Opini

Opini: Membumikan Teologi Publik

Lantas, bagaimana menerjemahkan kunjungan Paus Fransiskus di tengah situasi ketertindasan masyarakat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, NTT?

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Ican Pryatno 

Oleh: Ican Pryatno
Mahasiswa Magister Teologi Kontekstual IFTK Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3 sampai 6 September 2024 bukan sekadar kunjungan Apostolik. 

Namun, kunjungan tersebut mencerminkan misi Paus Fransiskus yang bergerak dari ‘altar menuju pasar’. 

Ia tidak menutup diri dengan keadaan sosial. Justru ia datang untuk terlibat langsung dalam urusan bersama. Persis di sinilah Paus Fransiskus mencerminkan semangat dasar Teologi Publik.

Lantas, bagaimana menerjemahkan kunjungan Paus Fransiskus di tengah situasi ketertindasan masyarakat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, NTT?

Spirit Teologi Publik

Tentu Teologi Publik merupakan sebuah konsep teologis yang unik. Tidak seperti Teologi Tradisional yang hanya sibuk dengan pembicaraan relasi personal dengan Tuhan, Teologi Publik justru berkutat dengan kontribusi iman dalam dunia bersama (David Bromell, 2011:5).

Menurut Stepehn van Erp, Teologi Publik merupakan sebuah kerja kolaboratif dalam refleksi teologis atas isu-isu publik. 

Bagi Erp, isu-isu publik itu tentu ‘menggangu’. Karena itu, Teologi Publik terdorong untuk cepat tanggap dan memberikan sumbangsi dalam urusan sosial (Erp:2024).

Persis di sinilah Paus Fransiskus menunjukkan sikapnya. Diinspirasi dari semangat dasar Teologi Publik, Paus Fransiskus pun selalu berkutat dengan urusan bersama. 

Karena itu, dalam lawatan ke Indonesia, misalnya, Paus Fransiskus menunjukkan keterlibatannya itu dengan turut menandatangani deklarasi Istiglal. 

Bersama tokoh lintas agama di Indonesia, melalui penandatangan itu, ia menaruh perhatian pada masalah dehumanisasi dan perubahaan iklim (mediaindonesia.com, diakses pada 8 Oktober 2024).

Karena itu, dalam lawatannya ke Indonesia, Paus Fransiskus menunjukkan keterlibatannya dalam corak bermisinya yang khas. Dalam semangat Teologi Publik, Paus Fransiskus menunjukkan warna keterbukaan. 

Ia tidak berbicara untuk diri sendiri. Ia justru menekankan pemberitaan kabar baik kepada seluruh dunia (Bdk. Matius 24:14). 

Ia tidak berbicara secara monologal. Namun seperti Yesus, ia justru berani menyampaikan kebenaran secara universal kepada semua orang (Armada Rianto, 2021:3). 

Persis inilah semangat dasar Teologi Publik dalam diri Paus Fransiskus, tatkala atas nama misi bersama, ia berani beranjak keluar dari ‘lintas batas’. 

Ia berani ‘membumikan iman’, tatkala keyakinannya yang intim dengan Yang Tertinggi membuahkan refleksi kritis atas kejadian konkret setiap hari.

Peka Terhadap Jeritan

Dalam keterbukaan, spirit Teologi Tublik ini mendorong Paus Fransiskus untuk tanggap terhadap ‘ratap- tangis’. ‘Ratap tangis’ berhubungan dengan kesedihan, tentang keterlukaan dan penderitaan korban. 

Ini adalah realitas yang selalu dekat dengan manusia. Karena memang secara eksistensial manusia adalah makluk yang terluka (Budi Kleden, 2024).

Maka karena keterlukaan inilah, Paus Fransiskus sadar untuk terlibat. Bagi Paus Fransiskus, korban tentu menjerit sakit. Korban pasti tersiksa dengan pengalaman traumatik. 

Karena itu, berhadapan dengan ‘situasi batas’ demikian, Paus Fransiskus menyadari betapa pentingnya mengambil sikap. Iman tidak boleh cari aman. Iman mesti keluar untuk terlibat. 

Sehingga ia menulis demikian: “Saya lebih memilih Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena berada di jalan dari pada Gereja yang sehat karena terkurung dan bergantung pada keamanan sendiri”.

Maka dalam semangat dasar Teologi Publik ini, bagi Paus Fransiskus, iman yang terlibat bukan sekadar perasaan iba. Namun, iman yang terlibat identik dengan bela rasa. 

Bela rasa adalah sebuah gerakan aktif. Ia menuntut kewajiban untuk terbuka dan ‘menangkap’ penderitaan korban. Ia menghendaki agar setiap
orang menunjukkan solidaritas dan mengambil bagian dalam tindakan konkret (Sunarko, 2022:266).

Sikap etis semacam ini pun, ditunjukkan Paus Fransiskus secara konkret-simbolis semisal mengunjungi pengungsi di Pulau Lampedusa, Italia, dan turut membasuh kaki para tahanan di penjara pada Kamis Putih (Otto Gusti Madung:2024).

Namun demikian, dalam mengambil bagian dalam tindakan konkret semacam ini, Paus Fransiskus menyadari agat tiap-tiap orang tidak sekadar ‘menggarami’ kenyataan dan memulihkan keterlukaan korban. 

Namun, dalam terang Teologi Publik, menurut Paus Fransiskus, orang juga perlu untuk memuliakan martabat korban dengan menghapus ketidakadilan. 

Dalam terang iman, orang perlu membangun dan menatah struktur sosial yang adil, serta menjamin kepastian hukum (Paus Fransiskus, 2024:74).

Relevansi Teologi Publik di Tingkat Lokal

Berhadapan dengan situasi ketertindasan dan persoalan kemanusiaan di tingkal lokal, seperti di Poco Leok, Manggarai, spirit Teologi Publik dalam diri Paus Fransiskus mesti menjadi inspirasi keterlibatan Gereja. 

Di tengah gempuran penolakan pendirian perusahaan Geothermal di daerah tersebut, Gereja Lokal mesti berani memihak di sisi korban. Orang-orang di sana memang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan. 

Mereka hanyalah orang-orang kecil yang berjuang atas nama kemanusiaan dan keadilan. Karena itu, ketimbang berjibaku dengan para teknokrat pembangunan, sudah selayaknya Gereja Lokal berpihak pada korban. 

Seperti yang dihidupi Paus Fransiskus, Gereja mesti mendengarkan jeritan orang-orang di sana. 

Kalau selama ini Gereja terkesan kurang tanggap dengan persoalan demikian, sudah saatnya Gereja hadir sebagai Nabi yang mendengungkan kebenaran dan memulihkan keterlukaan martabat korban. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved