Berita Lembata

Pertanian Cerdas Iklim, Langkah Petani Desa Wowong Keluar dari Keterpurukan Ekonomi Pasca Seroja

Kepala Desa Wowong, Jubir Latif Leki, ekonomi warga langsung terpuruk karena sumber penghasilan mereka satu-satunya, peternakan dan pertanian, juga ‘t

Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/RICKO WAWO
Petani di Desa Wowong, Abdul Latif Leki sedang menjelaskan sistem pertanian cerdas iklim, Rabu, 30 Oktober 2024. Kebun ini jadi salah satu lokasi kegiatan pelatihan pertanian cerdas iklim ini yang merupakan bagian dari program Youth Lead Climate Resilliance (YLCR/Kepemimpinan Kaum Muda untuk Ketangguhan Iklim) yang di implementasikan oleh Plan Indonesia di kabupaten lembata. 

POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Masih lekat di ingatan Abdul Latif Leki banjir bandang yang menerjang desa Wowong, Kecamatan Buyasuri pada 4 April 2021 silam. 

Hujan deras yang mengguyur dari siang sampai malam hari seketika menenggelamkan desa pesisir selatan Lembata tersebut.

Tidak hanya rumah yang terdampak. Hewan ternak juga mati lemas. Hasil panen seperti jagung, kacang hijau, kelapa, dan pisang hanyut terbawa air bah. Lahan pertanian dan perkebunan milik warga juga terendam lumpur.

Pada malam naas itu, Abdul Latif Leki dan keluarganya serta warga Desa Wowong lainnya mencari selamat di punggung bukit yang mengelilingi desa. Sawah, kebun dan hewan ternak, penopang ekonomi masyarakat ini tidak bisa diselamatkan.

Mereka kemudian tahu kalau hujan deras yang menyebabkan banjir itu terjadi karena badai seroja yang menghantam wilayah NTT.

“Kami harus mulai dari nol lagi,” kenang Abdul Latif Leki saat ditemui di kebun hortikultura miliknya, Rabu, 30 Oktober 2024.

Kenangan serupa juga diceritakan Abdul Gulam Lamadike dan istrinya. 

Malam itu, Abdul hanya bisa pasrah melihat kebun miliknya sudah tertutup lumpur tebal. Beberapa ekor kambing peliharaannya mati dan puluhan ekor ikan lele yang ada di kolam belakang rumah pun hanyut.

“Semua ikan lele itu tercecer di tanah dan mati,” katanya.

Sama seperti Abdul Latif Leki, dia juga tidak punya pilihan lain. Untuk bisa melanjutkan hidup, dia dan istrinya harus memulai semuanya dari tangan hampa.

Baca juga: Paket Manis Libatkan Semua Pihak Atasi Kekerasan Seksual di Lembata

“Syukurnya tidak ada korban jiwa. Kalau uang kita bisa cari lagi,” tandas Abdul meyakinkan diri kala itu.

Tidak mudah bagi Abdul Latif Leki, Abdul Gulam Lamadike dan warga desa Wowong lainnya memulai hidup pasca Seroja menerjang.

Sebagaimana yang diakui Kepala Desa Wowong, Jubir Latif Leki, ekonomi warga langsung terpuruk karena sumber penghasilan mereka satu-satunya, peternakan dan pertanian, juga ‘terseret banjir’.

“Saat bencana Seroja saya masih menjabat sebagai sekretaris desa,” kata Jubir. Setahun setelah Badai Seroja, Jubir terpilih sebagai kepala desa. Memulihkan ekonomi warga desa adalah hal pertama yang harus pemuda 32 tahun ini lakukan.

Bak gayung bersambut, Desa Wowong yang merupakan satu dari 79 desa dampingan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) di Lembata mempunyai misi yang sama dengan Jubir selaku kepala desa: Memulihkan ekonomi warga pasca Seroja.

Plan Indonesia dan pemerintah desa Wowong mulai mendampingi masyarakat menggembur lagi lahan-lahan pertanian yang tertutup lumpur, lalu menerapkan sistem pertanian cerdas iklim.

Plan Indonesia memprakarsai pengelolaan kebun cerdas iklim yang dirancang untuk mengembalikan produktivitas lahan pasca bencana dan mendukung ketahanan pangan.

Dengan dukungan dari Dinas Pertanian Kabupaten Lembata juga, kelompok tani di Desa Wowong berhasil mengembangkan pertanian hortikultura, mengoptimalkan produksi sayuran dan membuka akses ke pasar Walangsawa dan Wairiang, dua pasar yang ramai di ujung timur Lembata.

Pertanian cerdas iklim, ungkap Jubir, merupakan praktik pertanian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada. Jadi para petani sedapat mungkin menghindari penggunaan zat-zat kimia yang bisa mengurangi unsur hara dalam tanah.

“Misalnya, para petani di sini juga mulai menggunakan pupuk kompos yang sumbernya dari kotoran ternak dan sampah organik lainnya seperti sisa rumput, sisa sayuran, daun dan buah-buahan,” kata Abdul Gulam Lamadike.

Walhasil, produksi sayuran, tomat, cabai dan terong dari desa Wowong yang masuk ke pasaran jauh lebih segar dan sehat. Ini terlihat di kebun demonstration plot (demplot) yang dikelola kelompok tani Waewerung dan juga tampak jelas di kebun milik Abdul Latif Leki.

“Di pasar orang lebih suka sayur-sayuran organik karena lebih segar,” pungkas Abdul Latif Leki.

Dampak Ekonomi dan Penurunan Angka Tengkes

Dengan semangat pemulihan ekonomi, Jubir kemudian memperlebar relasi. Pada tahun 2024, PT Pupuk Indonesia (Persero) memulai programnya di desa Wowong dengan membuka demplot sayuran organik, menggelar sejumlah program pendampingan petani dan memasang instalasi irigasi tetes.

Tiga tahun setelah Seroja, Jubir dan para petani di desa Wowong mulai memanen hasil dari sistem pertanian cerdas iklim yang digagas Plan Indonesia dan mendapat dukungan dari pemerintah ini. 

Abdul Latif Leki, misalnya, bisa meraup untung sampai Rp 8 juta sebulan. Cuan sebanyak ini dia dapatkan dari hasil penjualan tomat, lombok dan sayur-sayuran organik di pasar.

“Dijual di dua pasar (Walangsawa dan Wairiang) itu saja, belum masuk sampai di kota Lewoleba. Tetapi ada juga yang datang beli langsung di kebun,” ucap Abdul Latif yang pernah sepuluh tahun merantau di Malaysia ini.

Keuntungan berlipat dari penerapan sistem pertanian cerdas iklim juga dirasakan langsung Agustina Baha.

“Saya tentu bangga menjadi petani karena setiap hari ada pemasukan,” katanya.

Perempuan 52 tahun ini mengakui model pertanian cerdas iklim dan penerapan irigasi tetes lebih menguntungkan petani.

“Kita hanya susah di tiga bulan awal saja, tetapi setelah itu kita panen setiap saat,” kata Agustina tersenyum.

Dari segi kesehatan, Jubir bisa melihat langsung dampak positifnya dari menurunnya angka tengkes (stunting) di desa Wowong.

Tiga tahun lalu, ada 12 anak di desanya yang menderita tengkes. 

Sekarang sisa dua orang anak saja yang tengkes.

Sejak diterapkannya perkebunan hortikultura berbasis pertanian cerdas iklim, anak-anak mulai mengkonsumsi sayur-sayuran organik yang bergizi. Makan sayur menurut dia menjadi kebiasaan anak-anak di desa Wowong.

“Dulu anak-anak hanya makan nasi dan ikan saja karena kami desa pinggir laut. Tetapi sekarang anak-anak juga gemar makan sayur dari kebun orangtua mereka,” ujarnya.

Bagi Jubir dan petani desa Wowong, pertanian cerdas iklim ibarat mengubah bencana menjadi berkat. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved