Pemberantasan Korupsi

KPK Tahan Dua Tersangka Kasus Dugaan Korupsi APD Kemenkes Saat Covid-19

Salah satu tersangka yang ditahan KPK adalah mantan PPK pada Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes Budi Sylvana.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Mantan Pejabat Pembuat Komitmen pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana (kiri) dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo (kanan) ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri di Kementerian Kesehatan, Kamis (3/10/2024), di Jakarta. Selain Budi dan Satrio, KPK juga menetapkan tersangka terhadap Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua dari tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri atau APD di Kementerian Kehatan saat awal pandemi Covid-19. Dugaan korupsi ini merugikan keuangan negara sebesar Rp 319 miliar.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (3/10/2024), Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengungkapkan, KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik.

KPK baru menahan Budi dan Satrio. Asep mengatakan, Ahmad belum ditahan karena masih ada keperluan.

”Atas pengadaan (APD) tersebut, audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319 miliar,” kata Asep.

Distributor resmi APD

Ia menjelaskan, Direktur Utama PT Yonsin Jaya Shin Dong Keun selaku perusahaan yang mewakili produsen APD menunjuk PT Permana Putra Mandiri sebagai distributor resmi APD selama 2 tahun pada Maret 2020.

Kemenkes melalui Pusat Krisis Kesehatan membeli APD sebanyak 10.000 buah dari PT Permana Putra Mandiri dengan harga Rp 379.500 per set saat awal terjadi pandemi Covid-19, tepatnya 20 Maret 2020.

Pada 21 Maret 2020, TNI atas perintah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengambil APD dari PT Permana Putra Mandiri di kawasan berikat dan langsung mendistribusikan ke 10 provinsi tanpa dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung, dan surat pemesanan.

Shin dan Satrio menandatangani kontrak kesepakatan sebagai penjual resmi APD sebanyak 500.000 set pada 22 Maret 2020 dengan harga tergantung nilai tukar dollar AS saat pemesanan. Pada 23 Maret 2020, PT Permana Putra Mandiri dan PT Energi Kita Indonesia menandatangani kontrak kerja sama distribusi APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PT Permana Putra Mandiri.

Dalam rapat pada 24 Maret 2020, Harmensyah selaku kuasa pengguna anggaran BNPB menegosiasi harga APD dengan Satrio agar diturunkan dari harga 60 dollar AS menjadi 50 dollar AS. Penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD yang dibeli Kemenkes sebelumnya, yaitu sebesar Rp 370.000.

Dalam rapat juga disimpulkan PT Permana Putra Mandiri akan menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga 50 dollar AS per set atau sekitar Rp 700.000.

Pada 25 Maret 2020, PT Energi Kita Indonesia dan PT Yonsin Jaya memesan 500.000 set APD dengan menyerahkan giro Rp 113 miliar bertanggal 30 Maret 2020. Dokumen kepabean dan dokumen lainnya sengaja menggunakan data PT Permana Putra Mandiri karena PT Energi Kita Indonesia tidak mempunyai izin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan bukan pengusaha kena pajak.

Satrio menghubungi Kepala BNPB pada 27 Maret 2020, di antaranya untuk segera membayar 170.000 APD yang diambil TNI. Ia juga meminta diberikan surat perintah kerja (SPK) dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan bahan baku dari Korea Selatan.

Pembayaran kedua sebesar Rp 109 miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes ke rekening PT Permana Putra Mandiri. Di sisi lain, Harmensyah baru menunjuk Budi sebagai PPK untuk pengadaan APD di Kemenkes pada 28 Maret 2020. Surat keputusan penunjukan tersebut dibuat tanggal mundur (backdate) tertanggal 27 Maret 2020.

Dalam rapat itu diterbitkan surat pesanan APD dari Kemenkes ke PT Permana Putra Mandiri sejumlah 5 juta set dengan harga satuan 48,4 dollar AS yang ditandatangani Budi, Ahmad, dan Satrio.

Dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban secara terperinci. Surat pemesanan tersebut dijukan kepada PT Permana Putra Mandiri, tetapi PT Energi Kita Indonesia turut menandatanganinya.

Negosiasi ulang

Pada 15 April 2020, Kemenkes memberikan surat pemberitahuan kepada Direktur PT Permana Putra Mandiri bahwa telah mengirimkan APD sejumlah 790.000 set dari total 5 juta set yang sudah dipesan.

Negosiasi ulang harga dilakukan pada 7 Mei 2020 dan disepakati barang yang dikirim pada 27 April-7 Mei 2020 sejumlah 503.500 set dengan harga Rp 366.850 per set. Barang yang dikirim setelah 7 Mei 2020 dengan harga Rp 294.000 per set.

”Sampai dengan tanggal 18 Mei 2020, Kemenkes telah menerima sebanyak 3.140.200 set APD,” kata Asep.

Baca juga: Alfamart Masih Beroperasi Pasca Disegel KPK, DPRD Ende Bereaksi Desak Pemkab Ambil Tindakan Tegas

Usai konferensi pers, Budi menegaskan, dirinya tidak ada niat jahat dan menerima apa pun dari pengadaan APD. ”Saya tidak menerima apa pun atau meminta apa pun sejenis itu. Saya hanya menjalankan tugas saya di saat krisis itu terjadi, di mana saat itu adalah harga sudah ditetapkan,” kata Budi.

Budi mengaku bahwa ia ditunjuk sebagai PPK pada 28 Maret 2020 pukul 12.00 dan harus membayar ratusan miliar rupiah pada pukul 19.00. Karena proses pengadaan dalam situasi darurat, ia tidak sempat mengkajinya.

Ia terkejut dengan penghitungan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319 miliar. Sebab, BPKP menyampaikan kepada Budi bahwa penyedia APD harus mengembalikan Rp 8 miliar ke negara. Sampai dengan saat ini, pihak penyedia tidak mau mengembalikan uang tersebut sehingga Budi dituntut secara perdata.

Budi juga mengungkapkan, penentuan harga ditetapkan dalam forum rapat yang dihadiri pejabat Kemenkes, KPK, BPKB, serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Menurut Budi, jika saat itu ada kenaikan harga, seharusnya pengadaannya dihentikan. (kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved