Opini
Opini: NTT, Minol dan Miras
Dalam urusan dengan alkohol, meminjam term anak muda kekinian, ‘NTT manyala kaka’. Lantas, apa yang hendak kita katakan dengan hasil riset ini?
Oleh Isidorus Lilijawa
Pegiat Literasi Tinggal di Kota Kupang
POS-KUPANG.COM - Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan hasil riset terkait provinsi dengan peminum alkohol terbanyak tahun 2023.
Riset ini khusus untuk penduduk berusia 10 tahun ke atas. Provinsi Nusa Tenggara Timur menempati posisi pertama dengan prosentase 15,2 persen. Disusul Sulawesi Utara 11,4 persen; Bali 9,3 persen; Maluku 6,8 persen dan Papua 6,1 persen. Saya ambil posisi 5 besar.
Dalam urusan dengan alkohol, meminjam term anak muda kekinian, ‘NTT manyala kaka’. Lantas, apa yang hendak kita katakan dengan hasil riset ini?
Dalam perbincangan di sosial media, cukup banyak warganet mempertanyakan riset ini. Apakah memang benar NTT berada di peringkat pertama konsumsi minol (minuman beralkohol)? Saya tidak tertarik untuk berada di posisi mempertanyakan. Saya cenderung melihat jawabannya.

Pertama, NTT adalah provinsi yang kental dengan nuansa budaya dan adat– istiadat. Dalam acara-acara semacam itu, unsur alkohol dipastikan ada. Ia menjelma dalam bentuk tuak, laru, sopi, moke, arak.
Unsur ini bahkan menjadi bagian dari ritus dan ritual budaya atau adat. Di situ pasti orang minum alkohol. Bersama-sama, beramai-ramai. Bisa dalam durasi yang panjang. Bayangkan terjadi begitu banyak agenda budaya dan adat di NTT, yang tentunya ada alkohol di sana.
Kedua, di NTT alkohol itu sahabat rakyat, teman setia orang kecil. Di mana-mana dalam perjumpaan dan pertemuan kelompok tertentu, pasti saja ada sopi, tuak, moke, arak, laru.
Bahkan banyak orang NTT mempertahankan hidup, menyambung hidup, dan menata hidup dengan berjualan moke, sopi, arak, laru, tuak itu. Dengan sopi, laru, moke, orang bisa menyekolahkan anak-anaknya, bisa membangun rumah yang layak dan bisa hidup dengan lebih layak.
Karena itu, memisahkan alkohol dari hidup orang NTT tentu bukan perkara mudah.
Ketiga, ada fakta menarik di NTT dalam kaitannya dengan alkohol. Karena sudah berteman dengan alkohol, maka pertemanan itu tidak saja selama hidup, tetapi juga turut mengantar hingga ke gerbang kematian.
Data Kepolisian Daerah NTT menjelaskan bahwa selama tahun 2023 terjadi 1.407 kasus kecelakaan lalu lintas, dan penyebab yang dominan itu adalah mabuk minuman keras (miras).
Dalam urusan ini, maka yang menjadi korban bisa saja pelajar, mahasiswa maupun orang dewasa. Dengan demikian, selalu ada ruang bagi anak-anak dan remaja di NTT konsumsi miras.
Di Mana Sopia?
Beberapa tahun silam, lahir tekad dari pemimpin NTT untuk memartabatkan minuman beralkohol khas NTT seperti moke, laru, tuak, sopi, arak, dll itu.
Caranya adalah dengan menghadirkan satu label minuman bermerk khas NTT, sehingga dengan cara itu sopi, laru, arak, tuak bisa lebih berdaya secara sosial pun ekonomi.
Hari Rabu, 19 Juni 2019 menjadi momentum tersendiri bagi minuman tradisional NTT, sopi dan kawan-kawan. Secara resmi Pemerintah Provinsi NTT menyatakan sopi naik kelas menjadi sopia.
Acara ini diseremonikan di UPT Laboratorium Riset Terpadu Biosain, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Minuman sopia yang diluncurkan itu terdiri dari dua jenis, masing-masing di antaranya memiliki kadar alkohol yang berbeda yakni sebesar 35 persen dan 40 persen.
Sopi yang selama ini menjadi minuman rakyat, diproduksi dalam industri rumah tangga rakyat, dipasarkan dengan kemasan merakyat, dengan kadar alkohol yang pas di lidah rakyat, juga harga yang terjangkau isi dompet rakyat, berubah menjadi sopia.
Sopia yang akan masuk ke industri regional dan nasional, dengan kadar alkohol 35 dan 40 persen, dengan kemasan lebih elegan dan menarik, tentu juga dengan harga yang dibandrol Rp 1 juta – Rp 1,5 juta per botol. Sopia dijanjikan menempati etalase-etalase hotel, restauran dan spot-spot wisata.
Apa kabar Sopia hari ini? Rupanya sopia telah sepi. Yah, sepi dari narasi publik, sepi dari pemberitaan, sepi dari ujaran mulut para pejabat.
Sopia hilang kabar dan hilang rasa. Hilang rasa karena memang tak pernah dicicipi sebab sangat elitis. Hilang kabar karena tak ada informasi-informasi baru soal perkembangan sopia, soal tata niaga, soal cashback buat rakyat, dll.
Mungkin saja sopia pergi begitu saja dan sepi, seiring dengan perginya sang penggagas dari tampuk kekuasaan. Sopia benar-benar menjadi gebrakan yang gagah di awal, namun ternyata itu hanya gagah-gagahan. Kini ia hilang kabar dari bumi NTT.
Publik sudah berharap banyak bahwa dengan hadirnya sopia di NTT, tata niaga sopi, tuak, arak, moke, laru milik rakyat bisa diatur lebih baik.
Lalu, rakyat yang memproduksi sopi dan kawan-kawan itu bisa menjadi pemasok bahan baku sopia. Dengan demikian, rakyat sudah punya market sopi yang jelas. Selain itu, ketika tata niaga sudah diatur jelas, maka sopi, tuak, arak itu bisa diantarpulaukan secara lebih nyaman dan aman.
Tidak ada aksi sita-menyita miras di pelabuhan atau menjadi objek buruan aparat. Aspek lain adalah bisa dikontrol pihak-pihak yang boleh mengonsumsi sopia. Anak-anak dan remaja tentu tidak.
Namun, harapan-harapan itu surut dan tak berbekas seperti sopia yang hilang kabar entah bagaimana. Ibarat cerita yang tak ada kelanjutannya, sopia pun demikian. Mulai menulis kisah namun tak tuntas diselesaikan.
Nah, setelah sopia menjadi sepi, sopi dan kawan-kawan harus terus dirawat. Sopi dan berbagai minuman tradisional NTT adalah hasil dari kebijaksanaan yang disebut kearifan lokal (local wisdom).
Banyak rakyat NTT yang hidup dan menghidupkan dari kearifan lokal ini. Jadi urusan sopi bukan hal sepele. Ini menyangkut hayat hidup banyak orang. Karena itu, tata kelola dan tata niaga sopia perlu didesain lagi oleh Pemerintah NTT demi kepentingan dan hayat hidup rakyat.
Merawat Sopi
Sopi dan kawan-kawannya harus terus menggeliatkan kehidupan. Jangan lagi ada aksi-aksi pihak tertentu yang mengancam rakyat yang menghasilkan dan berjualan sopi. Tak boleh ada lagi tumpahan-tumpahan sopi dari jerigen rakyat dengan dalih disita aparat.
Berikan kepastian kepada rakyat agar mereka dapat mengelola usaha sopi dan berjualan dengan aman.
Bahwa ada yang kecelakaan saat berkendara karena mabuk, jangan salahkan sopi. Bahwa ada yang menilai moralitas dari takaran sopi yang diteguk, tak usah dibesar-besarkan. Setiap orang wajib mengukur dan mengatur moralnya.
Bukan sopi. Jadi jangan salahkan sopi. Sopi bukan wasit moral. Sama halnya sopia bukan kebijaksanaan. Orang yang bijak dapat mengelola sopi dan sopia untuk melahirkan kebijaksanaan hidup.
Sopi atau nama lokal lainnya adalah minuman tradisional NTT yang sangat dekat dengan rakyat. Ia hadir dalam suka duka hidup rakyat.
Dalam urusan apapun di bale-bale atau lopo rakyat, tidak lengkap jika tanpa sopi. Bahkan dalam urusan adat-istiadat dan seremoni budaya, nilai kehadiran sopi sangat tinggi. Tidak heran jika rakyat NTT sangat mencintai sopi dan sopi ada di dalam hati rakyat.
Banyak keluarga kecil, kurang mampu yang dapat bertahan hidup hanya dengan berjualan sopi. Ada anak-anak yang kemudian menjadi ‘orang besar’ justru berasal dari orang tua yang berjualan sopi.
Melalui sopi, anak-anak bisa sekolah, kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi. Pada aras ini, sopi mesti dihargai, dijaga dan dilestarikan.
Tidak perlu kita membenci sopi dan kawan-kawan setelah NTT didaulat sebagai provinsi dengan jumlah peminum alkohol terbanyak. Tetaplah minum dalam kesadaran.
Kata orang, oleng tapi sadar. Yang perlu kita jaga adalah anak-anak kita, para remaja kita jangan sampai menjadi generasi sopi. Yang mana mereka sudah mulai menikmati minol dan miras hingga akhirnya melakukan hal-hal negatif lainnya.
Setiap kita adalah tuan atas diri sendiri. Itu berarti, kalau mabuk miras, kontrol diri supaya jangan membawa kendaraan yang bisa mengakibatkan kecelakaan dan dijemput malaikat maut.
NTT, minol dan miras selalu punya kisah. Kita sendirilah yang menuliskan kisah itu. Salve! (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.