Pilkada 2024
Pakar Hukum Soal Badan Legislatif DPR Melawan Putusan MK: Pembangkangan Konstitusi
Upaya badan legislatif DPR melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai adalah upaya pembangkangan konstitusi.
POS-KUPANG.COM, MALANG - Upaya badan legislatif DPR untuk menegasikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai merupakan upaya pembangkangan konstitusi. Jika pelanggaran dan pembangkangan itu diteruskan, kekuasaan pemerintah akan menjadi tanpa batas.
Demikian dikatakan pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya Malang (UB), Muchamad Ali Safa’at, Rabu (21/08/2024). Menurut Ali, manuver badan legislatif DPR dengan upaya mencoba mengutak-atik hasil keputusan MK menggambarkan adanya skenario kepentingan politik yang sudah dirancang dan diarahkan sejak lama sehingga skenario itu akhirnya terganggu dengan Keputusan MK.
”Tindakan badan legislatif DPR itu saya lihat lebih didorong oleh kepentingan politik yang sudah dirancang dan diarahkan sejak lama sehingga mereka berusaha mengutak-atik keputusan MK, di mana MK adalah penafsir konstitusi tertinggi,” kata Ali.
Menurut Ali, agenda politik dalam sistem pemerintahan memang ada. Namun, jika agenda politik itu menegasikan apa yang sudah dibuat MK, maka akan menjadi pelanggaran sangat serius terhadap kehidupan konstitusional di Indonesia.
”Dan jika itu dilakukan, apa pun kecenderungannya bisa diakukan. Maka kekuasaan akan tanpa batas,” kata Ali.
Menurut Ali, secara hukum, putusan MK sudah jelas, baik terkait putusan batas usia maupun syarat perolehan parpol, untuk bisa mengajukan calon dalam pemilu.
”Dalam putusan itu juga sudah ditegaskan secara bulat bahwa ini menjadi kewajiban penyelenggara pemilu untuk memaknai usia itu sejak penetapan sebagai calon. Karena itu, bagian dari tahapan pencalonan. Bila tidak dilaksanakan, maka jika terjadi proses perselisihan hasil, maka MK bisa membatalkan calon jika tidak sesuai dengan putusan MK,” katanya.
Dan terkait soal persyaratan perolehan suara untuk bisa mengusung calon, hal itu juga sudah sangat jelas.
”Bahwa sebelumnya perolehan syarat 20 persen diganti berdasar perolehan DPT dari 10 persen ke bawah. Itu juga jelas. Kalau itu coba diutak-atik oleh DPR dengan memaknai berbeda, maka yang lebih kentara bahwa yang mendorong adalah kepentingan politik yang sepertinya sudah dirancang dan diarahkan sejak lama. Sehingga setelah ada putusan MK, rencana mereka buyar,” katanya.
Sekali lagi, menurut Ali, keputusan MK sudah final dan harus dilaksanakan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pembangkangan konstitusi.
”Mereka (badan legislatif DPR) secara nekat membentuk UU yang bertentangan dengan konstitusi, tentu masyarakat sipil bisa bertindak. Jika itu disahkan, akan bisa digugat ke MK lagi. Mereka memaksakan kehendak sesuai skenario tanpa tunduk pada aturan hukum yang sesuai konstitusi,” katanya.
Menurut Ali, DPR memang punya kewenangan membuat aturan hukum. Namun, itu harus dijalankan sesuai koridor konstitusi.
”Sebagai penafsir konstitusi tertinggi, pada saat MK sudah membuat penafsiran atas konstitusi, itu harus dipatuhi, termasuk oleh legislatif. Yang dilakukan MK sudah sesuai konstitusi. Itu kehendak konstitusi, kehendak rakyat. Kalau legislasi itu hanya kehendak perwakilan terbanyak,” katanya.
Sekali lagi, menurut Ali, keputusan MK sudah final dan harus dilaksanakan. Jika tidak, maka yang terjadi adalah pembangkangan konstitusi.
”Mereka (badan legislatif DPR) secara nekat membentuk UU yang bertentangan dengan konstitusi, tentu masyarakat sipil bisa bertindak. Jika itu disahkan, akan bisa digugat ke MK lagi. Mereka memaksakan kehendak sesuai skenario tanpa tunduk pada aturan hukum yang sesuai konstitusi,” katanya.
Menurut Ali, DPR memang punya kewenangan membuat aturan hukum. Namun, itu harus dijalankan sesuai koridor konstitusi.
”Sebagai penafsir konstitusi tertinggi, pada saat MK sudah membuat penafsiran atas konstitusi, itu harus dipatuhi, termasuk oleh legislatif. Yang dilakukan MK sudah sesuai konstitusi. Itu kehendak konstitusi, kehendak rakyat. Kalau legislasi itu hanya kehendak perwakilan terbanyak,” katanya.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Buka Jalan Parpol Tanpa Kursi Usung Cakada, Partai Buruh NTT: Angin Segar
Dosen Politik UB, Wawan Sobari, menambahkan, dinamika politik MK dan badan legislatif DPR dalam dua hari ini menunjukkan bahwa MK ternyata masih bisa menjadi salah satu lembaga negara untuk mengembalikan demokrasi pada posisi lebih baik. Namun, hal itu dilawan dengan manuver politik yang mengarah pada sistem politik kartel.
Elite mengarahkan pada sistem politik kartel. ”Kartel itu tidak peduli perbedaan visi misi, tidak peduli identitas partai dan pemilih, yang penting mereka menguasai politik elektoral. Dan akhirnya mereka bisa bagi-bagi kekuasaan,” katanya.
Adapun tentang ”perlawanan” badan legislatif pada putusan MK, menurut Wawan, menunjukkan dengan jelas bahwa mereka cenderung jadi bagian kartel politik.
”Hal dilakukan mereka melawan konstitusi artinya mereka mengkhianati konstitusi dan mandat rakyat. Yang dilakukan Baleg DPR itu langkah politisi, bukan negarawan,” kata Wawan.
Ahli Hukum Ingatkan Potensi Krisis Konstitusional
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah didesak untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah, khususnya terkait dengan ambang batas pencalonan oleh partai politik dan titik penghitungan usia calon kepala daerah.
Pasalnya, UUD 1945 menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Tak hanya mengikat pemohon, tetapi juga pihak lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR dan presiden).
Pembangkangan terhadap putusan MK dapat memicu terjadinya krisis konstitusional, yang pada akhirnya akan berdampak pada legitimasi pilkada itu sendiri.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, saat dihubungi Rabu (21/8/2024) mengatakan, konstitusi mendesain MK sebagai puncak dari penyelesaian sengketa norma.
Dalam konteks pengujian undang-undang, pemohon adalah pihak yang menyengketakan suatu norma yang dianggap merugikan dirinya.
MK kemudian menjatuhkan putusan yang final dan mengikat semua pihak, termasuk pembentuk undang-undang.
”Apa maknanya? MK di dalam putusannya membatalkan norma di dalam undang-undang. Tapi sesungguhnya yang dibatalkan adalah politik hukumnya, kebijakan hukumnya. Bukan soal ini dibatalkan di undang-undang ini nanti bisa dihidupkan di undang-undang yang baru. Enggak begitu konsepnya. Karena yang dibatalkan adalah kebijakan hukum yang bertentangan dengan UUD. Jadi mau diatur di mana pun, undang-undang mana pun, termasuk undang-undang baru, tetap dia bernilai inkonstitusional,” ujar Bayu.
DPR harusnya memahami
DPR, tambahnya, seharusnya memahami hal tersebut mengingat Republik ini memiliki MK sudah 21 tahun. Artinya, sudah dewasa untuk memahami apa yang sudah dibatalkan MK tak dapat dihidupkan kembali mengingatkan hal tersebut tidak diperkenankan dalam konteks sistem ketatanegaraan.
”Karena itu, tindakan semacam itu akan berpotensi menimbulkan krisis konstitusional. Kenapa? Karena tidak ada ujungnya, kan. Tidak ada kepastian hukum dan akan berakibat pada bagaimana legitimasi dari pilkada itu sendiri nantinya. Saya bayangkan ya, dari DPR nanti diundangkan, diuji lagi ke MK, dibatalkan lagi, diatur lagi. Siklusnya tidak berhenti. Ini krisis, kan?” kata Bayu.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua putusan fenomenal terkait syarat pencalonan kepala daerah. Di dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menegaskan pemaknaan terhadap Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU No 10/2016 yang mengatur syarat usia minimal calon kepala daerah 30 tahun untuk gubernur-wakilnya serta 25 tahun untuk bupati-wakilnya dan wali kota-wakilnya.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, titik penghitungan usia minimal dilakukan sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum dan bukan saat pelantikan seperti diputus oleh Mahkamah Agung 29 Mei 2024.
Putusan itu secara otomatis menutup peluang Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon gubernur. Padahal, Partai Nasdem sudah mendeklarasikan dukungannya untuk Kaesang maju pada Pilkada Jawa Tengah.
Putusan kedua, terkait dengan ambang batas partai politik atau gabungan parpol mengajukan calon. MK menyatakan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat jika tidak dimaknai syarat pengajuan calon oleh partai/gabungan partai disamakan dengan syarat calon dari jalur perseorangan. Yaitu, berkisar antara 6,5 persen dan 10 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya yang besarannya tergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Namun, DPR melalui Rapat Panja Revisi UU Pilkada Badan Legislasi melanjutkan pembahasan revisi UU Pilkada secara kilat. Dalam rapat panja Rabu ini, mereka menyepakati untuk menggunakan putusan MA sebagai dasar penghitungan usia calon kepala daerah dan mengubah Pasal 40 Ayat (1) UU pilkada menjadi tak sesuai putusan MK.
(kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.