Timor Leste

Timor Leste Bersiap Menghadapi Kekacauan Iklim dengan Melakukan Simulasi Bencana

Kombinasi teknologi, pengetahuan masyarakat, dan dukungan PBB dapat membantu memastikan bahwa korban dan kerusakan dapat diminimalkan.

Editor: Agustinus Sape
ONU NEWS/FELIPE DE CARVALHO
Dalam latihan simulasi bencana di desa Orlalan, Timor Leste, anak-anak menerima pertolongan pertama 

POS-KUPANG.COM - Timor Leste, sebuah negara kepulauan muda di Asia Tenggara, sangat rentan terhadap dampak buruk krisis iklim. Kombinasi teknologi, pengetahuan masyarakat, dan dukungan PBB dapat membantu memastikan bahwa korban dan kerusakan dapat diminimalkan jika cuaca ekstrem terjadi lagi.

Pada bulan April 2021, bencana banjir bandang melanda Timor Leste, merenggut nyawa lebih dari 30 orang dan menghancurkan lebih dari 4.000 rumah. Salah satu daerah yang paling parah terkena dampaknya adalah Orlalan, sebuah desa pegunungan terpencil dengan populasi hampir 6.000 jiwa. Penduduk di sana tidak tahu bagaimana melindungi diri mereka ketika air banjir melonjak dan tanah longsor terjadi.

Di Orlalan, tokoh masyarakat seperti Armandina Valentina, yang keluarganya terkena dampak banjir tahun 2021, telah mengambil tanggung jawab untuk mendidik tetangga mereka. Valentina tak kenal lelah dalam upayanya, mengetuk pintu untuk memastikan setiap warga tahu ke mana harus pergi ketika bencana terjadi. Ia menekankan bahwa kelompok yang paling rentan—wanita hamil, anak-anak, dan orang lanjut usia—harus mendapat perhatian khusus untuk menghindari kepanikan.

Kegiatannya merupakan bagian dari inisiatif nasional, yang didukung oleh Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP), yang bertujuan untuk melindungi kehidupan penduduk Timor Leste.

Permainan peran bencana

Elemen lain dari program ini adalah simulasi bencana. UN News baru-baru ini mengikuti salah satu latihan di Orlalan, di mana anak-anak memainkan peran penting. Selama latihan, mereka berlatih untuk tetap berada di tempat yang terlihat, melindungi kepala, dan berteriak minta tolong jika terjebak. Beberapa anak melakukan simulasi cedera dan menerima pertolongan pertama, sementara yang lain mengikuti tim penyelamat ke lokasi yang aman.

Bagi relawan muda Fretiliana Alves, simulasi ini bukan sekadar bentuk pelatihan, tetapi merupakan sebuah panggilan.  “Motivasi utama saya adalah menyelamatkan nyawa,” jelasnya.

Alves mendorong teman-temannya untuk ikut serta dalam upaya ini, menemukan kepuasan dalam menyelamatkan dan merawat mereka yang membutuhkan.

Keberhasilan upaya-upaya ini sangat bergantung pada relawan lokal yang mengetahui risiko dan medan di komunitas mereka.

Seperti yang dicatat oleh Emidia Belo, koordinator Pengurangan Risiko Bencana untuk Palang Merah Timor Leste (CVTL), saat terjadi bencana, para sukarelawan ini seringkali menjadi pihak yang memberikan pertolongan pertama.

Pengetahuan mereka yang mendalam mengenai kondisi lokal sangat diperlukan, terutama ketika akses ke daerah yang terkena dampak terhambat.

Menyelamatkan mereka yang paling rentan

Yang membedakan program kesiapsiagaan UNEP adalah inklusivitasnya. Sesi pelatihan dirancang untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas, anak-anak, lansia, dan wanita hamil memiliki perlengkapan yang memadai untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh bencana.

Antonio Ornai, seorang tunanetra, pertama kali mengikuti simulasi tanah longsor pada September 2024. “Saya bersyukur bisa diikutsertakan,” katanya. “Saya akan menggunakan semua yang telah saya pelajari untuk melindungi diri saya sendiri di masa depan.”

Pendekatan ini, kata Emidia Belo, sangat penting. “Bencana berdampak pada semua orang, namun mereka yang paling rentan terkena dampak paling parah,” tambahnya.

“Mengubah pola pikir masyarakat agar siap adalah sebuah proses jangka panjang. Bukan sesuatu yang terjadi hanya dalam satu atau dua tahun.”

Dengan dukungan UNEP selama lima tahun, Timor Leste telah mencapai kemajuan yang signifikan, namun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Bunyikan alarm dengan keras dan jelas

Di Orlalan, proses evakuasi saat terjadi bencana mengikuti rencana lima langkah yang cermat. Pertama, otoritas nasional mengeluarkan peringatan dini akan bahaya yang akan terjadi. Para pemimpin masyarakat kemudian bertemu untuk menilai rute pelarian dan mengidentifikasi tempat perlindungan yang aman.

 Informasi ini disiarkan melalui sistem suara bertenaga surya, bahkan menjangkau desa-desa paling terpencil, sementara para relawan menggunakan megafon untuk memastikan semua orang mendapat informasi.

Saat evakuasi dimulai, tim pertahanan sipil dan petugas pertolongan pertama yang terlatih dalam pertolongan pertama dikerahkan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kelompok yang paling rentan akan diprioritaskan, dan setelah semua orang direlokasi dengan aman, pasokan penting akan didistribusikan oleh pemerintah ke tempat penampungan.

Namun proses ini bukannya tanpa tantangan. “Bagian tersulit adalah memastikan cukup makanan selama evakuasi,” kata Adriano Soares, kepala desa Torilalan, sebuah desa kecil. “Banjir merusak tanaman, menghabiskan sumber daya kita dan membuat kita sulit untuk bertahan hidup.”

Teknologi yang mengubah permainan dan menyelamatkan jiwa

Dalam pidatonya yang berkesan selama COP29, Konferensi Iklim PBB di Baku, Azerbaijan, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menunjukkan kenyataan yang mengerikan: bahwa negara-negara terbelakang dan negara-negara kepulauan di dunia hanya mempunyai kurang dari 10 persen data yang mereka perlukan untuk melakukan upaya-upaya yang efektif untuk sistem peringatan. Pesan yang disampaikan sangat jelas—tanpa data yang tepat, kehidupan akan terancam.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres berbicara dalam Rapat Darurat Dewan Keamanan PBB di Markas PBB, Minggu (14/4/2024) malam waktu setempat atau Senin (15/4/2024) waktu Indonesia.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres berbicara dalam Rapat Darurat Dewan Keamanan PBB di Markas PBB, Minggu (14/4/2024) malam waktu setempat atau Senin (15/4/2024) waktu Indonesia. (AP PHOTO/YUKI IWAMURA)

Upaya-upaya kini sedang dilakukan di Timor Leste untuk menutup kesenjangan ini.

Sebagai bagian dari inisiatif UNEP, sembilan Stasiun Cuaca Otomatis, dua sistem Pengamatan Meteorologi Otomatis, tiga radar dan pelampung laut sedang dipasang di seluruh negeri.

Menurut Terêncio Fernandes, Direktur Departemen Meteorologi dan Geofisika Nasional, teknologi ini akan membantu kemajuan negara ini dari pengamatan iklim tingkat dasar ke tingkat yang lebih maju, dengan potensi untuk mencapai tingkat lima—sebuah tolok ukur observasi iklim yang komprehensif dan nyata. data iklim waktu.

Stasiun AWS baru, yang berbiaya rendah dan dapat mengirimkan data tanpa memerlukan internet, merupakan terobosan baru bagi desa-desa terpencil seperti Orlalan. Stasiun-stasiun ini mengumpulkan data penting mengenai curah hujan, kecepatan angin, suhu, dan faktor meteorologi lainnya, lalu mengirimkannya setiap menit ke sistem pusat untuk dianalisis.

Warisan aksi global

Sistem yang sedang dibangun di Timor Leste bukan sekadar pencapaian nasional; ini merupakan bukti kekuatan kerja sama global. Sebagian besar kemajuan ini merupakan hasil keputusan yang diambil pada Konferensi Iklim PBB, COP16 tahun 2010, di mana Dana Iklim Hijau dibentuk untuk membantu negara-negara seperti Timor-Leste beradaptasi terhadap krisis iklim.

Ketika perundingan perubahan iklim berlanjut pada COP29 dan seterusnya, pembelajaran yang diperoleh di Timor-Leste dapat menjadi cetak biru bagi negara-negara lain yang menghadapi ancaman serupa.

Saat ini, masyarakat Orlalan, dan komunitas lain di seluruh negeri, sedang belajar menghadapi kenyataan perubahan iklim, namun mereka juga bersiap menghadapinya—bersama-sama. Dengan teknologi, pengetahuan, dan semangat komunitas, mereka membuktikan bahwa ketahanan, bahkan ketika menghadapi bencana, masih dapat dijangkau. (ungeneva.org)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
 
 
 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved