Pilkada 2024
Ketum Golkar Bahlil Lahadalia Belum Bersikap terhadap Revisi UU Pilkada di DPR
Ketum Golkar Bahlil Lahadalia akan mendalami soal revisi UU Pilkada yang ditolak masyarakat di berbagai daerah.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia belum bersikap terhadap upaya revisi Undang-Undang Pilkada yang sedang dilakukan di DPR RI. Dia masih akan mendalami isi RUU Pilkada.
Sementara itu, demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada di berbagai tempat di Indonesia.
Di sisi lain, Partai Golkar sedang membentuk struktur kepengurusan periode 2024-2029 setelah Bahlil Lahadalia terpilih sebagai ketua umum melalui Musyawarah Nasional XI Partai Golkar pada 20 Agustus 2024.
Selain bergegas meneruskan persiapan untuk mengikuti Pilkada 2024, Golkar berkomitmen untuk menaati peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan pilkada.
Dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, Jakarta, Kamis (22/8/2024), Bahlil Lahadalia mengatakan, belum bisa memberikan penjelasan detail mengenai sikap partainya di tengah dinamika politik terkait revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Meski demikian, ia memastikan bahwa Golkar akan menaati peraturan yang berlaku terkait dengan mekanisme penyelenggaraan pilkada.
”Pada prinsipnya adalah kita mengedepankan aturan main, mekanisme, dan juga berdasarkan undang-undang. Kalau itu baik untuk semuanya, saya yakin dan percaya, semua akan baik,” kata Bahlil.
Baca juga: Megawati Minta KPU Laksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pilkada
Saat Bahlil tengah membentuk sebagian dari struktur kepengurusan Golkar 2024-2029, sebagian anggota DPR dari Fraksi Golkar tidak menghadiri rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis pagi.
Dari total 575 anggota DPR, hanya 86 anggota yang hadir, sebagian di antaranya berasal dari Fraksi Golkar yang saat ini memiliki 85 kursi di DPR.
Minimnya kehadiran anggota DPR itu berakibat pada pembatalan rapat paripurna karena tidak memenuhi kuorum, yakni rapat dihadiri lebih dari separuh total anggota DPR.
Terkait dengan hal itu, Bahlil mengaku belum bisa berkomentar lebih jauh. Ia yang baru ditetapkan sebagai ketua umum pada Musyawarah Nasional (Munas) XI Golkar, Rabu (21/8/2024), mengatakan, belum sempat mengadakan rapat dengan Fraksi Golkar di DPR. ”Hal ini saya akan dalami, setelah ini saya mencoba berkomunikasi dengan fraksi,” ujarnya.
Kendati belum bisa menjelaskan sikap partainya, Bahlil melanjutkan, sebagai politisi yang juga berpengalaman sebagai aktivis, ia menghargai demonstrasi yang dilakukan publik di sejumlah daerah. Dalam negara demokrasi, penyampaian pendapat merupakan hal yang harus dijunjung tinggi dan dijamin oleh undang-undang.
”Jadi, itu bukan sesuatu yang dilarang, boleh-boleh saja. Tetapi, semuanya harus ada aturan yang kita patuhi dan rujukan bersama,” katanya.
Sebelumnya, anggota Fraksi Golkar di DPR yang juga Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia juga enggan menjawab tegas soal sikap Golkar terhadap revisi UU Pilkada.
Menurut dia, pembahasan rancangan undang-undang tersebut dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR sehingga ia tak berwenang untuk menjawab lebih banyak.
Untuk diketahui, Golkar termasuk di antara delapan fraksi di DPR yang menyepakati revisi UU Pilkada dalam rapat persetujuan tingkat pertama antara Badan Legislasi DPR dan pemerintah, kemarin. Hanya Fraksi PDIP yang menyatakan menolak.
Demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah dipicu oleh dinamika terkait UU PIlkada dalam beberapa hari terakhir. Baleg DPR dan pemerintah menyepakati norma baru terkait aturan syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rapat pembahasan revisi UU Pilkada di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Baca juga: KPU Tegaskan Ikut Putusan MK soal UU Pilkada
Norma baru dalam rumusan Pasal 7 Ayat (2) Huruf d RUU Pilkada adalah ”Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih”. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada aturan lama, tidak ada kalimat ”terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih”.
Padahal, pada Selasa (20/8/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan yang menegaskan bahwa penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon, bukan sejak pelantikan calon terpilih.
Putusan itu berbeda dengan putusan Mahkamah Agung pada 29 Mei 2024 yang menyatakan bahwa mekanisme penghitungan syarat usia minimal dihitung sejak pelantikan calon terpilih.
Selain itu, Baleg DPR dan pemerintah juga bersepakat menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam putusannya Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada Selasa lalu.
Peluang bagi parpol
Secara terpisah, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Edbert Gani, mengatakan bahwa putusan MK khususnya yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah merupakan peluang bagi parpol untuk bisa mencalonkan kandidatnya sendiri.
Parpol semestinya bisa memanfaatkannya untuk melepaskan diri dari belenggu tingginya ambang batas yang selama ini membuat parpol kesulitan untuk mengusung calon sendiri. Apalagi, parpol-parpol juga memiliki kader yang berpengalaman bersaing dalam pilkada sehingga seharusnya tidak ada ketakutan dalam bersaing.
“Putusan MK memberikan peluang kepada parpol untuk memperkuat diri, salah satu cara menguatkan basis parpol adalah berani mencalonkan kandidatnya sendiri,” kata Edbert.
Menurut dia, baik masyarakat maupun parpol saat ini juga tengah berkejaran dengan waktu, karena tahap pendaftaran calon kepala daerah akan dimulai pada 27 Agustus mendatang. Dalam konteks itu, semua pihak akan menunggu apa yang akan dilakukan oleh DPR dan pemerintah terhadap aspirasi yang disampaikan publik.
”Ada baiknya elite politik dan parpol menahan diri untuk tidak berkonfrontasi dengan masyarakat sipil, karena ini tidak baik bagi stabilitas politik,” ujar Edbert.
Baca juga: Presiden Jokowi Hormati Kewenangan Lembaga Negara Soal Ambang Batas Usia Pencalonan Kepala Daerah
Ia pun mengingatkan kepada para elite politik dan parpol bahwa sebenarnya konflik ini bisa dihindari. Dalam konteks transisi pemerintahan, semua pihak tentu menginginkan perpindahan kekuasaan tanpa ada dinamika yang mengganggu stabilitas politik. Hal itu pun bisa dicapai jika konflik terkait revisi UU Pilkada bisa dihentikan.
”Ada baiknya parpol bisa melihat gambaran besarnya, kita harus melangkah dengan cara yang lebih bermartabat, dengan cara melihat apa yang sebenarnya diminta oleh masyarakat,” tutur Edbert.
(kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.