Konflik Laut China Selatan

Soal Wilayah Maritim Indonesia, TNI AL Tetap Merujuk UNCLOS

Politik luar negeri Indonesia diingatkan untuk tetap pada empat prinsip yang jadi pegangan sejak 1982. Apa itu?

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali berbicara di acara peluncuran buku Sea Power Indonesia di Era Indo Pasifik di Wisma Elang Laut, Jakarta, Selasa (6/8/2024). 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Terkait hubungan kerja sama maritim RI dengan China, TNI AL akan tetap merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nation Convention on Law of the Sea. Oleh karena tidak ada wilayah perairan teritorial RI yang beririsan dengan nine dash line atau sembilan garis putus-putus China, Indonesia tidak tergolong negara pengklaim.

Hal ini disampaikan Kepala Staf TNI AL Laksamana Muhammad Ali di sela-sela olahraga bersama dalam rangka peringatan HUT Ke-79 Marinir, Selasa (12/11/2024).

Ali ditanya wartawan pendapatnya soal komentar beberapa pakar hukum internasional terkait poin 9 dalam pernyataan bersama Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping. Poin yang menyebutkan ”on joint development in areas of overlapping claims” dianggap menegasi UNCLOS karena klaim China dilakukan satu pihak, tidak berdasarkan UNCLOS. Padahal, konstelasi negara kepulauan Indonesia dibentuk oleh UNCLOS.

”Pertikaian di kawasan dihindari dan kita tetap menjunjung UNCLOS. Kita tetap berpegang teguh pada UNCLOS 1982,” kata Ali.

Ia mengatakan, kerja sama di kawasan perairan Natuna serta-merta hanya sebagai upaya menurunkan tensi di kawasan tersebut. Kerja sama itu bisa dengan siapa saja, termasuk China.

Indonesia, menurut dia, akan fokus pada pendekatan diplomatis dalam perkara ini. Bahkan, katanya, China pun menaruh harapan kepada Indonesia sebagai tombak penggerak dalam menurunkan tensi kawasan tersebut.

Baca juga: Pernyataan Bersama Prabowo-Xi soal LCS Menuai Reaksi di Indonesia

Secara terpisah, mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto mengatakan, dalam diplomasi luar negeri Indonesia, ada beberapa kata yang tabu untuk diucapkan. Alasannya adalah konsekuensi diplomatis dan geopolitik.

Kata-kata itu antara lain referendum, overlapping, dan nine dash line. Namun, dalam pertemuan antara Prabowo Subianto dan Xi Jinping, terjadi perubahan mendasar. Ia mempertanyakan, apakah ada pergeseran signifikan dari UNCLOS 1982, terutama soal penyelesaian konflik di Laut China Selatan.

Ia mengusulkan agar politik luar negeri Indonesia tetap pada empat prinsip yang jadi pegangan sejak 1982. Keempat prinsip tersebut adalah Indonesia bukan negara pengklaim, Indonesia melaksanakan hak berdaulat di ZEE, penyelesaian konflik di Laut China Selatan berbasis UNCLOS 1982, serta diberlakukannya Declaration on Conduct of Parties (DOC) dan Code of Conduct (CoC) di ASEAN. ”Tiba-tiba yang nomor 3 rontok, nomor 1 jadi abu-abu,” kata Andi.

Sebelumnya, beberapa akademisi mempertanyakan penggunaan terminologi overlapping dalam pernyataan bersama Indonesia-China tersebut. Kata overlapping tersebut, apabila diasumsikan bahwa yang dibicarakan adalah tumpang tindih antara nine dash line (NDL) China dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, berarti terjadi ketidakseimbangan aturan.

ZEE Indonesia ada berdasarkan UNCLOS, sementara NDL China adalah klaim sepihak tanpa aturan internasional. Justru klaim NDL ini yang menjadi sumber konflik dengan berbagai negara ASEAN.

 ”Ini berarti secara implisit kita mengakui nine dash line, yang berarti kita tidak menjunjung UNCLOS,” kata I Made Andi Arsana, dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

HUT Marinir

Dalam kesempatan yang sama, Ali berolahraga bersama Korps Marinir dalam rangka menjelang HUT Ke-79 Marinir pada 15 November mendatang. Selain jalan pagi dan senam pagi, serta pelepasan 579 jalak di Kesatrian Marinir Hartono, Cilandak, Ali juga menyerahkan 18 unit kendaraan dinas untuk Korps Marinir TNI AL, yang diwakili oleh Komandan Korps Marinir (Dankormar) TNI AL Mayjen TNI (Mar) Endi Supardi.

”Prajurit Marinir ini adalah prajurit yang siap ditugaskan dengan mobilisasi yang cukup tinggi. Mobilitasnya cukup tinggi, kemudian pasukannya bisa digerakkan ke mana pun dibutuhkan. Prestasinya cukup banyak dan sekarang juga ada yang bertugas di Timur Tengah bersama UNIFIL sebagai pasukan perdamaian PBB,” kata Ali.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved