Opini

Opini: Memimpin seperti Seorang Ibu

Pemimpin merupakan orang yang dekat degan rakyatnya, menjadi role model, tempat bersandar rakyat, seorang pemberi harapan dan motivator

|
Editor: Dion DB Putra
TRIBUN
Ilustrasi 


Oleh : Emanuel Kolfidus
Pegiat Literasi

POS-KUPANG.COM - Akan terjadi 23 pilkada di Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 27 November 2024. 

Inilah hari kehormatan besar bagi rakyat NTT untuk mewujudkan kekuasaannya melalui para calon bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota serta gubernur dan wakil gubernur.

Pada hari yang bersamaan, dimulai dari jam yang sama, rakyat NTT mengikuti satu pilkada provinsi ( memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTT), 21 pilkada kabupaten (memilih bupati dan wakil bupati) dan satu pilkada kota (memilih wali kota dan wakil wali kota Kupang).

Mereka yang menjadi penduduk Kabupaten Sikka, misalnya, akan memilih sekaligus bupati Sikka dan Gubernur NTT.

Mereka yang menjadi penduduk Kota Kupang, juga akan memilih sekaligus wali kota Kupang dan Gubernur NTT.

Semakin mendekati hari H, semakin ramai bincang-bincang tentang siapa yang akan memimpin. 

Ini perlu dan penting, mengingat, keputusan-keputusan politik, sangat berpengaruh pada jalannya ekonomi, lapangan kerja, harga barang, upah, tingkat kebahagiaan, keamanan, kenyamanan kualitas pelayanan publik dan bangunan budaya hukum. 

Daripada apatis, baiknya setiap orang terlibat secara pribadi per pribadi di dalam diskusi mencari sosok pemimpin.

Tulisan ini mengajak kita untuk berdiskusi mencari sosok pemimpin yang memimpin seperti seorang ibu ( Lead like a mother). 

Dengan tidak bermaksud membangun dikotomi, karena perempuan dan laki-laki adalah mitra sejajar, dengan pengakuan masih terciptanya rongga ketidaksejajaran antara perempuan dengan laki-laki di ranah publik, padahal terbukti, banyak pemimpin perempuan hebat.

Sebut misalnya Margaret Tatcher, Angela Markel, Aung San Suu Kyi, Megawati Soekarnoputri, Corazon Aquino, Jacinda Ardern, Benazir Bhutto, Damilola Odufuwa, Odunayo Eweniyi, dan lain-lain.

Idealisasi sosok pemimpin seperti seorang Ibu bermaksud bahwa seorang pemimpin secara pribadi haruslah sosok berpembawaan, berkarakter, berkekuatan, bersikap, bertindak dan berkinerja layaknya seorang Ibu sejati. Kata kuncinya, kapasitas dan kompetensi.

Kita coba mengambil dasar pemikiran calon Pesiden AS Donald Trump ketika sempat berdebat dengan Joe Bidden ( sebelum mundur dari pencalonan karena alasan usia) tentang kompetensi. 

Apa itu kompetensi? Dikutip dari Wikipedia.com, kompetensi diartikan sebagai kemampuan kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar. 

Kompetensi yaitu keterampilan dan perilaku yang dibutuhkan pemimpin untuk membimbing dan memengaruhi timnya agar mencapai tujuan orgaisasi, meliputi aspek-aspek: komunikasi, pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, manajemen waktu kemampuan beradaptasi, kecerdasan emosional, delegasi tugas, berempati dan membangun kepercayaan. 

Tentu ada beragam pendapat tentang komptensi seorang pemimpin tetapi beberapa aspek di atas merupakan kebutuhan utama.

Berdasarkan pendekatan kompetensi, maka, tulisan ini bertujuan mendiskusikan sosok pemimpin yang memiliki kompetensi seperti seorang uIbu atau Lead like a mother

Saya mengutip suatu penjabaran dari Heni Kholifatul Ulum (Laman Kementerian Keuangan RI, 2021), yang menulis bahwa seorang ibu atau perempuan, memegang empat jabatan penting sebagai Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan dan Manajer. 

Ia menulis begini : “Wanita adalah jantung dalam setiap rumah tangga, ketika dia berhenti bekerja maka berhentilah seluruh kehidupan di dalamnya. Mengandung, melahirkan, dan menyusui adalah starter pack tugas seorang wanita menjadi ibu. Ibu dalam keluarga memegang berbagai peranan penting. 

Ibu adalah “Menteri Pendidikan” bagi anak-anaknya, mendidik dan mengajari tentang keyakinan beragama, adab dan norma, fisik dan mental, intelektual, dan psikologi sehingga terbentuk kepribadian yang baik dalam diri sang anak. 

Dalam “kegiatan belajar mengajar” tersebut ibu juga harus menjadi figur dan member contoh yang baik untuk anak. 

Ibu adalah “Menteri Kesehatan” yang harus memperhatikan asupan nutrisi setiap anggota keluarga, menyajikan hidangan dengan kreativitasnya, hingga merawat anggota keluarga yang sakit. 

Ibu adalah “Menteri Keuangan” yang mengelola pemasukan dan pengeluaran setiap harinya, memastikan semua kebutuhan terpenuhi sesuai prioritasnya, dan mengarahkan untuk mencapai tujuan keluarga. 

Ibu adalah “Manajer” yang berperan untuk memastikan setiap tugas dan fungsi dalam keluarga berjalan sebagaimana mestinya. 

Memastikan rumah menjadi tempat paling nyaman bagi keluarga baik dari segi kebersihan maupun suasana di dalamnya. 

Saya membawa makna ini ke dalam sosok Ibu dengan pernyataan : Ibu adalah orang yang paling pertama bangun di pagi hari, dan yang paling terakhir tidur di malam hari. 

Adagium klasik : Surga ada di bawah telapak kaki Ibu, saya menambahkan : Surga ada di dalam rahim Ibu.

Kita mengharapkan lahirnya pemimpin seperti seorang Ibu; menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari dan orang paling terakhir tidur di malam hari. 

Di antara waktu itu, ia melakukan berbagai tugas dan fungsi; fungsi sebagai menteri kabinet, dan manajer, fungsi moral dan sosial. 

Dia melakukan bukan karena tergiur dana operasional dan gaji dari APBD serta sejumlah keistimewaan secara protokoler, tetapi dia adalah orang yang mau memikul salib, memberi diri dan melakukannya di atas dasar cinta kasih sebagai hukum tertinggi.

Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, “sifat utama pemimpin ialah beradab dan mulia hati.” 

Pemimpin merupakan orang yang dekat degan rakyatnya, menjadi role model, tempat bersandar rakyat, seorang pemberi harapan dan motivator tetapi sekaligus seorang manajer yang terampil.

Sosok pemimpin seorang Ibu merupakan dia yang siap untuk “makan nasi kerak” tanpa lauk, ketika seluruh anggota keluarga lainnya sudah memperoleh makanan paling terbaik.

Seorang Ibu, siap menderita, siap megencangkan ikat pinggangnya dan rela menjadi yang terakhir dalam sebuah “syukur” bersama. 

Dia tidak boleh menjadi orang pertama atas berbagai suka cita kehidupan, jika orang yang dia pimpin belum memperoleh suka cita. 

Seorang pemimpin laiknya seorang “budak” seperti kata Max DePree :  “Tanggungjawab utama dari seorang pemimpin adalah untuk menjabarkan kenyataan yang ada dan yang terakhir adalah mengucapkan terimakasih. Di selang waktu tersebut, pemimpin adalah budak.” 

Orang biasa sebut : pemimpin adalah pelayan, sedangkan rakyat adalah tuan. 

Seorang pemimpin juga harus memiliki jiwa adil untuk semua litas perbedaan. NTT ini dari lahirnya sudah beragam (SARA), maka pemimpin NTT adalah dia yang memiliki wawasan dan hati yang merangkul. 

Pemimpin seturut John Rawls, adalah orang yang pada waktu membagi, akan mengambil bagian paling terakhir bahkan mungkin paling kecil. 

Jangan sebaliknya, dia mengambil paling pertama dan terbanyak daripada bagian dari orang-orang yang hendak dibagikannya.

Jiwa pemimpin seperti seorang Ibu (Lead like a mother), tidak hanya berhenti pada aspek-aspek kecerdasan, kecakapan, jaringan politik, sandaran dan topangan tokoh politik lainnya, tetapi ia harus tumbuh dalam sebuah pengalaman menjadi (to being) mehalami transformasi diri menjadi seorang Ibu. Ini disebut dengan rekam jejak. 

Pilkada di NTT menjadi arena demokrasi terbaik dengan daya legitimasi kuat untuk menghadirkan pemimpin yang mampu menata birokrasi, membangun pendidikan, kesehatan, ekonomi, peduli dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, berpihak pada kebutuhan kaum dengan kebutuhan khusus (disabilitas) dan sanggup mengatur keuangan daerah (APBD) secara disiplin dan efektif sebagai seorang pelayan; lead like a mother. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved