Opini
Opini: Urgensi Komunikasi Kebijakan di Era Post-Truth
Adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengutamakan fakta, bukan sekadar persepsi dalam menentukan pilihan politik.
Pilkada NTT tahun 2024 akan menjadi ajang pembuktian, tidak hanya bagi para kandidat, namun juga bagi kematangan demokrasi kita di era digital, mereka akan menghadapi tantangan/lanskap yang sangat berbeda dibandingkan dengan pilkada sebelumnya.
Disrupsi digital telah mengubah cara kandidat berkampanye dan berinteraksi dengan pemilih.
Media sosial kini menjadi arena utama pertarungan naratif dan pertarungan berbagai tagline atau slogan-slogan kekinian untuk memenangkan hati dan pikiran pemilih, di mana emosi sering kali lebih ditonjolkan dibanding fakta.
Namun, media sosial juga menjadi lahan subur atau rentan terhadap penyebaran disinformasi, hoaks, dan fake news, sehingga menciptakan apa yang disebut oleh Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus (2020) sebagai “infodemic”.
Dalam situasi ini, para calon akan dituntut untuk tidak hanya merumuskan program-program yang visioner dan relevan, tetapi juga mengemas dan mengkomunikasikannya secara efektif dan etis di kanal-kanal digital.
Mereka harus mampu menyajikan data dan fakta secara atraktif, tanpa terjebak dalam dramatisasi atau manipulasi emosi.
Konteks NTT
Kita berharap, siapapun yang terpilih nanti, NTT akan mendapatkan pemimpin yang tidak hanya piawai dalam berpolitik, namun juga pemimpin yang jujur, berintegritas dan mengedepankan fakta dalam setiap komunikasi kebijakannya.
Dalam era post-truth seperti sekarang, kejujuran dan fakta adalah modal berharga yang akan membedakan pemimpin sejati dengan oportunis.
Selain itu, kita juga perlu mewaspadai potensi penyalahgunaan data pribadi dalam kampanye digital. Cambridge Analytica scandal beberapa tahun lalu menunjukkan betapa rentannya data kita untuk dieksploitasi demi kepentingan politik.
Para kandidat dan tim suksesnya harus berkomitmen untuk menjalankan kampanye yang etis dan menghormati privasi pemilih.
Pilkada NTT 2024 juga harus menjadi momentum untuk mengedukasi masyarakat tentang literasi digital dan literasi media.
Kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi digital akan menjadi benteng pertahanan utama dalam melawan disinformasi.
Ini harus menjadi gerakan kolektif yang melibatkan sekolah, universitas, organisasi masyarakat, dan tentu saja pemerintah.
Fenomena post-truth dan disrupsi digital memang menghadirkan tantangan baru, namun ia juga membuka peluang untuk inovasi dalam komunikasi politik.
Opini - Sopi, Moke dan Angin Politik: Mabuk dalam Tiga Lapisan Refleksi Amsal 31:1–9 untuk NTT |
![]() |
---|
Opini: Signifikansi Perbaikan Tingkat Keterwakilan Anggota Legislatif Kita |
![]() |
---|
Opini: Janji Manis Sang Pengemis Kekuasaan |
![]() |
---|
Opini: Frustrasi Melahirkan Anarki, Benarkah Demokrasi Kita Telah Gagal? |
![]() |
---|
Opini: Maulid Nabi dan Tantangan Pendidikan Karakter di Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.