Opini

Opini: 63 Peti Mati untuk NTT

Dari total 63 PMI itu, jenazah PMI laki-laki sebanyak 48 orang dan perempuan 15 orang. Sedangkan jenazah PMI non prosedural 62 orang dan prosedural 1.

Editor: Dion DB Putra
ILUSTRASI
Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merilis hingga 16 Juli 2024, sudah ada 63 pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang meninggal dunia. 

Oleh Isidorus Lilijawa
Politisi Gerindra, tinggal di Kota Kupang

POS-KUPANG.COM - Kabar duka datang lagi ke dan dari NTT, Nusa Terindah Toleransi.

Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merilis hingga 16 Juli 2024, sudah ada 63 pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang meninggal dunia dan para jenazah ini telah kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Maksud hati merantau untuk memanen hujan emas. Apa daya ditimpa hujan batu bertubi-tubi. Ke-63 pekerja migran ini, pergi membawa harapan, pulang hanya dalam keranda jenazah. Inilah kisah pilu pekerja migran NTT.

Untuk 63 PMI yang meninggal ini, Kabupaten Malaka menempati urutan teratas, yakni 11 orang. Menyusul Kabupaten Belu, 8 orang; kabupaten Flores Timur, Sikka, Ende masing-masing 6 orang; Kota Kupang dan Sumba Barat Daya masing-masing 4 orang; Kabupaten Kupang, TTS, Nagekeo, Sumba Barat masing-masing 3 orang; Kabupaten TTU dan Manggarai 2 orang; lalu Ngada dan Sumba Timur masing-masing 1 orang.

Dari total 63 PMI itu, jenazah PMI laki-laki sebanyak 48 orang dan perempuan 15 orang. Sedangkan jenazah PMI non prosedural sebanyak 62 orang dan prosedural sebanyak 1 orang.

Modal Nekat

Jika melihat data di atas, dari 63 PMI yang meninggal, sebanyak 62 PMI pergi melalui jalur non prosedural atau ilegal. Ini mengindikasikan bahwa para calo tenaga kerja itu marak berkeliaran di NTT.

Mereka masuk keluar kampung untuk mewartakan mimpi-mimpi indah, janji-janji manis dan meniup angin surga kepada orang-orang di kampung.

Narasi gerombolan calo ini menarik. Daripada hidup susah di kampung, lebih baik kerja di Malaysia dan dapat gaji besar.

Lalu mereka mempermudah proses mendapatkan identitas kependudukan, mungkin juga dengan memanipulasinya, bahkan dengan menitipkan sejumlah duit kepada keluarga di kampung.

Lalu dengan modal nekat, berangkatlah orang-orang muda dan orang-orang tua dari NTT itu, tentu dengan mimpi besar sekalipun melewati jalan tikus dan berbelit.

Mengapa modal nekat? 1) Anak-anak NTT nekat menjadi buruh migran meskipun tidak dilengkapi dokumen resmi (non prosedural) karena itu harus nekad melalui jalan tikus.

2) Anak-anak NTT nekat menjadi buruh migran keluar negeri dan tidak takut sama sekali pada bayang-bayang kematian padahal sudah ada ratusan peti mati yang kembali ke NTT.

3) Anak-anak NTT nekat menjadi buruh migran karena mau mengubah nasib. Lilitan rantai kemiskinan jadi faktor pendorong walau mereka tidak paham seperti apa keadaan di tempat kerja.

Terkait faktor kemiskinan, sepertinya ini jadi ironi bagi NTT. Pemerintah silih berganti. Setiap tahun, anggaran pembangunan untuk NTT triliunan rupiah. Belum lagi bantuan dari lembaga dan negara donor.

Itu berarti, dengan dana yang ada sebenarnya persoalan kemiskinan, pengangguran, ketiadaan lapangan kerja, upah yang rendah, pendidikan rendah bisa diatasi. Namun, mengapa ini masih sulit di NTT?

Malah saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi. Uang banyak mengalir ke NTT, tapi banyak orang NTT lebih suka mencari uang di negeri orang.

Setiap tahun triliunan dana pembangunan dialokasikan ke NTT. Itu yang ada dalam APBD. Uang yang mengalir ke NTT pun datang dari donor agencies atau bantuan luar negeri.

Ada banyak lembaga donor atau NGO internasional yang bekerja di NTT. Musuh bersama hanya satu yakni kemiskinan NTT. Tapi kok, kemiskinannya makin awet?

Moratorium Gagal

Di NTT ini pernah ada narasi moratorium pengiriman pekerja migran ke luar negeri. Namun, itu kurang berefek, malah migrasinya pekerja migran ilegal semakin marak.

Para calo bergentayangan dari kampung ke kampung, para agen terus mendapatkan dana segar. Oknum-oknum penguasa dan penegak hukum malah pasang badan jadi backing para bandar jual beli pekerjas migran itu.

Ketika terjadi kasus, yang diproses itu calo-calo kecil. Sementara bandar kakap malah sibuk mengkalkulasi keuntungan dari bisnis gelap perdagangan orang atau pekerja migran ilegal ini.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan di NTT untuk mengatasi persoalan ini? Ada dua formula plus bonus.

Pertama, NTT harus sungguh-sungguh mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2001, tentang pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melalui peraturan gubernur, peraturan bupati dan peraturan wali kota.

Gugus Tugas ini harus melibatkan semua pihak yang terlibat. Sehingga tidak lagi terjadi peluang bagi mafioso human trafficking untuk menjadikan NTT sebagai daerah operasi mereka. Kelemahannya, ego sektoral itu sangat tinggi di NTT. Sulit bekerja sama lintas sektor.

Gugus tugas terbentuk, tetapi tugas urus masing-masing sektor. Ini repot.

Kedua, rebranding PMI NTT dengan perbaikan kompetensi dan kapasitas, sesuai syarat yang ada dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Upaya ini ditempuh dengan dua langkah, yaitu penyediaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan pembukaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di setiap kabupaten/kota di NTT.

Saat ini, baru ada 4 BLK, di mana 1 milik pemerintah dan 3 milik perusahaan pengerah PMI dan semua berada di Kupang. Sedangkan di pulau Flores, Lembata, Alor, Sabu Raijua, Rote Ndao dan Sumba belum memiliki BLK.

LTSA juga baru ada di Maumere, Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Tambolaka. Fakta ini membuktikan penyediaan layanan dari pemerintah masih sangat minim.

Bonusnya, urusan PMI di NTT harus menjadi fokus dan perhatian pemimpin di NTT. Jangan jadikan ini seperti masalah biasa lalu diperlakukan biasa-biasa saja. NTT saat ini sedang musim Pilkada, rakyat harus selektif memilih pemimpin baik di level privinsi pun kabupaten/kota.

Pilihlah pemimpin yang paham persoalan PMI, yang punya hati, keberanian dan kepedulian untuk mengurus PMI NTT, khususnya berani mengeliminasi pergerakan gerombolan calo PMI di NTT.

Nasib buruh migran NTT memang tak selalu indah kabar dari rupa. Buruh migran kita tetap modalnya nekat. Keranda mati pun tak bakal menjerakan. Karena gambaran awal sudah digariskan.

Mengubah nasib mesti di tanah orang. Walau di kampung sendiri duit berdatangan. Lembayung duka adalah guratan nasib buruh migran NTT. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved