Opini
Opini: Festival dan Ekonomi yang Membebaskan
Di tengah gempuran ekonomi pasar bebas, Gereja Keuskupan Ruteng menghadirkan wajah ekonomi yang membebaskan.
Oleh: RD. Milin Kowa
Rohaniwan-Staf Pengajar di Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur
POS-KUPANG.COM - Di tahun 2024, Gereja keuskupan Ruteng kembali mengadakan tiga festival tahunan besar di wilayah Keuskupan Ruteng.
Ketiga festival itu adalah Festival Golo Koe, Festival Lembah Sanpio, dan Festival Golo Curu. Ketiga festival ini masing-masing digelar pada bulan Agustus, September dan Oktober.
Salah satu hal menarik dari ketiga festival ini adalah hadirnya berbagai macam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Diberitakan bahwa total pendapatan UMKM selama Festival Golo Koe mencapai 2,4 M (detik.com/16/08/024).
Sementara selama Festival Lembah Sanpio dilaporkan bahwa UMKM meraup keuntungan yang fantastis selama kurang lebih lima hari pergelaran festival (TribunFlores.com/8/09/024).
Ada begitu banyak UMKM yang terlibat baik dari tingkat lokal maupun nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa festival adalah salah satu kekuatan serta peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan ekonomi rumah tangganya.
Festival dan Gereja yang Terlibat
Hadirnya UMKM adalah bukti bahwa festival mempromosikan sekaligus menghidupi ekonomi akar rumput. Di tengah gempuran ekonomi pasar bebas, Gereja Keuskupan Ruteng menghadirkan wajah ekonomi yang membebaskan.
Paus Fransiskus dalam Evangeli Gaudium mengatakan bahwa klaim ekonomi pasar bebas yang berhasil mewujudkan keadilan dan inklusivitas yang lebih besar di dunia adalah naif.
Hal ini terjadi karena politik ekonomi pasar bebas telah menjadi senjata dan kekuatan bagi para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan semaksimal mungkin sampai mengorbankan masyarakat kecil (Peter Tan: 2020, 54).
Dengan kata lain, sistem ekonomi pasar bebas tidak menjamin kesejahteraan bagi kelompok masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Karena itu, Gereja terpanggil dan mesti hadir untuk memberdayakan masyarakat atau umat untuk menghidupi usaha ataupun ekonominya.
Kehadiran Gereja pertama-tama bukan untuk memberikan sumbangan material, melainkan menawarkan berbagai opsi yang berpihak pada orang-orang kecil.
Di keuskupan Ruteng, Gereja menggagas kegiatan festival. Festival ini tentu dibuat bukan tanpa arti dan makna.
Ketiga festival yang digagas dan dijalankan Gereja Keuskupan Ruteng adalah suatu bentuk antitesis terhadap gempuran ekonomi pasar bebas.
Jika dalam pasar bebas masyarakat akar rumput sulit mendapatkan tempat dan diabaikan, maka dalam kegiatan festival masyarakat akar rumput diberi ruang dan kesempatan untuk mengekspresikan sekaligus mempromosikan produk lokalnya. Gerakan itu diwujudkan melalui UMKM.
Tentu gebrakan ini mempunyai tujuan yakni menghidupi ekonomi umat. UMKM itu sendiri merupakan sistem ekonomi yang berasaskan nilai-nilai luhur Pancasila yakni ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan bukan sekedar ekonomi pro rakyat, melainkan juga berfungsi sebagai gebrakan atau gerakan politik yang bertujuan untuk memerdekakan kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi neoliberal.
Di dalam ekonomi kerakyatan, masyarakat sungguh berdiri sebagai subjek dari pembangunan. Karena itu, partisipasi masyarakat sungguh diperhatikan dan menjadi kekuatan utama.
Festival telah menampakkan wajah partisipatif masyarakat ini. Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan UMKM dalam ketiga kegiatan festival yang diadakan Gereja Keuskupan Ruteng.
Keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng dalam menghidupi ekonomi umat adalah bagian dari karya profetis sekaligus perwujudan iman.
Iman itu sebenarnya tidak dirayakan secara pribadi, melainkan mesti berdimensi politis. Dimensi politis dari iman adalah menghidupi setiap Sabda Bahagia Yesus dalam aksi nyata yang berdaya transformatif.
Ketiga festival yang berlangsung di Gereja Keuskupan Ruteng adalah bukti dari Gereja yang terlibat.
Keterlibatan ini menunjukkan bahwa Gereja tidak hanya berkhotbah dan merayakan iman di atas altar, tapi lebih dari itu merayakannya pada situsi konkret kehidupan umat di pasar.
Festival dan ekonomi kerakyatan adalah wujud dari perayaan iman itu. Keduanya telah menjadi sebuah model pewartaan kontekstual bagi gereja sebab di dalamnya Gereja menghidupi iman dan karya profetisnya melalui pewartaan dan kesaksian tentang ekonomi umat.
Ekonomi yang Membebaskan
Di dalam festival, Gereja telah menempatkan masyarakat sebagai subjek dari pasar dan juga pembangunan. Hal ini ditunjukkan melalui partisipasi umat melalui ruang yang telah diberikan.
Partisipasi ini juga tidak terlepas dari dukungan pemerintah dalam kerja samanya dengan Gereja.
Dengan itu, Gereja dan pemerintah tetap mesti berjalan bersama untuk mendukung partisipasi dan eksistensi umat sebagai subjek.
Karena itu, Gereja di satu sisi sebagai pelaksana juga mesti bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai elemen lainnya.
Kerja sama ini sangat diperlukan agar cita-cita kesejahteraan bersama (bonum communae) terwujud dan menjalar sampai kepada kelompok masyarakat yang tidak diperhatikan.
Festival akan menjadi perayaan bersama dan menampakkan wajah yang membebaskan apabila memperhatikan beberapa hal ini.
Pertama; agendakan strategi pembangunan ekonomi yang pro rakyat. Tugas ini pertama-tama menjadi tanggung jawab utama dari pemerintah.
Masyarakat mesti ditempatkan sebagai subjek dan bukannya objek dalam pasar.
Festival adalah salah satu strategi pembangunan yang pro rakyat sebab wajah partisipatif sungguh dihidupi.
Menjadikan masyarakat sebagai objek dalam pasar hanya akan membawa derita sebab masyarakat senantiasa berdiri sebagai penonton dan bahkan korban.
Di dalamnya tidak ada ruang bagi masyarakat untuk mewujudkan dirinya sebagai pelaku pasar sebab telah dirampas oleh kelompok yang berkuasa (kapitalis).
Karena itu, festival adalah ruang bagi masyarakat untuk menampakkan wajah ekonomi yang membebaskan itu sebab di dalamnya mereka dilibatkan sebagai subjek.
Kedua; festival adalah ruang atau kesempatan untuk menggali berbagai potensi di setiap wilayah atau daerah.
Setiap daerah mempunyai kearifan lokalnya masing-masing. Ini adalah kekayaan yang perlu digali dan dikembangkan agar menjadi kekuatan bagi perekonomian lokal.
Colin Hines dalam bukunya Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Ekonomi mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian lokal adalah dengan melakukan pemetaan potensi dan keterampilan masyarakat (Colin Hines: 2005, 95).
Setiap daerah memiliki potensi dan keterampilannya masing-masing, sehingga hal ini mesti didukung dan dikembang secara baik baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.
Pemetaan ini penting dilakukan agar setiap daerah sunguh mengenal potensi dan keterampilan yang dimilikinya masing-masing.
Dengan itu, setiap daerah berfokus pada pengembangan potensi itu melalui UMKM agar mampu bersaing di arena pasar.
Menjelang festival-festival selanjutnya, masyarakat, Gereja, dan pemerintah bisa bekerja sama untuk mengadakan pemetaan potensi wilayah ini.
Hal ini dibuat agar festival selanjutnya mempunyai kesiapan yang matang dalam mempromosikan UMKM. Apabila pemetaan ini dikembangkan, festival akan menjadi wadah bagi UMKM untuk meraup keuntungan yang fantastis.
Ketiga; festival adalah pesta rakyat, sehingga mesti sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan rakyat. Wajah dari ekonomi yang membebaskan hanya akan terwujud apabila rakyat menjadi pelaku utama dari festival.
Hanya dengan ini, arti kemeriahan dan kebahagiaan festival akan sungguh menjadi milik rakyat. Dengan kata lain, festival itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.