Opini
Opini: Menjadi Murid yang Memberdayakan Dalam Kasih dan Peduli Masalah Stunting
Teks Matius 18:15-20 sering dibahas dalam konteks menjaga keutuhan komunitas dan menekankan proses pemulihan relasi yang didasari pada kasih.
Oleh Mesakh A.P.Dethan
Dosen Universitas Kristen Artha Wacana Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Majelis Sinode GMIT memberikan tema pada minggu ini berdasarkan teks Injil Matius 18:15-20 dengan tema “Menasehati sesama saudara dalam rangkulan kasih”.
Ini tema yang baik dan menarik karena mengungkapkan pesan teks dengan jelas. Supaya tema ini makin mendapatkan tempat di hati kita semua, saya ingin mengajak kita semua untuk juga membaca Matius 28:15-28.
Teks Matius 18:15-20 sering dibahas dalam konteks menjaga keutuhan komunitas dan menekankan proses pemulihan relasi yang didasari pada kasih.
Ketika ada saudara seiman yang berbuat kesalahan, Yesus memberi tuntunan bagaimana gereja harus bersikap: dengan mencari pemulihan secara pribadi, lalu melibatkan beberapa saksi, dan akhirnya secara lebih luas melalui gereja jika perlu.
Tuntunan ini adalah panggilan untuk tetap berpegang pada kasih, keadilan, dan tanggung jawab dalam membangun jemaat Yeruel Seba Kota yang sehat dan saling peduli satu dengan yang lain.
Sementara itu Matius 28:15-20 dikenal sebagai “Amanat Agung” di mana Yesus, setelah kebangkitan-Nya, memberi perintah kepada para murid untuk memberitakan Injil dan menjadikan semua bangsa muridNya.
Ini adalah perintah yang monumental dan menuntut respons dari setiap pengikut Kristus, termasuk kita.
Namun, apa artinya menjalankan Amanat Agung ini dalam konteks sehari-hari, dan lebih lagi dalam menghadapi tantangan sosial seperti persoalan stunting di Indonesia dan NTT?
Lebih jauh perikop kita akan melihat kedua teks ini. Pertama dalam teks Injil Matius 18:15-20 menekankan pentingnya pemulihan relasi di dalam dalam gereja sebagai suatu komunitas iman.
Hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab kita sebagai anggota tubuh Kristus untuk menjaga dan memperbaiki hubungan.
Dalam teks ini, Yesus memberikan tiga langkah utama dalam menyelesaikan perselisihan.
1. Pendekatan pribadi - Berbicara secara langsung dengan yang bersangkutan. Jangan buat gosip atau sebarkan gosip tentangnya, atau malah muat di status FB: “Tentangga saya ada begini dan begitu."
Begitu juga anak-anak jangan suka membuli jika bertemu dengan kawan-kawan yang bermasalah. Karena perilaku bullying sifatnya merusak (Emilia 2022) dan bukan membangun.
Sebagai remaja dan pemuda Kristen kita harus memiliki karakter kristiani. Karena itu para orang tua di Jemaat Yeruel Seba Kota patut melakukan oendidikan karakter dalam keluarga masing-masing (Sudirman and Maemunah 2023).
Karena jika ini yang kita lakukan, perilaku gosip dan membuli, maka sebetulnya kita sudah memvonis dan menghukum orang tanpa ada rasa kasih.
Padahal dalam kehidupan gereja kasih harus diutamakan, kendatipun dalam gereja juga berlaku hukum dan disiplin gereja.
Menurut R. T. France (France 2007) dalam bukunya The Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 2007, halaman 687-692), France menekankan pentingnya pendekatan yang penuh kasih dalam proses disiplin gereja, dimana langkah-langkah ini bukan untuk menghukum tetapi untuk memulihkan dan menjaga kesatuan tubuh Kristus.
Penegakan disiplin gereja perlu untuk menjaga kekudusan dalam gereja (Loi 2022), dan bukan dalam rangka menghukun tetapi pemulihan.
Pemulihan di sini berarti mengembalikan orang yang bersalah ke dalam persekutuan dengan gereja dan dengan Allah. Yang kita lakukan bukan menghukum dan mengusir dari persekutuan, tetapi merangkul dan “mendapatkan kembali saudara kita yang hilang”.
2. Pendekatan bersama saksi. Bahwa jika langkah pertama gagal, beberapa saksi harus diajak dalam upaya penyelesaian.
Artinya bahwa jika pendekatan pribadi saja, tidak mempan, kita dapat mengajak orang lain yang lebih berkompeten dan punya pengaruh untuk selesaikan masalah.
Jadi ingat, ajak orang yang kompeten, bukan ajak provokator atau mulut ember.
Hal ini penting artinya penyelesaian masalah masih dalam lingkup yang kecil, dan hal-hal yang sifatnya pribadi masih bisa terjaga, walaupun ada satu dua orang saksi untuk membantu menyelesaikan masalah.
Penekanan pada penyelesaian yang sifatnya pribadi dan menjaga privasi orang ini sebetulnya sudah dipraktikkan oleh orang-orang Yahudi sejak dulu kala.
Menurut Craig S. Keener (Keener 1999)dalam bukunya A Commentary on the Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 1999, halaman 453-456), Keener membahas konteks sosial dan komunitas dalam teks ini.
Ia menyebutkan bahwa dalam budaya Yahudi, konflik dalam komunitas seharusnya diselesaikan secara pribadi terlebih dahulu.
Prinsip ini dimaksudkan agar tidak mempermalukan pihak yang bersalah, tetapi menunjukkan kasih yang berupaya memulihkan.
Keener juga mencatat bahwa ayat 20 (di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Yesus) memperlihatkan bahwa Yesus hadir dalam upaya penyelesaian konflik dalam jemaat.
Bahwa dua tiga orang berkumpul bukan untuk bicara aib orang tetapi dalam rangka mencari penyelesaian masalah yang dihadapi. Jadi jika dua tiga ibu berkumpul cari kutu, bukan dalam rangka omong gosip tapi omong firman Tuhan.
3. Pendekatan gereja - Jika kedua langkah sebelumnya tidak berhasil, maka masalah itu dibawa ke gereja untuk keputusan terakhir. Artinya masalah seseorang dibuka untuk dibicarakan secara bersama dalam gereja, adalah langkah terakhir.
Perlu dicatat bahwa masalahnya dibuka untuk umum dalam gereja, juga bukan dalam rangka menghukum dan mempermalukan tetapi masih dalam bingkai kasih untuk pemulihan relasi dengan saudara kita yang bermasalah itu.
Menurut Donald H. Hagner (Hagner 1995) dalam bukunya Matthew 14-28 (Dallas: Word Books, 1995, halaman 531-534), Hagner menjelaskan bahwa perikop ini menjadi acuan penting tentang disiplin gereja dan bagaimana menjaga relasi yang sehat.
Hagner menekankan bahwa proses ini bersifat restoratif dan bukan menghukum, dengan tujuan akhir untuk mendamaikan yang bersalah dengan jemaat.
Selain itu, ayat 18-20 menekankan kehadiran Tuhan dalam jemaat nyata ketika jemaat yang berkumpul dalam dan atas namaNya. Ini menegaskan
bahwa penyelesaian masalah di dalam gereja juga dilakukan dalam kuasa dan hikmat Tuhan.
Artinya dalam penyelesaikan masalah kita mengandalkan hitmat Tuhan, kita mengandalkan kuasa dan kekuatan Roh Kudus, bukan mengandalkan kepada hikmat manusia dan kepintaran manusia semata.
Sementara itu dalam Matius 28:15-20 dimulai dengan pernyataan bahwa para tentara yang menjaga makam Yesus disuap untuk menyebarkan kebohongan tentang tubuh Yesus yang dicuri (ayat 15).
Ini mengingatkan kita bahwa dalam menjalankan kebenaran, seringkali kita berhadapan dengan tantangan dan kebohongan dunia. Namun, perintah Yesus di ayat 19 untuk "menjadikan semua bangsa murid" melampaui segala kebohongan duniawi.
Yesus memberikan tiga perintah utama dalam teks ini:
Pergi: Tindakan aktif untuk membawa pesan Injil kepada setiap orang.
Menjadikan murid: Bukan sekadar memberitakan, tetapi mengajar orang-orang untuk hidup sebagai pengikut Kristus.
Membaptis dan mengajar: Ini adalah proses yang menyeluruh, bukan hanya perubahan sesaat tetapi transformasi hidup melalui iman.
Yesus juga berjanji untuk selalu menyertai murid-murid-Nya sampai akhir zaman (ayat 20), sebuah janji penghiburan bahwa kita tidak sendirian dalam melaksanakan Amanat Agung ini.
Beberapa ahli tafsir seperti William Hendriksen dan Craig Keener menekankan bahwa Amanat Agung bukan hanya perintah untuk sekadar mengajarkan doktrin, melainkan juga membangun komunitas yang hidup dalam terang pengajaran Kristus.
Ini adalah panggilan untuk memuridkan, yang melibatkan pembinaan spiritual, etika, dan sosial.
David Turner juga menunjukkan bahwa mandat "mengajarkan mereka melakukan segala sesuatu" adalah tanda bahwa Injil mengubah seluruh hidup seseorang, baik dalam relasi pribadi maupun tanggung jawab sosial termasuk tanggungjawab dalam pengetasan stunting di Indonesia.
Beberapa hal dapat kita renungkan dan aplikasikan dalam hidup kita bersama.
1. Dalam kehidupan sehari-hari
Dalam teks yang pertama, Matius 18:15-20 mengajarkan kita tentang pentingnya kasih dan tanggung jawab dalam memperbaiki relasi di dalam komunitas.
Ketika kita menghadapi masalah atau perbedaan, kita diajarkan untuk berupaya secara proaktif dalam menyelesaikannya, dimulai dengan pendekatan pribadi yang lembut.
Prinsip kasih yang mengutamakan pemulihan adalah bagian dari panggilan kita sebagai pengikut Kristus untuk saling membangun. Jangan pakai media sosial seperti FB untuk menyelesaikan masalah.
Jika suami atau istri ada masalah, jangan muat status untuk saling permalukan. Itu bukan langkah gerejawi, tetapi langkah dunia yang menyesatkan.
Daripada kita saling menyalahkan atau mempermalukan satu sama lain, lebih baik mari kita melihat masalah bersama di sekitar kita yakni masalah stunting.
Karena itu saya mengajak Jemaat Yeruel Seba Kota untuk punya kepedulian terhadap persoalan Stunting di NTT dan di Sabu Raijua yang masih tinggi.
Sedangkan dalam teks Matius 28:15-20 kita bisa belajar bahwa dalam kehidupan sehari-hari: Amanat Agung memanggil kita untuk menjadi agen perubahan di lingkungan kita.
Hidup sebagai murid Kristus berarti mempengaruhi keluarga, komunitas, dan tempat kerja kita dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.
Tugas kita bukan hanya membicarakan Injil tetapi juga menunjukkan kasih, keadilan, dan kebenaran melalui tindakan kita.
Melalui kasih kepada sesama, kita memuliakan Tuhan dan menggenapi panggilan ini.
Kepedulian terhadap persoalan stunting: Di Indonesia, dan khususnya di NTT, masalah stunting merupakan tantangan yang serius.
Stunting bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga ketidakadilan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi masa depan anak-anak.
Ketika kita memahami Amanat Agung, kita dipanggil untuk peduli dan bertindak terhadap penderitaan manusia.
Melawan stunting bisa menjadi salah satu cara konkret menghidupi perintah Yesus untuk mengasihi sesama.
Kita bisa mendukung program-program kesehatan masyarakat, memberikan edukasi gizi, dan membangun kolaborasi dengan gereja-gereja serta lembaga-lembaga sosial lainnya untuk membantu keluarga-keluarga yang terdampak stunting.
Sebagai komunitas gereja, kita dapat memberikan perhatian khusus kepada kesehatan ibu hamil dan anak-anak, menyediakan makanan sehat, dan memastikan akses terhadap air bersih.
2. Kepedulian terhadap persoalan stunting di NTT dan Sabu Raijua
Dalam konteks stunting yang tinggi di Indonesia, terutama di NTT dan Sabu Raijua, kita dapat melihat bahwa masalah ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk gereja.
Gereja adalah mitra pemerintah dalam menyelesaikan masalah stunting. Gereja, Kampus dan pemerintah bisa berkolaborasi dan berbagi tangungjawab dalam mengatasi stunting (Zaluchu 2023).
Stunting bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga mencerminkan ketidakadilan sosial dan ketidaksetaraan ekonomi yang berdampak pada anak-anak.
Di sinilah pentingnya kampus gereja, dan pemerintah mengatasi stunting berbasi agama dan budaya lokal (Sazali and Utami 2023).
Kemarin dalam rapat koordinasi stunting di Gereja Yeruel bapak Sekda Sabu Raijua mengatakan bahwa ketika kita bicara stunting, kita berbicara tentang penanganan stunting sejak dalam kandungan, agar supaya orang tua bisa melahirkan generasi yang sehat dan cerdas.
Hasil penelitian menunjukan kita tidak saja perlu untuk mengenali faktor-faktor pencegahan stunting (“Faktor faktor Pencegahan Stunting,” n.d.) tetapi juga penanganan stunting lebih awal teramat penting.
Bahwa seribu hari pertama kehidupan manusia itu penting untuk mendapatkan asupan nitrisi (Marni and Ratnasari 2021)untuk mencegah stunting (Pengabdian Masyarakat et al., n.d.)
Sikap kita sebagai orang Kristen haruslah menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap anak-anak yang rentan ini.
Gereja sebagai komunitas Kristus bisa menjadi pelopor dalam mengatasi masalah ini, dimulai dengan meningkatkan kesadaran jemaat akan pentingnya gizi dan kesehatan anak-anak.
Menjadi "tangan kasih" bagi keluarga yang terdampak dengan memberikan edukasi kesehatan, makanan bergizi, dan program bantuan yang memadai dapat menjadi langkah nyata gereja dalam mengurangi stunting di lingkungan sekitar.
Kita dapat melaksanakan langkah-langkah berikut
1.Mengadakan edukasi gizi bagi ibu hamil dan balita di gereja dengan melibatkan ahli gizi atau tenaga Kesehatan atau gereja memfasiitasi pemerikaan kehamilan dan penyuluhan Kesehatan untuk mencegah stunting (Huru et al. 2023).
Hari ini pihak UKAW ( Universitas Kristen Artha Wacana) Kupang dan Jemaat Yeruel Seba Kota dalam bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Sabu Raijua menghadirkan ahli gizi untuk bicara bersama para mahasiswa dan alumni UKAW bersama anak-anak katekisasi Jemaat Yeruel.
Mari kita bersama anak-anak katekisasi gereja Yeruel Seba Kota. Ke depan bapak dan ibu guru sekolah minggu bisa mengajak anak-anak makan buah dan sayur.
Beberapa gereja di Pulau Jawa sudah mencoba misalnya di Gereja Kristen Jawi Wetan (Dewi 2022).
2. Membangun kerjasama dengan organisasi kesehatan dan sosial, baik pemerintah maupun swasta, untuk mendukung keluarga yang terdampak stunting.
Edukasi-edukasi kepada calon ibu, ibu yang sedang hamil atau yang sedang menyusui harus juga mendapatkan perhatian dari gereja untuk pencegahan stunting (Yulianti, Sofiyanti, and Sandra 2023).
3. Mendirikan pos pelayanan kesehatan gereja (Posyandu Gereja) di daerah-daerah yang sulit dijangkau untuk memudahkan akses kesehatan bagi masyarakat.
4. Mendorong anggota jemaat untuk menjadi agen peduli gizi dan kesehatan di lingkungannya, sehingga komunitas yang sehat bisa terbangun dari dalam.
Gereja harus berani dalam perayaan hari raya gereja untuk memberikan apresiasi kepada anak-anak Tuhan yang telah berjuang untuk atasi stunting dalam jemaat, berupa piagam atau hadiah hiburan.
Kepemimpinan (leadership) dan kualitas pelayanan gereja harus juga mampu memberi dampak untuk pelayanan masyarakat dalam arti luas termasuk stunting (Qusan 2024) .
Jadi bapak ibu saudara-saudari semua, saya ingin menyimpulkan bahwa teks Matius 18:15-20 mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga relasi dalam kasih yang tulus, serta mendorong kita untuk bertanggung jawab dalam kehidupan jemaat kita di Yeruel Seba Kota ini.
Prinsip pemulihan dalam gereja ini bisa kita terapkan dalam kepedulian nyata terhadap mereka yang rentan, termasuk dalam mengatasi masalah stunting di sekitar kita.
Ketika gereja peduli dan terlibat, maka kasih Kristus akan semakin nyata dirasakan oleh masyarakat, bangsa dan negara kita bahkan bagi dunia ini. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.