Opini

Opini: Kaum Muda dan Demokrasi

Namun di tengah euforia itu alangkah eloknya bila kita tidak tergoda, terlena, dan apalagi terhasut oleh buaian-buaian kosong para calon.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Yantho Bambang 

Oleh: Yantho Bambang
Tinggal di Biara Rogationist, Maumere Flores

POS-KUPANG.COM - Tinggal beberapa hari lagi kontestasi elektoral (pilkada serentak) akan digelar. 

Terlihat para kandidat di setiap daerah di tanah air sudah bersiap-siap dan bahkan sudah meramaikan panggung politik dengan menggelar kampanye besar-besaran di sejumlah tempat. 

Publik pun demikian, mereka terlihat antusias dan gembira atas kunjungan dan kampanye yang digelar oleh para calon di lingkungan atau daerah mereka masing-masing. 

Euforia menyongsong pesta demokrasi memang penting karena itu menjadi salah satu indikasi bahwa tingkat partisipasi politik publik sudah menunjukkan kemajuan signifikan.

Namun di tengah euforia itu alangkah eloknya bila kita tidak tergoda, terlena, dan apalagi terhasut oleh buaian-buaian kosong para calon.

Sebagai publik yang budiman kita seyogianya tetap cerdas, kritis, dan bila perlu bergerak lebih jauh dari hal-hal yang bersifat prosedural kepada pada hal-hal lebih substansial, misalnya menyangkut isu keadilan, kesetaraan, dan kebebasan yang akhir-akhir luput dari perhatian para
calon dan penguasa.

Selain itu salah satu isu penting yang hemat saya perlu diperhatikan adalah menyangkut kiprah kaum muda. Kita perlu menggugat kembali peran politik kaum muda. 

Hal ini penting mengingat bulan ini, kita memperingati peristiwa Sumpah Pemuda, peristiwa di mana pemuda setanah air menyatakan komitmen terhadap nusa dan bangsa.

Kaum Muda dan Demokrasi

Apakah kaum muda pelopor demokrasi? Jawaban terhadap pertanyaan ini ada dalam sejarah. Karena itu kita perlu merunut kembali ke sejarah masa lampau. Ide tentang demokrasi memang sudah muncul sejak zaman Yunani klasik. 

Namun semua filsuf besar yang tampil pada masa itu cenderung melihat demokrasi sebagai sistem yang tidak ideal karena yang mengambil keputusan penting adalah masyarakat kebanyakan yang tidak memiliki kapasitas, integritas, dan kapabilitas yang mumpuni. 

Karena itu mereka menawarkan aristokrasi sebagai sistem pemerintahan karena yang memimpin adalah para filsuf yang terdidik dan memiliki integritas yang baik.

Namun dalam perjalanan waktu tak terbilang negara yang berpaling pada demokrasi. 

Alasannya sederhana yakni karena sistem pemerintahan seperti aristokrasi, oligarki, monarki, tirani, dan mobokrasi tidak menggaransi nilai-nilai dasar seperti kesejahteraan, keadilan, kesetaraan, kebebasan, penghormatan terhadap hak-hak asasi, dan martabat manusia.

Demokrasi memang bukan sistem yang ideal namun ia menjamin dan melindungi nilai-nilai vital dalam hidup manusia seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan.

Keyakinan inilah yang mendorong sejumlah negara untuk memilih dan menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara mereka. 

Namun sejarah membuktikan bahwa demokrasi dalam suatu negara tidak muncul begitu saja. Demokrasi lahir dari sebuah perjuangan yang panjang. Dan perjuangan itu tidak mudah.

Selalu ada darah yang ditumpahkan. Dan darah yang ditumpahkan itu umumnya adalah darah kaum muda karena mereka adalah pejuang atau pelopor utama demokrasi. 

Merekalah motor penggerak perubahan sosial dan politik suatu bangsa dari yang bersifat otoriter kepada kehidupan yang lebih demokratis.

Di Indonesia, peran kaum muda dapat dirunut sejak peristiwa sumpah pemuda tahun 1928. Kiprah pemuda saat itu adalah menyatukan realitas keberagaman bangsa Indonesia dengan mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. 

Kemudian setelah peristiwa itu, kaum muda kembali mengukir sejarah dengan menunjukkan kegigihan mereka dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan para penjajah pada tahun 1945.

Perjuangan kaum muda tidak pernah surut. Hal itu terbukti ketika kaum muda dari generasi baru berhasil meruntuhkan kekuasaan totalitarian Orde Baru di bawah kendali Soeharto pada Mei 1998. 

Keruntuhan rezim Soeharto kemudian menandai lahirnya demokrasi di Indonesia. Dan pasca-keruntuhan itu kehidupan bangsa Indonesia pun lebih bermartabat dan demokratis.

Namun apesnya demokrasi yang saban hari dibayar dengan darah kini mengalami defisit yang sangat tajam. Defisit itu terlihat dalam riset yang dilakukan Economist Intelligent Units (EIU). 

Pada tahun 2022 misalnya, indeks demokrasi Indonesia meraih skor 6,71. Skor tersebut setali tiga uang dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada tahun 2021.

 Karena itu demokrasi Indonesia tergolong sebagai flawed democrazy atau demokrasi cacat. Realitas ini serentak menggugat kaum muda karena mereka bukan hanya sebagai pelopor melainkan juga sebagai pengawal utama demokrasi.

Pengawal Demokrasi

Ide bahwa kaum muda sebagai pengawal utama demokrasi merupakan qonditio sine qua none karena demokrasi merupakan hasil perjuangan mereka sendiri. 

Adalah ironis jika kaum muda apatis terhadap situasi sosial dan politik bangsa ini. Adalah ironis juga jika mereka turut andil dalam pelbagai macam bentuk penyimpangan sosial dan politik yang merugikan demokrasi dan masa depan bangsa ini.

Namun, mau dibilang apa, itulah realitas yang terjadi akhir-akhir ini. Bukannya menjadi pengawal demokrasi, kaum muda malah apatis dan bahkan turut andil dalam merusak marwah demokrasi melalui pelbagai macam cara, misalnya melalui propaganda dan penyebaran isu-isu SARA dan berita-berita hoax di media sosial. 

Media sosial yang sejatinya menjadi platform yang baik dalam mendukung kemajuan demokrasi melalui percakapan atau deliberasi malah dijadikan sebagai instrumen dalam merusak demokrasi dengan menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta empiris.

Fenomana semacam perlu diperhatikan secara serius karena bagaimanapun kaum mudalah yang menjadi garda terdepan dalam menentukan nasib demokrasi dan masa depan bangsa ini.

Karena itu, hemat saya, sebagai upaya solutif, kaum muda - pada momentum peringatan peristiwa sumpah pemuda - mesti membaharui kembali komitmen mereka terhadap demokrasi.

Komitmen itu setidaknya diejawantahkan dalam dua cara. Pertama, menjadi nabi yang senantiasa berpijak pada kebenaran. Menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia utamanya disebabkan oleh kepincangan atau cacat yang muncul di tubuh pemerintahan. 

Hal tersebut ditambah dengan menjamurnya mentalitas instan dan anti-kebanaran baik dikalangan masyarakat maupun dikalangan para elite penguasa.

Mereka tidak lagi pusing dan peduli dengan hal-hal substantif seperti data, fakta, dan kebenaran karena yang lebih penting adalah tampilan, komentar, dan nilai jual. 

Mereka tidak lagi peduli dengan nilai-nilai persatuan dan kerukunan karena yang lebih penting adalah elektabilitas dan ketenaran. Akibatnya polarisasi dan friksi sosial sering kali muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di tengah kemelut semacam ini kaum muda mesti tampil sebagai nabi yang berpijak pada kebenaran. Artinya kaum muda harus kembali dan berpijak pada nilai-nilai normatif yang menjadi dasar kehidupan bernegara. 

Bahwasannya bukan interese pribadi dan kelompok yang dicari atau yang dipegang, seperti yang umum dilakukan oleh para elite dan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, melainkan kebaikan bersama (bonum commune) sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945. 

Dengan sikap semacam ini, setidaknya kaum muda tetap menjadi lilin yang menerangi perjalanan bangsa ini menuju tahun emas.

Kedua, tetap konsisten menjadi agen perubahan. Kaum muda dalam sejarahnya diakui sebagai agen peruhan sosial dan politik. Pasalnya, kemerdekaan dan kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari perjuangan mereka. 

Hal ini memang dipahami karena karakteristik kaum muda umumnya adalah energetik, full of passion dan anti status quo.

Sikap semacam inilah yang dituntut dewasa ini. Bahwasannya kaum muda tidak boleh pasif, diam, dan apalagi berkompromi dengan masalah pelik yang menggerogoti bangsa ini.

Kaum muda mesti independen dan berani bersuara (menjadi advocatus diaboli) untuk membongkar status quo yang sengaja diciptakan oleh segelintir orang yang hanya memperalat negara untuk mencapai keuntungan politik dan ekonomi pribadi dan kelompok. 

Dengan dua cara ini niscaya bangsa ini akan selamat dari pelbagai kemelut yang muncul dari rahimnya sendiri. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved