Opini
Opini: Netralitas ASN, Antara Tuntutan Profesionalisme dan Godaan Kekuasaan
Dalam banyak kasus, ASN tidak hanya berada di bawah tekanan politik, tetapi juga diiming-imingi keuntungan karier, seperti promosi jabatan atau
Oleh: Marianus Jefrino, S.Fil
Staf Pengajar di SMA Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat dan Alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Flores
POS-KUPANG.COM - Fenomena ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada Serentak 2024, sekali lagi, menunjukkan betapa rapuhnya batas antara profesionalisme ASN dan pengaruh kekuasaan politik di tingkat lokal.
Media Indonesia dalam laman editorial, bertajuk, "Jargon Kosong Netralitas" pada 9 Oktober 2024 menegaskan pelanggaran netralitas ASN, bukanlah fenomena baru.
Di balik mencuatnya isu ini, tercatat sebanyak 2.304 laporan pelanggaran pada Pilkada 2020 lalu. Hal ini semakin memperkuat kesan bahwa netralitas ASN hanya sebatas jargon tanpa arti.
Tulisan ini tidak hanya mengupas permasalahan tersebut, tetapi juga menawarkan pandangan kritis mengenai bagaimana tuntutan profesionalisme ASN sering kali bertentangan dengan godaan kekuasaan politik, yang begitu kuat di tingkat lokal?
Profesionalisme yang Terusik oleh Relasi Kuasa
ASN di Indonesia diharapkan untuk bersikap netral dalam setiap kontestasi politik, termasuk pilkada.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh pengamat politik lokal, Syamsuddin Haris, salah satu tantangan utama adalah relasi kuasa yang dekat antara pejabat publik dan ASN di tingkat daerah.
Dalam banyak kasus, ASN tidak hanya berada di bawah tekanan politik, tetapi juga diiming-imingi keuntungan karier, seperti promosi jabatan atau peningkatan status sosial.
Ini menciptakan situasi di mana loyalitas ASN lebih diarahkan kepada pejabat daripada pada prinsip-prinsip netralitas dan profesionalisme.
Menurut Syamsuddin Haris, dalam bukunya yang berjudul, Demokrasi Lokal dan Politik Kekuasaan (2007: 88), politik patronase di tingkat lokal merupakan salah satu penyebab utama pelanggaran netralitas ASN.
Di lingkungan lokal, relasi kuasa yang lebih personal memungkinkan pejabat daerah untuk menekan ASN, agar berpihak kepada kandidat yang mereka dukung.
Tentu dengan harapan ASN tersebut mendapat keuntungan berupa promosi atau jabatan strategis.
Politik patronase yang kuat di tingkat lokal sering kali menjadi faktor utama ASN tergoda, untuk berpihak pada salah satu calon kepala daerah.
Para ASN yang melihat adanya peluang keuntungan pribadi, baik berupa jabatan atau keuntungan material, cenderung mendukung kandidat yang diprediksi menang.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat netralitas ASN sebagai abdi negara, yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme, tanpa terpengaruh oleh politik praktis.
Jargon Kosong yang Membayangi Netralitas ASN
Jargon netralitas sering kali tidak lebih dari sekadar retorika tanpa tindakan nyata.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi dan pedoman, seperti Surat Keputusan Bersama antara Kementerian PAN-RB, Bawaslu, KPU, dan Kemendagri untuk mengawasi netralitas ASN, efektivitasnya masih diragukan.
Hal ini disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya sanksi yang tegas serta konsisten bagi pelanggar (Editorial Media Indonesia, 9/10/2024).
Penegakan sanksi yang tegas sebenarnya sudah menjadi isu klasik dalam penegakan hukum di Indonesia.
Menurut Agus Pramusinto, dalam bukunya, Birokrasi dan Netralitas ASN dalam Politik Lokal (2021: 142), sanksi yang diberikan kepada ASN yang melanggar netralitas sering kali tidak memberikan efek jera.
Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa banyak pelanggar tetap mendapat promosi, karena kandidat yang mereka dukung memenangkan pilkada.
Akibatnya, ASN yang melakukan pelanggaran merasa tidak ada konsekuensi nyata, yang menghalangi mereka untuk terlibat dalam politik praktis.
Mengembalikan Netralitas sebagai Harga Mati
Dalam menghadapi kompleksitas ini, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis dan tegas.
Pertama, regulasi yang ada harus diperkuat dengan implementasi yang konsisten dan sanksi yang lebih berat.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah meningkatkan peran Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Bawaslu dalam memantau dan menindaklanjuti setiap laporan pelanggaran secara lebih proaktif.
Sistem pelaporan yang tersedia saat ini perlu dioptimalkan, agar masyarakat dapat terlibat aktif dalam pengawasan.
Eko Prasojo, dalam bukunya, Etika Administrasi Publik: Menegakkan Integritas ASN (2016: 201) menyarankan agar ASN diberikan pendidikan dan pelatihan intensif terkait dengan etika profesionalisme, terutama dalam konteks birokrasi, yang sering terpapar tekanan politik.
Menurutnya, upaya pembinaan ini harus menjadi agenda prioritas pemerintah, untuk memastikan ASN memahami batas antara tugas profesional dan kepentingan politik.
Terakhir, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memperkuat mekanisme perlindungan bagi ASN, yang memilih untuk bersikap netral, terutama dalam menghadapi tekanan politik dari pejabat atau kandidat yang berkuasa.
Dalam beberapa kasus, ASN yang berani menolak pengaruh politik malah mendapatkan sanksi atau dimutasi secara tidak adil.
Proteksi bagi mereka yang berpegang teguh pada netralitas perlu ditingkatkan, agar ASN merasa aman dalam menjalankan tugasnya tanpa intervensi politik.
Netralitas ASN bukan Sekadar Slogan
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia harus menjadikan netralitas ASN sebagai pilar utama dalam setiap proses politik, terutama dalam pilkada.
Tuntutan profesionalisme ASN tidak boleh lagi terganggu oleh godaan kekuasaan yang sering kali hadir dalam bentuk politik patronase di tingkat lokal.
Meskipun tantangan yang dihadapi tidak mudah, dengan regulasi yang lebih kuat, penegakan hukum yang konsisten, serta pembinaan etika yang mendalam, netralitas ASN bukan hanya jargon kosong.
Ini harus menjadi prinsip yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh seluruh komponen bangsa.
Dengan demikian, ASN dapat kembali pada peran sejatinya sebagai pelayan publik yang profesional, netral, dan berintegritas tinggi, bebas dari intervensi politik yang merusak demokrasi lokal. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.