Opini
Opini: Paus Fransiskus, Ketulusan, Kedekatan dan Kesederhanaan
Saya ingin membaca lawatan Paus Fransiskus ini dalam tiga kata kunci yang jadi karakteristik kuat dalam dirinya Ketulusan, Kedekatan dan Kesederhanaan
Oleh Dr. Doddy Sasi, Cmf
Ketua Tribunal Keuskupan Agung Kupang dan Dosen Hukum Gereja STIPAS Kupang
POS-KUPANG.COM - Paus Fransiskus ketika ingin melakukan kunjungan apostoliknya yang pertama, beliau mengenang kata-kata saat kunjungan apostolik pertama dari Paus Paulus VI dengan mengatakan:
"Ia meresmikan perjalanan kepausan di dunia sebagai cara baru untuk melaksanakan pelayanan pastoral seorang Paus, yang mana memungkinkan dirinya sebagai Uskup Roma untuk menjangkau begitu banyak orang yang tidak akan pernah bisa berziarah ke Roma".
Mengenang Paus Yohanes Paulus II, Paus Fransiskus mengutip kata-katanya: “kunjungan apostolik adalah bentuk misi yang menjadi bagian integral dari pelayanan pastoral seorang Paus”.
Dalam konteks kunjungan apostolik ini, yang perlu dicatat bahwa selain sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus juga adalah pemimpin Negara Vatikan sehingga kunjungan apostolik yang dilakukannya adalah juga perjalanan diplomatik dengan sendirinya. Sejauh ini Takhta Suci Vatikan memiliki hubungan diplomatik dengan lebih dari 170 negara.
Lawatan Paus Fransiskus pada 3-6 September nanti merupakan perjalanan apostoliknya yang ke-43 selama masa pontifikalnya. Dan Paus Fransiskus adalah Paus ketiga yang akan mengunjungi Indonesia.
Sebelumnya ada Paus Paulus VI (3 Desember 1970) dan Paus Yohanes Paulus II (8-12 Oktober 1989).

Saya ingin membaca lawatan Paus Fransiskus ini dalam tiga kata kunci yang menjadi karakteristik kuat dalam dirinya: Ketulusan, Kedekatan dan Kesederhanaan.
Sejak terpilih pada 13 Maret 2013, gelombang simpati yang dibangkitkan oleh Paus Fransiskus di dalam Gereja dan di dunia menjadi sangat luar biasa.
Tapi di hari-hari awal keterpilihanya memunculkan “konflik penafsiran” yang berbeda dari antusiasme dan simpatisme dari Paus yang memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio ini.
Ada yang melihat bahwa dalam antusiasme yang sangat luar biasa ini, Paus Fransiskus akan mengobarkan kembali gejala-gejala musim semi iman dalam Gereja; ada yang sempat melontarkan pikiran bahwa Paus Fransiskus akan memanifestasikan muntahan “kasih sayang anti-Romawi” yang tak terpadamkan, sebab ia “datang hampir dari ujung dunia”, lalu ada pula optimisme baru bahwa Paus Fransiskus akan membawa perubahan radikal pada Kuria Roma.
Secara pribadi, saya merasa selaras dan senada dengan dinamika pikiran-pikiran di atas, tapi yang jauh lebih penting adalah bahwa masa kepausan Paus Fransiskus adalah suatu masa yang luar biasa penuh rahmat dan menjadi harapan bagi semua orang, dalam kesinambungan dengan apa yang telah dipersiapkan oleh pembaharuan secara spiritual yang diinginkan oleh Paus Benediktus XVI, meskipun dengan karakteristik yang berbeda.
Bagi saya, ada tiga elemen yang berperan dalam cara hidup dan tindakan Jorge Mario Bergoglio - Paus Fransiskus, yang membuatnya mampu menjangkau secara luas dan mendalam hati setiap orang: Ketulusan, Kedekatan dan Kesederhanaan.
Ketulusan. Sebelum menjadi Paus, Jorge Mario Bergoglio menjadi Uskup Agung di Buenos Aires Argentina (1998-2013). Sejak menjadi Uskup, ia telah memimpin dengan cinta dan ketulusan.
Bahkan di saat-saat ia melontarkan pernyataan- pernyataan yang membingungkan bagi sebagian orang, semua itu lahir dan keluar dari rahim cinta dan ketulusan: sebagai misal pernyataan-pernyataannya yang spontan mengenai isu-isu sensitif mengenai moralitas pribadi dan sosial atau perlunya reformasi dalam Gereja yang tentu saja bukan hasil dari perhitungan yang mementingkan diri sendiri, atau strategi pastoral tapi lahir dari ketulusan dan kecintaan kepada semua orang terkhusus mereka yang kecil, lemah dan terpinggirkanl.
Paus Fransiskus menunjukkan dirinya apa adanya dan dia akan selalu seperti itu. Ia berbicara dan mengatakan sesuatu apa adanya tanpa berpikir untuk menaikan citra dirinya sendiri dan komunitas Katolik saja tapi untuk semua, untuk dunia.
Semua tindakan dan pernyataannya tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang “dangkal dan sembarang”: seseorang seperti dia, yang telah menghabiskan waktu seumur hidup untuk mempraktikkan disiplin spiritual dan merenungkan Firman Allah dan teks-teks penting dari para tokoh besar Gereja Katolik, tidak pernah akan mengatakan hal-hal yang ringan atau yang belum “direnungkan” untuk waktu yang lama, bahkan jika hal-hal itu mungkin tampak sangat baru pada saat itu. Ketulusan Paus Fransiskus seperti puncak “gunung es”, yang muncul dan merujuk pada kedalaman yang harus diselami.
Misalkan saja, desakannya untuk menunjukkan belas kasihan kepada semua orang terutama kepada mereka yang berada dalam situasi bermasalah sehubungan dengan norma-norma kanonik atau hukum moral, tidak lain adalah terjemahan dari keyakinan bahwa pandangan Tuhan tertuju pada orang-orang ini dan Gereja serta para gembalanya tidak dapat dan tidak boleh melakukan sebaliknya.
Kita ingat kata atau kalimat yang selalu ia ucapkan dalam berbagai kesempatan: "siapakah aku untuk menghakimi mereka? Kata-kata ini tentu saja tidak melemahkan hukum moral, tetapi ia mengatakannya dari satu-satunya perspektif yang menurutnya benar, efektif, dan dapat dipercaya dalam terang Injil yakni: cinta, kasih sayang, belas kasihan dan kerendahan hati.
Dengan cara ini, Paus Fransiskus menantang kita semua tentang ketulusan kita, mengundang kita untuk mempercayai janji Yesus, bahwa: "Kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yohanes 8:32). Dan kebutuhan akan kebenaran ini, dilihat dari perhatian yang diberikan oleh paus ini, ternyata jauh lebih besar daripada yang terlihat oleh banyak orang.
Kedekatan. Kedekatan inilah yang membuat Paus Jesuit asal Argentina ini sangat dicintai oleh banyak orang. Caranya berkomunikasi sangat afektif, penuh perasaan dan kedekatan.
Preferensi untuk “berbicara tanpa basa-basi”, yang sering ditunjukkannya merupakan ungkapan keinginan untuk menjangkau orang-orang yang disapanya dengan cara yang langsung, esensial, dan mendalam.
Mengutip pepatah Latin "Cor ad cor loquitur": pepatah yang sangat disukai oleh Kardinal John Henry Newman, mengekspresikan dengan baik busur api yang dapat dibangun oleh Paus Fransiskus antara dirinya dan para pendengarnya, membuat mereka merasakan kedekatan hati dalam menyambut dan mendengarkan satu sama lain.
Kedekatan ini ia padukan pula dengan kedalaman yang juga merupakan kelebihan komunikasi spiritual yang ada dalam dirinya: homili yang disampaikannya mampu menjangkau pikiran dan hati, menyatukan kebenaran dan cinta, kejelasan dan kedalaman isi.
Kedekatan komunikasi dari kata-kata dan tindakan Paus Fransiskus ini tidak akan memiliki kekuatan jika tidak disertai dengan ketulusan dan keterbukaan: hanya mereka yang mencintai kebenaran dan pada saat yang sama mencintai orang- orang yang mereka ajak bicara yang dapat menggabungkan kedua cinta tersebut dalam sebuah komunikasi yang benar, mencerahkan dan membias.
Pernah dalam sebuah kesempatan homilinya, ia katakan: “Kedekatan relasi dengan Umat Allah itu bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu anugerah. “Cinta untuk orang-orang adalah kekuatan spiritual yang mendukung perjumpaan dalam kepenuhan dengan Tuhan” (Evangelii gaudium, 272).
Inilah sebabnya mengapa tempat setiap gembala adalah berada di tengah-tengah umat. Seorang gembala perlu hidup, menangis dan tertawa bersama dengan umat-umatnya.
Tempat tinggal yang paling indah bagi seorang gembala adalah ditengah-tengah umatnya”. Dengan demikian, kedekatan Paus Fransiskus menjadi contoh dan sekolah bagi semua orang, terutama bagi mereka yang terbiasa berbicara “politis”, yang mampu melipatgandakan kata-kata yang berbanding terbalik dengan isi kebenaran yang disampaikan.
Kesederhanaan. Akhirnya, yang paling mengejutkan banyak orang adalah kesederhanaan Paus Fransiskus. Setelah terpilih Paus Fransiskus memilih untuk tinggal di Casa Santa Marta, sebuah tempat tinggal sederhana yang jauh dari kemewahan istana kepausan.
Keputusan untuk tinggal bersama orang lain di Casa Santa Marta mengungkapkan dengan keinginan hatinya untuk hidup dalam kesederhaan dan persaudaraan bersama orang lain.
Ia juga memutuskan menggunakan mobil sederhana, Jam tangan dan sepatu yang sangat sederhana. Ia memilih gaya hidup dan perilaku yang “normal”.
Pesannya bahwa ia ingin merasa sebagai salah satu dari kita, sesama pelancong, peziarah dan saudara dalam kemanusiaan.
Dengan kesederhaan hidup yang dipilihnya ini tidak mengurangi perannya sebagai seorang Bapa Universal Gereja Katolik, tetapi memberikan sentuhan aksesibilitas dan keakraban, yang membuatnya dekat dengan hati banyak orang.
Singkat kata, kesederhaan menjadi sebuah bahasa, sebuah cara untuk dekat dengan semua orang dan untuk meruntuhkan jarak yang dengan mudah diciptakan oleh ketakutan kita terhadap mereka yang memiliki tanggung jawab dan kuasa.
Dan menemukan kembali ketenangan adalah cadangan yang berharga di masa krisis dan kesulitan ekonomi bagi banyak orang.
Dalam sebuah kisahnya Paus Fransiskus mengatakan bahwa ia senang Ketika menjadi seorang pastor paroki, bukan karena keinginan untuk menjadi orisinal, tetapi karena cinta untuk umatnya dan dalam ketaatan pada cara hidup dan tindakan Yesus, Sang Guru.
Kesederhaan hidup dari apa yang ia ajarkan dan katakan memiliki cita rasa Injil, seperti kata Sang Guru: "Berbahagialah kamu, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Lukas 6:20).
Ketiga aspek mandalam kepribadian ini sebenarnya mendukung tujuan utama dari Gereja yakni keselamatan jiwa-jiwa, anima salutis suprema lex. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.