Renungan Harian Kristen

Renungan Harian Kristen, Berpegang Teguh pada Kebenaran 

Setelah membahas sifat-sifat tersebut, Paulus mengingatkan Timotius tentang teladan ajaran, sebab hal itu penting saat menghadapi guru-guru palsu.

Editor: Oby Lewanmeru
zoom-inlihat foto Renungan Harian Kristen, Berpegang Teguh pada Kebenaran 
POS-KUPANG.COM/HO
Pendeta Frans Nahak, S.Th

Oleh: Pdt. Frans Nahak, S.Th

POS-KUPANG.COM - Renungan Harian Kristen, Berpegang Teguh pada Kebenaran, merujuk pada Kitab 2 TIMOTIUS 3:10-12).

"Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.”

Pasti kita semua tahu arti dari peribahasa tersebut. Peribahasa ini memiliki arti bahwa setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.

Pada satu saat ada penggembalaan bagi anak-anak yang hendak dibaptis.

Ada seorang anak yang namanya seperti salah seorang kakek yang sudah lama meninggal. Pendeta bertanya kepada orang tua anak ini, mengapa memberi nama anak ini dari nama kakeknya yang sudah meninggal lama? Dengan nada kelakar si pendeta bertanya lagi: “bukan karena setiap malam si kakek datang mengganggu anak ini?”

“tidak” jawab kedua orang tuannya. Kakek yang telah meninggal semasa hidup menjadi contoh dalam keluarga, gereja dan masyarakat sehingga harapan dari kedua orang tua agar anak ini besar mewarisi sifat kakeknya.

Bacaan ini bercerita tentang contoh kehidupan Paulus kepada Timotius, 3:10-17. Paulus menguatkan Timotius di dalam pergumulannya melawan guru-guru palsu.

Memang, Timotius sudah mengikuti contoh itu (ay 10), tetapi ia harus semakin bertekun di dalamnya (ay 14). Selain harus mengikuti contoh Paulus, namun hidupnya juga dalam pimpinan Firman Allah (ay 16, 17).

Bagi Paulus, cara hidup adalah ajaran yang benar, harus nampak di dalam cara hidup yang baik melalui pelayanan.

Teladan Paulus adalah tidak mencari kepentingannya sendiri, melainkan kepentingan orang lain. Menjadi teladan dalam beriman, kesabaran, kasih terhadap sesama manusia dan ketekunan atau keuletan di dalam penderitaannya.

Setelah membahas sifat-sifat tersebut, Paulus mengingatkan Timotius tentang teladan ajaran, sebab hal itu penting saat menghadapi guru-guru palsu.

Baca juga: Renungan Harian Kristen Jumat 26 Juli 2024, Didikan Mordekhai

Dalam hal keteladanan, Paulus berani memberikan dirinya sebagai contoh untuk orang lain, karena ia sendiri juga mengikuti contoh Kristus (I Kor 11:1).

Bagi Paulus, tidak cukup Timotius hanya mengikuti contoh Paulus (ay 10, 11), tetapi, kata Paulus, hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan yakini. Masih ada alasan lain, mengapa ia selayaknya setia kepada ajaran itu, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu.

Orang-orang yang telah mengajarkan ajaran itu kepada Timotius bukan sembarang orang, melainkan orang-orang yang dapat ia percayai sepenuhnya, yaitu neneknya Lois, ibunya Eunike, bapak rohaninya Paulus, mereka semuanya orang-orang yang ia amat cintai dan junjung tinggi.

Dengan selalu ingat bahwa ajaran itu ia terima dari orang-orang yang ia cintai dan percayai. Selain teladan hidup dan teladan ajaran, Paulus berbicara tentang teladan penderitaan.

Paulus menyebut di sini penganiayaan dan sengsara seperti yang telah ia derita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Di mana Paulus dirajam sampai hampir mati, kejadian ini mengesankan Timotius. Timotius setia sampai ia ikut menderita.

Paulus menghibur Timotius dengan mengatakan semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya. 

Sama seperti Tuhan telah melepaskan Paulus, Ia juga akan melakukannya terhadap Timotius.
Ayat 12, ia mengatakan tentang resiko bagi setiap pengikut Kristus, bahwa orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.

Tuhan Yesus sudah berkata, bahwa orang yang mau mengikut Yesus akan mengalami penderitaan (Mat 10:22; 16:24), ini juga dikatakan Paulus (bdk Kis Ras 14:22; I Tes 3:4, 5).

Orang yang berada dalam persekutuan dan hidup beribadah pasti akan menderita aniaya, ia akan mengalami serangan dan gangguan-gangguan dari Iblis.

Ini adalah suatu hal yang tidak dapat dielakkan dan oleh sebab itu patut ditanggung oleh Timotius.

Dalam ayat 13, orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan. Menjalarnya kejahatan dari ajaran sesat bagaikan penyakit kanker, tidak hanya terasa di sekitar guru-guru sesat, melainkan juga di dalam diri guru-guru itu, mereka bertambah jahat.

Batin mereka makin lama makin dirasuk oleh dosa. Hal ini nyata dari kata-kata berikut: “mereka menyesatkan dan disesatkan”.

Hal ini suatu kenyataan bahwa orang yang terus menerus menipu dan menyesatkan orang lain, akhirnya percaya juga akan kebohongannya sendiri. Ia tidak dapat lagi membedakan antara kebohongan dan kebenaran. Dalam keadaan yang demikian, ayat 14, Paulus mengingatkan Timotius agar tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu.

Kemudian Paulus mengingatkan Timotius tentang Kitab Suci yang menjadi pedoman baginya. Ayat 15, Pualus mengatakan, ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.

Menurut kebiasaan Yahudi anak-anak kecil sudah sejak umur 5 tahun diajar di sinagoge dalam pengetahuan Alkitab, yaitu kitab Perjanjian Lama.

Apa yang telah dipelajari begitu lama di bawah bimbingan orang-orang saleh, pasti berakar dalam dan tidak mudah digoyahkan oleh angin ajaran sesat.

Apalagi Kitab Suci itu, kata Paulus, dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan. Di tengah-tengah liku-liku ajaran sesat Alkitab merupakan pelita dan penunjuk jalan kepada keselamatan (bdk ay 16, 17).

Ini tidak berarti, bahwa tiap orang yang membaca kitab P.L. akan memperoleh keselamatan. Jalan dalam P.L. yang menuju ke keselamatan hanya terbuka oleh iman kepada Kristus Yesus. Artinya: hanya bila orang menerima Yesus di dalam iman, maka ajaran-ajaran di dalam P.L. yang menuju kepada  Yesus akan menjadi jelas (bdk Yoh 5:39, 40).

Kitab Suci adalah tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (ay. 16).

Tulisan Alkitab bukan semata-mata tulisan manusia saja. Kata Yunani yang diterjemahkan dengan diilhamkan secara harfiah berarti dihembus.

Allah menghembuskan Roh-Nya ke dalam penulis pada saat penulisannya. Maksudnya, Roh Allah menguasai dan memakai penulis dengan Segala pembawaan dan bakatnya untuk menyampaikan Firman Tuhan.

Ini menerangkan mengapa penulis-penulis di dalam Kitab Suci berbeda satu sama lain dalam gaya bahasanya, namun semua tulisan itu bernafaskan Firman Allah.

 Allah mengilhamkan firman-Nya supaya firman itu bermanfaat untuk manusia. Manfaat itu diterangkan di sini dalam dua segi, yaitu segi ajaran dan segi kelakuan. Segi ajaran itu nampak dalam kata-kata: untuk mengajar (hal-hal tentang keselamatan) dan untuk menyatakan kesalahan (menolak ajaran sesat dan kesalahan-kesalahan lain). Segi kelakuan nampak dalam kata-kata: untuk memperbaiki kelakuan (apa yang salah pada kelakuan manusia diperbaiki) dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (supaya ia berjalan di atas jalan yang benar sesuai dengan kehendak Allah).
Ayat 17, dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.
Yang dimaksudkan dengan ”manusia Allah” (ini terjemahan yang lebih baik dari pada manusia kepunyaan Allah) tidak hanya Timotius sebagai hamba Tuhan, melainkan juga tiap orang percaya (lihat tafsiran I Tim 6:11). Memang secara khusus Timotius membutuhkan uraian ini, tetapi uraian ini juga ditujukan kepada semua orang percaya. ”Manusia Allah” secara umum adalah manusia milik Allah yang diciptakan menurut peta/gambar dan dimaksudkan untuk hidup bagi kemuliaan Allah. Maka untuk dapat berbuat demikian, manusia itu perlu diperlengkapi dengan petunjuk-petunjuk dalam Firman Allah, supaya ia dapat berbuat setiap perbuatan baik. Ini berlaku untuk semua orang percaya.

- POKOK-POKOK RENUNGAN

Pertama, kebenaran lahir dari teladan hidup seseorang. Keteladanan dalam bahasa metafora merupakan bentuk dampak pribadi, diibaratkan sebagai “cahaya”.

Keteladanan seperti yang telah disebutkan dalam ayat 10, yaitu hidup yang baik, tidak mencari kepentingannya sendiri, teladan dalam beriman, kesabaran, kasih, ketekunan.

Selain itu, teladan penderitaan yaitu menanggung sesuatu yang menyakitkan karena pelayanan. Hal itu tidak menyenangkan secara jasmani ataupun rohani.

Dalam Bahasa Yunani menggunakan istilah paskho berarti menanggung beban. 

Kebenaranan ditemukan dalam teladan kehidupan baik dari orang tua, pemimpin dalam organisasi, pemimpin dalam gereja dan pemerintah.

Selain keteladanan hidup, tetapi keteladanan ajaran. Keduanya tidak bisa dilepaskan supaya orang jangan mengatakan, “omong lain na, buat lain”. Keteladanan itu menjadi orang tua yang baik dalam mengajar anak-anak, menjadi guru yang baik mengajar murid. Pendeta senior menjadi teladan untuk pendeta junior, dosen menjadi teladan bagi mahasiswa, dst. Kebenaran yang hakiki lahir dalam keteladanan.

Kedua, Firman Allah yang tertulis dalam Alkitab menjadi landasan kebenaran. Dalam Alkitab kita tidak hanya menemukan kebenaran namun memberi kita hikmat dan menuntun kepada keselamatan oleh iman.

Oleh karena itu, rajinlah berdoa dan membaca Alkitab. Semangat membaca Alkitab adalah roh keberagamaan kita sebagai orang Kristen.

Kita berada dalam dunia modern, segala sesuatu kita bisa mengakses untuk menemukan kebenaran dari berbagai sudut pandang, namun sebagai orang Kristen Alkitab adalah dasar kebenaran kita.

Baca juga: Renungan Harian Kristen Kamis 25 Juli 2024, Pendidikan dalam Keluarga Abraham

Ketiga, siapa yang menjadi guru teladan baik dalam sifat, ajaran dan penderitaan? Paulus mengingatkan Timotius tentang warisan iman yang dia peroleh dari nenek moyangnya dan Paulus sendiri menjadi teladan.

Paulus mengajarkan untuk kita tidak tercabut dari akar kita untuk dalam menemukan kebenaran. Boleh meneladani orang lain, para filsuf, teolog, aktivis, namun ada keteladanan yang harus kita dapat dari keluarga. Hal ini menjadi penting supaya kita terus bertanya: apakah saya sudah menjadi teladan dalam keluarga?

Keempat, sebagai orang tua harus berani katakan kepada anak-anak, ikutilah teladan bapak dan mama dalam rumah, sebab guru yang dekat adalah orang tua yang setiap hari bersama anak-anak.

Dari pada mengikuti teladan tetangga, sebab dia bukan anak tetangga. Sebagai seorang pendeta senior harus mengatakan kepada juniornya, ikutilah teladan saya. Mengapa? Karena mereka telah mengikuti teladan Kristus dalam pelayanan. Amin. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved