Berita Sabu Raiju

Penganut Jingitiu di Sabu Raijua Berhak Hirup Napas yang Sama 

Pemuka agama orang Sabu yang biasa disebut Mone Ama awalnya tidak menyadari arti kata Jingitiu tersebut dari para penginjil

Penulis: Agustina Yulian Tasino Dhema | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/ASTI DHEMA
Perwakilan Mone Ama hadir dalam Peluncuran Karya Dokumentasi dan Website Jingitiu di Kabupaten Sabu Raijua di Aula Kantor Bupati Sabu Raijua pada Sabtu, 28 September 2024. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Asti Dhema

POS-KUPANG.COM, SEBA - Jingi Tiu atau Jingitiu merupakan agama asli dari suku Sabu yang berasal dari Rai Hawu, Pula Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Jingitiu sendiri berasal dari cara pelafalan suku Sabu terhadap kata Gentios tersebut. Jingi berarti menolak, Ti artinya dari, Au atau U artinya Tuhan. Secara etimologis, Jingitiu berarti menolak perintah Tuhan menurut ajaran agama Kristen.

Pada awalnya kepercayaan Jingitiu sama sekali tidak memiliki nama sampai datangnya para penginjil dan pendeta dari Portugis ke kampung suku Sabu pada tahun 1625 menamai kepercayaan tersebut dengan nama Gentios yang artinya kafir atau tidak bertuhan. 

Pemuka agama orang Sabu yang biasa disebut Mone Ama awalnya tidak menyadari arti kata Jingitiu tersebut dari para penginjil dan pendeta Portugis zaman dulu.

Baca juga: Pengabdian Kepada Masyarakat Sukses, UKAW Dapat Apresiasi dari Bupati Sabu Raijua

Setelah menyadari bahwa Jingitiu memiliki konotasi negatif, para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama awalnya ingin mengubah nama tersebut namun sudah terlambat.

 Alasannya karena nama Jingitiu sudah terlanjur melekat sebagai identitas kepercayaan mereka dan orang-orang sudah terbiasa dengan nama Jingitiu sehingga para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama tetap sepakat menyandang Jingitiu sebagai nama ajaran mereka sampai sekarang.

Bagi penganutnya, Jingitiu merupakan penerapan kepercayaan terhadap kehidupan sehari-hari di bawah aturan Uku atau adat agar terjadi keseimbangan antara manusia dan alam. Penyimpangan dari Uku tersebut dapat mengganggu keseimbangan tersebut yang timbul berupa krisis dalam kehidupan mereka seperti terjadi kematian yang tidak wajar ditengah-tengah mereka, kemarau yang berkepanjangan, timbulnya serangan hama yang menyerang hasil pertanian mereka, dan bencana lainnya.

Kepercayaan Jingitiu meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di Rai Wawa atau dunia bawah ini yaitu berupa manusia, langit, tumbuh-tumbuhan, laut, hewan, bumi secara tidak langsung berasal dari tuhan yang mereka sebut sebagai Deo Ama yang berarti Dewata/Elohim/Allah Bapa.

Deo Ama adalah Sang Pencipta yang berada jauh dari kehidupan sehari-hari. 

Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini sebagian besar penduduk di kabupaten ini telah menganut agama Kristen dan Islam. Pada 2016, tercatat sebanyak 89,86 persen penduduk menganut agama Kristen Protestan,1,95 persen penduduk menganut agama Katolik, 0,95 persen penduduk menganut agama Islam, serta 7,24 persen penduduk menganut kepercayaan lainnya. Sementara itu, masih ada penduduk yang masih menganut kepercayaan Jingitiu

Meski sebagian besar penduduk telah menganut agama namun beberapa norma kepercayaan asli masih tetap dipertahankan, diantaranya penggunaan kalender adat saat menentukan waktu bertanam dan waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara. Selain itu, beberapa masyarakat juga masih menerapkan ketentuan hidup adat atau Uku yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka.

Kepercayaan Jingitiu sudah tercatat negara sejak 1982 namun sepanjang tahun 1982 hingga saat ini belum ada aktivitas apa pun terkait progres dari pencatatan ini. Padahal, Jingitiu merupakan salah satu warisan budaya di Sabu Raijua yang patut dilindungi.

Pada tahun ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) bersama Dana Indonesiana, Yayasan Marungga dan Pemerintah Sabu Raijua berkolaborasi untuk melestarikan warisan budaya masyarakat Sabu Raijua ini sebagai bentuk keberpihakan negara bagi penganut Jingitiu yang masih banyak mendapatkan diskriminasi.

Sekda Sabu Raijua sekaligus Plt Kepala Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga (PKKO) Sabu Raijua, Septenius Bule Logo mengungkapkan, jika menengok sejarah, nenek moyang orang Sabu Raijua merupakan penganut Jingitiu namun karena semua warga negara Indonesia harus terpatri pada agama tertentu sehingga banyak penganut kepercayaan Jingitiu memeluk agama Kristen bahkan populasi penganut Jingitiu di Sabu Raijua semakin berkurang saat ini.

Belum terlambat, kehadiran Kemendikbudristek tentu menjadi harapan baru bagi penganut Jingitiu di Sabu Raijua. Bahwasanya, Jingitiu perlu dan harus ditata hingga pada restrukturisasi organisasi, apalagi sejak 2018 sudah ada pengakuan terhadap penganut Jingitiu di Dispenduk

Pengakuan terhadap keberadaan Jingitiu merupakan hak sipil sudah dilakukan dan memberikan pengakuan pada KTP penganut serta instrumen hukum. Seperti yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, sama halnya dengan Jingitiu akan ditetapkan dalam Keputusan Bupati.

Septe mengatakan, Keputusan Bupati bersifat penetapan dan peraturan sebagai pengaturan. Berbicara peraturan banyak hal yang harus diatur. Hal ini membutuhkan kajian dan partisipasi semua pihak yang berkepentingan sehingga semuanya bisa diatur dan dinarasikan dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup).

Tentu dalam prosesnya bisa diadopsi dari daerah lain tetapi kearifan lokal di setiap daerah pasti berbeda. Melihat kapasitas kompetensi penganut Jingitiu tentu mengalami kesulitan dalam hal ini. Oleh karena itu, peran sesama masyarakat Sabu Raijua dibutuhkan untuk membantu mereka.
 
"Tidak ada lagi pembiaran bagi penganut Jingitiu. Keberadaan pemerintah daerah mencari cara dengan peraturan untuk memberi ruang dan memberikan perlindungan penganut Jingitiu," kata Septe saat Peluncuran Karya Dokumentasi dan Website Jingitiu di Kabupaten Sabu Raijua di Aula Kantor Bupati Sabu Raijua pada Sabtu, 28 September 2024.

Septe mengingatkan, agar perlakuan diskriminatif terhadap penganut Jingitiu ditinggalkan dan dihentikan. Penganut Jingitiu harus dituntun supaya berada pada tataran yang sama dalam sistem hukum di daerah khususnya dan di Indonesia umumnya. Peraturan Bupati perlu disusun supaya Jingitiu tetap ada di mata Kemendikbudristek.

"Mari kita urus saudara kita yang Jingitiu itu. Sehingga kita bisa bedakan seperti apa kebudayaan itu karena Belanda datang di Indonesia selain menjajah, dia kabarkan juga Injil dan kita terima dengan senang hati jadilah kita seperti ini. Yang masih bertahan kita lindungi, kita berikan kesempatan kepada mereka juga masih menghirup napas yang diberikan Tuhan juga kepada sama dengan kita yang sudah menerima ajaran agama di Indonesia," ujarnya.

Dalam peluncuran ini hadir secara langsung Sjamsul Hadi, S.H., M.MM selaku Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) di Kemdikbudristek mengatakan, berdasarkan Undang-undang dan Amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 adalah menjamin hak-hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara.

Putusan ini juga memastikan bahwa penghayat kepercayaan mendapatkan pelayanan publik tanpa diskriminatif. 

"Ini berkaitan dengan identitas administrasi kependudukan untuk penghayat Jingitiu dipersilakan bisa menyesuaikan. Saat ini juga ada dua ruang KTP dengan identitas nama agama dan KTP kepercayaan : kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa," ungkap Sjamsul.

Terkait hal ini, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa saat rakoor dengan seluruh Kepala Dukcapil seluruh Indonesia berkaitan dengan peningkatan layanan menyampaikan, agar melayani warga Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa salah satunya di Sabu Raijua

Layanan tersebut berupa layanan pendidikan bagi penganut Jingitiu melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa telah menyiapkan buku teks mata pelajaran Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa yang nantinya bisa dikembangkan lagi melalui buku pendamping untuk Jingitiu sehingga siswa didik penghayatan Jingitiu bisa tetap mendapatkan hak layanan pendidikannya.

Kepada para Kepala Sekolah, ia berpesan agar sari hasil dokumentasi video dan website Jingitiu yang sudah diluncurkan yang berkaitan dengan adat istiadat, ritus yang dimiliki secara turun-temurun dari para orang tua pemangku adat bisa dimanfaatkan untuk mata pelajaran Mulok. (dhe)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS
 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved