Opini

Opini: Menag Nasaruddin, Deklarasi Istiqlal dan Masa Depan Dialog Inter-Religius

Menghadapi gejolak tersebut, eksistensi dan ekspresi agama-agama hendaknya diarahkan dalam usaha-usaha edukatif nan advokatif mengatasi persoalan itu.

|
Editor: Dion DB Putra
INDONESIA PAPAL VISIT COMMITTEE/ANTONIUS ADITYA MAHENDRA
Paus Fransiskus bersama Imam besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA berjalan bersama, di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (5/9/2024). Salah satu agenda Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal adalah menandatangi Deklarasi Bersama Istiqlal 2024 di Plaza Al-Fattah. 

Oleh: Doni Koli
ASN Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Tengah

POS-KUPANG.COM - Pada 21 Oktober 2024, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto melantik Prof. Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama

Menag Nasaruddin Umar dipercayakan amanah memimpin instansi Kementerian Agama yang sebelumnya dinahkodai Yaqut Cholil Qoumas. 

Secara personal, track record Menag Nasaruddin patut diacungi jempol.  Sebelum menjabat Menteri Agama, tokoh bernama lengkap Prof. Dr. Nasarrudin Umar, MA juga tercatat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Anggota Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 

Beliau juga  Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Rektor Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-qur’an, dan turut mengisi beberapa jabatan strategis lainnya (bdk. https://kemenag.go.id/artikel/menteri-agama, diakses pada 11-11-2024). 

Singkatnya, ketokohan dan intelektualitas Menag Nasaruddin sangatlah bernas.Tulisan ini tidak bermaksud mendeskripsikan sketsa biografi atau personality branding Menag Nasaruddin, tetapi lebih merupakan ulasan reflektif perihal harapan akan kiprah dan kinerja Kementerian Agama di bawah kepemimpinan beliau dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang agama sekaligus mewujudkan resolusi nasional demi terciptanya bingkai ke-Indonesiaan yang rukun dan harmonis. 

Selain itu, konteks lain tulisan ini adalah keterlibatan Menag Nasaruddin Umar sebagai salah satu figur terpenting dalam momentum historis bertajuk Deklarasi Bersama Istiqlal  yang berlangsung pada kegiatan audiensi Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Sejagat, Paus Fransiskus, bersama para Tokoh dan Pemimpin lintas Agama di Masjid Istiqlal (Rabu, 5/9/2024).  

Deklarasi Bersama Istiqlal -sebagaimana napas tulisan ini- merupakan sebuah landasan tekstual religius yang relevan dan punya signifikasi strategis bagi masa depan dialog inter-religius serta terciptanya kerukunan antar-umat beragama di Indonesia.

Deklarasi Bersama Istiqlal 

Dalam rangkaian acara visitasi apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, tepatnya pada hari Kamis, 5 September 2024, Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar menandatangani Dokumen Deklarasi Bersama Istiqlal. Secara ringkas, isi Deklarasi Bersama Istiqlal dapat diuraikan ke dalam 3 poin berikut.

Pertama, dorongan bagi signifikansi peran agama-agama berhadapan dengan dua fenomen utama krisis global saat ini: dehumanisasi dan krisis lingkungan. 
Deklarasi Bersama Istiqlal berangkat dari kesadaraan mendalam bahwa pembangunan dan produksi kemakmuran sosial seringkali juga memproduksi risiko dan kerusakan sosial yang tidak kecil. 

Sebagai contoh, industri ekstraktif yang digalakkan turut berdampak besar pada kerusakan lingkungan hidup. 

Menghadapi gejolak tersebut, eksistensi dan ekspresi agama-agama hendaknya diarahkan dalam usaha-usaha edukatif nan advokatif mengatasi persoalan tersebut.

Kedua, kolegialitas spirit agama yang menutrisi kemanusiaan dan falsafah Pancasila. 

Sungguh menarik bahwa Deklarasi Bersama Istiqlal tidak hanya menyoroti peran agama-agama di Indonesia tetapi juga menggarisbawahi falsafah dan dasar negara Indonesia, Pancasila. 

Semangat ini semakin menunjukkan kemungkinan positif bahwa doktrin komprehensif agama-agama dan ideologi kebangsaan dapat berjalan berdampingan dalam mewujudkan pembangunan dan kemaslahatan bersama atau sebagaimana dirumuskan Habermas (terj. Cronin, 2008) sebagai ranah masyarakat pasca-sekular di mana teologi agama-agama tetap relevan dan dapat berjalan berdampingan dengan ideologi sekuler. 

Ketiga, satu keluarga umat manusia dan hormat terhadap martabat kemanusiaan. Sungguh menarik bahwa seruan dalam Deklarasi Bersama Istiqlal menghembuskan, apa yang disebut Hans Kung sebagai globale ethische (etik global) yang perlu dimaknai setiap agama. 

Setiap agama secara kolekgial perlu membangun dialog dan kerja sama dalam memerankan spirit pembebasan konkrit di tengah masyarakat yang ditandai penindasan dan ketidakadilan.

Bertepatan dengan hari deklarasi, dalam isi pidatonya Paus Fransiskus dengan nada poetik mengangkat makna luhur dialogalitas di balik salah satu fragmen ikonik terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta. 

“Haruslah disebut bahwa terowongan bawah tanah terowongan persahabatan memungkinkan perjumpaan, dialog, dan kemungkinan nyata untuk menemukan dan membagikan mistik hidup bersama, berbaur dan bertemu.” (LOsservatore Romano, 2024, h. 7). 

Ungkapan Paus Fransiskus menampilkan optimisme bagi dialog inter-religius di Indonesia. 

Pertama, Dialogalitas sebagai Keniscayaan. Dialog inter-religius tidak dapat dipisahkan dari konteks keberagaman dan dinamika sosio-politik yang merupakan ranah relasi sehari-hari antar-umat pemeluk agama di Indonesia. 

Tidak dapat disangsikan bahwa ciri kemajemukan masyarakat serta panorama konflik identitas (berkedok agama) yang acapkali terjadi merupakan premis fundamental bagi relevansi dialog inter-religius di Indonesia. 

Dialog inter-religius bahkan tidak sebatas proyek artifisial alternatif semata, tetapi sebuah keniscayaan dan dorongan imperatif dari dalam diri agama-agama di Indonesia.

Kedua, Dialog dan Signifikansi Sosial sebagai Panggilan setiap Agama. Deklarasi Bersama Istiqlal juga mengedepankan salah satu matra terpenting agama-agama di era modern yaitu religiusitas yang memiliki signifikansi sosial. 

Di Indonesia, konteks nilai yang kedua ini menjadi penting tatkala religiusitas masyarakatnya mengandung contradictio in terminis karena masih menyimpan beban-beban banalitas yang tak kecil seperti intoleransi, ekstrimisme dan kekerasan atas nama agama, klaim kebenaran tunggal, dsb. 

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu santer diberitakan seorang Aparatur Sipil Negara yang membubarkan ibadah Umat Kristen di Gresik, Jawa Timur. Deklarasi Bersama Istiqlal mendorong agama-agama agar dalam suatu kolegialitas memerankan mythopoetic pembebasan melalui karya-karya sosial emansipatif (Koli, 2022). 

Justru, dalam pemaknaan yang lebih radikal, keadilan sosial dan solidaritas perlu menjadi pelagus significatione theologicus (makna utama teologi).

Peran Strategis Kementerian Agama

Salah satu tantangan aplikasi dialog inter-religius yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga dalam ranah global adalah formalisme dialogalitas. 

Seringkali dialog inter-religius hanya dimaknai sebagai perjumpaan formal antar-pemimpin, seperti audiensi atau silaturahmi. 

Padahal dialog inter-religius harus melampaui formalisme dan sampai pada taraf dialog kehidupan serta menjiwai relasi sehari-hari manusia Indonesia. Seringkali terjadi, seruan moral dan deklarasi kerukunan dibonsai praktik-praktik intoleran di tengah masyarakat.

Beberapa tantangan inilah yang perlu menjadi salah satu pergumulan Kementerian Agama di era kepemimpinan Menag Nassarudin. Dalam arahannya pada acara Kick Off Meeting Strategi dan Arah Kebijakan Kemenag 2025-2029, Menag mengingatkan bahwa Kementerian Agama berperan penting untuk menjaga stabilitas dan agama menjadi faktor kunci dalam mensolidkan bangsa. 

Lantas, apa saja peran strategis Kementerian Agama dalam mewujudkan dialog inter-religius di Indonesia?

Pertama, Penguatan Moderasi Beragama. Apabila merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kemenag tahun 2020 – 2024, terdapat sebuah resolusi nasional yang digaungkan yaitu penguatan moderasi beragama. 

Dalam Buku Saku Moderasi Beragama yang disusun Balitbang dan Diklat Kemenag RI (2019), moderasi beragama bukanlah sebuah ideologi tetapi lebih sebagai perspektif atau cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan agama agar senantiasa berada dalam jalur yang moderat. Jadi yang dimoderasi adalah cara beragama, bukan agamanya.

Implementasi moderasi beragama hendaknya tetap menjadi branding sekaligus program prioritas Kementerian Agama dalam mewujudkan dirinya sebagai katalisator pembangunan nasional. 

Aksentuasi program Moderasi Beragama hendaknya senantiasa dikampanyekan dan terlebih penting diaplikasikan secara strategis: semisal internalisasi muatan Moderasi Beragama dalam kurikulum pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah (tentu tetap disesuaikan dengan jenjang dan konteks pembelajaran), pengajaran dan penyiaran agama-agama, optimalisasi program Kampung Moderasi Beragama dan sebagainya.

Kedua, Perwujudan Dialog Kehidupan. Untuk konteks Indonesia, aksentuasi pada dialog kehidupan sesungguhnya bukanlah hal yang asing. Pertama-tama, masyarakat Indonesia memiliki falsafah dan ideologi bersama bernama Pancasila. 

Selain itu, nilai-nilai sosio-budaya seperti persaudaraan, gotong-royong, dan kekerabatan adalah warisan sejarah dan tertanam dalam setiap kebudayaan bangsa Indonesia. 

Konstruksi nilai-nilai tersebut hendaknya menjadi inspirasi bagi Kementerian Agama dalam membangun kreasi terhadap perbedaan. 

Program-program Kemenag yang terarah pada stabilitas nasional dengan bahasa agama hendaknya sampai pada wujud toleransi otentik, bukan toleransi izinan atau toleransi hibah. 

Panorama kehidupan antar-umat beragama hendaknya dibangun di atas pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan. Tidak cukup apabila penganut agama hanya bereksistensi demi dirinya sendiri (inward looking), tetapi sampai pada taraf di mana umat dan komunitas beragama bisa menerima, mengakui dan menghadirkan kebaikan bagi penganut agama lain. 

Cita-cita ini dapat tercapai apabila toleransi menjadi -apa yang disebut Renan (terj. Giglioli, 2018) sebagai Plebisit Sehari-Hari-, perjuangan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Akhirulkalam, tugas dan upaya tindak-lanjut mewujudkan dialog inter-religius di Indonesia perlu senantiasa diperjuangkan. 

Sebagaimana diungkapkan dalam Deklarasi Bersama Istiqlal bahwa keyakinan dan ritual agama-agama memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia, optimisme bagi dialog inter-religius yang berdampak perlu lahir dari relung hati setiap pemimpin dan penganut agama di Indonesia. 

Dialogalitas di atas kertas dan di ruang-ruang silaturahmi harus menjadi dialog dan sikap hidup di jalanan, dalam ruang hidup dan relasi sehari-hari (daily life) manusia Indonesia. 

Harapan sekaligus tantangan inilah yang perlu menjadi tanggung jawab Kementerian Agama di era Menag Nasaruddin. 

Sehingga, cita-cita nasional bahwa Indonesia dapat menjadi miniatur bagi dialog, toleransi dan persaudaraan antar-umat beragama dalam panorama keberagaman dapat menjadi mozaik-mozaik indah yang berarti bagi peradaban dan kemanusiaan di tingkat global.  (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved