat gagal. Karena itu tidak menguntungkan investasi. Berbeda dengan geothermal yang menguntungkan investasi.
Dalam targetnya untuk energi baru terbarukan itu hingga tahun 2025. Namun, hingga saat ini masih berada di level terendah untuk penggunaan energi baru terbarukan.
Disamping, kata dia, bencana alam yang terjadi juga sering menjadi pintu masuk dalam menggaet potensi yang di daerah setempat. Pulau Flores, kata dia, memiliki sejarah panjang untuk penolakan terhadap tambang. Pemerintah membuat itu dengan mengganti diksi menjadi geothermal.
"Bukan soal menolak atau tidak, tapi orang harus pikiran sadar atas pilihan dia, bukan karena di tipu-tipu. Seringkali yang terjadi di NTT, bukan karena pikiran kritis tapi karena uang siri pinang," katanya pada agenda Festival Ibu Menggugat itu.
Umbu mengatakan, perlu harus ada banyak orang yang sadar dan mengelola sumber daya alam dengan hak-haknya.
Melki Nahar dari Jatam mengatakan, perlu hati-hati dalam mencermati proyek geothermal. Dia bilang di Poco Leok, salah satu alasan penolakan adalah mengenai adat masyarakat setempat.
Di Poco Leok jika dipaksakan maka akan berdampak cukup besar terhadap wilayah itu. Konsekuensi lingkungan sangat tinggi. Sebab, titik survei berada di kebun dan bahkan area pekuburan.
"Dari konteks warga, jelas tidak pas yang jelas warga menolak. Yang ditolak warga itu bukan tata kelola, tapi poin penting warga adalah soal ruang hidup warga yang sedang diancam," ujarnya.
Di lapangan, bila dipaksakan maka akan timbul gejolak lebih tinggi. Asumsi warga menyebut kalau penggunaan PLN hanya digunakan dalam waktu malam hari.
Dalam menolak itu, bisa dilakukan dengan berbagai hal. Baginya, perlawanan terhadap sesuai proyek itu bisa beragam. Tidak melulu pada demonstrasi.. Dia mengoreksi mengenai pola perlawanan terhadap sebuah proyek yang bisa dilakukan dalam berbagai bentuk.
"Situasi kita ini, kalau ini dibiarkan maka semakin terpuruk. Kita baru selesai Pilkada, dan mereka yang terpilih ini sama sekali tidak pernah menjadikan apa-apa yang kita diskusikan ini menjadi isu sentral," ujarnya.
Untuk itu, kekuatan anak-anak muda dan mahasiswa harus terhubung ke kampung-kampung agar membentuk sebuah perlawanan mengenai isu sosial ekologi yang ada di NTT.
Akademisi Unwira Kupang, Didimus Dedi Dhosa mengatakan, demonstrasi adalah pilihan. Respons kritis dari mahasiswa kerap membawanya ke suasana itu. Jika perlawanan itu secara sistematis, maka perlu ada dilegitimasi oleh pimpinan universitas.
Sayangnya, bagian itu sampai saat ini belum ada yang terjadi. Bahkan pembungkaman terhadap kampus sering terjadi. Universitas membutuhkan legitimasi ilmiah, namun ada timbul sebuah dampak terhadap kampus itu.
"Perlawanan bisa dengan cara halus, lewat gosip dengan tuan tanah," kata Didimus.
Hegemoni yang ada ini, kata dia, perlu dilawan. Proyek yang dilakukan pemerintah, sedang di hegemoni pemerintah. Sehingga, kekuatan pikiran perlu diubah untuk membantu diskusi ke publik. Seperti pembuatan mural yang merupakan bagian dari salah satu contoh perlawanan.
Baginya perlawanan itu juga harus timbul dari bawah. Dia bilang, negara memiliki berbagai otoritas. Sehingga perlawanan harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak saja saling berbenturan, salah satunya advokasi.
"Pilihan kita adalah berpihak pada korban dengan cara kita masing-masing. Pada akhirnya kita membentengi tanah kita dari penjualan ke asing dan negara," kata dia. (fan)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.