Renungan Harian Kristen

Renungan Harian Kristen Kamis 13 Juni 2024, Perayaan 143 Tahun Injil Masuk di Tanah Sumba

pengampunan serta keselamatan kepada setiap orang yang menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi dalam hidupnya.

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/HO-DOK
Pdt.Andreas Ndapatamu,S.Si-Teol 

Oleh: Pdt. Andreas Ndapatamu, S.Si-Teol

POS-KUPANG - Renungan Harian Kristen Kamis 13 Juni 2024, Perayaan 143 Tahun Injil Masuk di Tanah Sumba

Injil: Markus 16:14-20

Gereja Kristen Sumba (GKS) baru saja merayakan 143 tahun injil masuk di tanah Sumba pada tanggal 11 Juni 2024 di Tanganang, Tana Mbanas, Kabupaten Sumba Tengah, dengan tema utama “Kabar Baik untuk seluruh ciptaan”.

Berikut ini adalah khotbah lengkap dari Pdt, Andreas Ndapatamu, S.Si-Teol, pendeta Jemaat GKS Baingu-Klasis Baingu.

Saudara-saudara yang kekasih dalam Tuhan kita Yesus Kristus. Kepada setiap orang keristen diberikan mandat budaya dan mandat penginjilan. Kedua mandat ini meliputi aspek lingkungan (alam) dan aspek manusia. Injil Markus merangkumnya dengan ungkapan “ beritakanlah injil kepada segala makluk”.

Baca juga: Renungan Harian Kristen Selasa 11 Juni 2024, Menjadi Murid Kristus yang Saling Menghargai 

Di dalam kitab Injil, disebutkan 3 dimensi pekabaran injil, yaitu;

Dimensi teritorial (dari Yerusalem, Yudea, Samaria sampai ke ujung bumi)

Dimensi etnik (segala bangsa)

Dimensi kosmik (segala makluk/alam).

Tugas pekabaran injil kepada segala makluk, adalah salah satu pilar identifikasi gereja yang hidup. Apabila gereja tidak melakukan pekabaran injil, maka gereja hanya sebagai perkumpulan social (komunitas institusional) belaka, yang tidak berdasarkan injil Kristus.

Sejak gereja perdana, kerygma/pewartaan mereka adalah tentang Injil yaitu Mesias Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang telah mengorbankan diri melalui kematian-Nya disalib, bangkit dan menang atas maut dan memberi pengampunan serta keselamatan kepada setiap orang yang menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi dalam hidupnya.

Tanggungjawab pekabaran Injil oleh orang percaya, sejarah mencatat bahwa orang yang mendedikasikan hidupnya untuk injil, keluar dari zona nyaman, pergi memberitakan injil. Alhasil, benih injil terus ditaburkan diseluruh dunia, termasuk di tanah sumba ketika sekelompok orang-sabu yang bermigrasi ke sumba, serta tibanya  misionaris pertama J.J Van Alphen (9 juni 1881).

Beberapa dekade kemudian, lahirlah para penginjil pribumi, yang terus menabur injil ke berbagai penjuru daratan sumba, mereka menantang onak dan duri, kesulitan, aniaya, penderitaan dan kematian. Sebutlah nama mendiang GI. Katonga Retang dan Pdt. Hapu Mbay.

Mereka adalah bunga-bunga injil pertama dan menjadi martir demi injil di tanahnya sendiri. Benarlah ungkapan pepatah latin yang berbunyi “SANGUIS MARTYRUM, SEMEN CHRISTIANORUM (darah para martir adalah bibit umat kristen.

Darah para martir tidak tertumpah sia-sia, Tuhan turut bekerja, Ia menyertai dan meneguhkan pekabaran injil di tanah sumba dengan berbagai tanda-tanda ajaib, bukan karena para misionaris bisa menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, atau luput dari racun ular dan kalajingking, celaka, dan kematian, tetapi para penginjil pribumi diperlengkapi dengan bahasa baru untuk berbicara kepada orang sumba tentang Injil keselamatan; I Yehu Karitu jeaya na kameti marak ma padening-ma pamanang, na kadu ndaka mbu’ku-u’li ndaka tandu, na pingi luri-na pingi malundung (Yesus Kristus adalah korban yang benar sempurna, tanduk dan pokok keselamatan, sumber kehidupan dan keselamatan).

Dengan pengakuan dan pewrtaan ini, sedikit demi sedikit,  Injil terus disemaikan di seluruh daratan sumba seperti yang kita saksikan sekarang ini.

Kalau bahasa lama, yang berdasar keyakinan marapu bahwa; keselamatan manusia diperoleh melalui upacara ritus dengan, dengan ungkapan “karai ngggunya na tumbu kadu-na bara kaka, na pangga nyuku-na laku bei, na rara pa’pa-na mobu amu, kana lundung la kapuka au panongu-la ngaru uma dita, la hindi mara-la liangu ma’du, la pinu tana rara-la ta’da ai mayela, la ngia pa nggu’ku nggela-la ngia payuru yela, la kotaku pauli-paraingu ma patara (saya memohon kehidupan sampai tumbuh tanduk-putih rambut, berjalan bungkuk-melangkah sambil merayap, bagaikan pelapah/ranting jatuh karena matang dan tua-pohon tumbang karena lapuk akarnya, supaya menggapai ujung tangga bambu yang tinggi-di pintu rumah paling atas, di loteng aman-di goa yang kering, di atas tanah merah-diatas kayu mayela, dihadirat tempat bahagia-dihadirat tempat sukcita, di kampung persekutuan-di negeri terang yang baka)”.

Maksudnya, kehidupan di bumi dengan usia suntuk/tua renta dan di Surga.

Untuk mencapai keselamatan ini, maka harus dilaksanakan ritus sacral (mangejing) dengan persembahan korban yang paling sempurna yaitu; ayam putih polos-peramal roh kehidupan, babi hitam polos-taring tidak kerdil, kerbau merah polos-tanduk tidak terkulai (manu bara kaka-pa kaka wang ndewa, wei miti kumbuh-u’li nda katandu, karambua kahawa-kadu ndaka mbu’ku).

Melalui binatang korban inilah menjadi sarana atau jalan keselamatan  dan pendamaian, yang dipercaya/berperan sebagai kurban penebus dosa (na tolu mata ndolak-na wai maringu ndingir=danging mentah yang mati tegak-air dingin berdiri/berkat), serta menjadi perantara/jembatan penghubung antara manusia dengan para marapu, dimana para marapu sebagai juru syafaat manusia kepada Tuhan dan sebaliknya menjadi perantara Tuhan kepada manusia (ba jeaha da ketu papajolangu-lindi papakalangu, da mapatrukungu liida-parapang pekada)”.

Konsep keselamatan marapu ini, oleh para misionaris dari luar maupun pribumi, dengan  hikmat Allah, mereka diperlengkapi dalam bahasa dan makna baru “semua korban ritus apapun adalah gambaran atau bayangan dari pengorbanan Tuhan Yesus Kristus sebagi korban yang benar, suci dan sempurna. Kristus telah berperan sebagai ayam yang dikorbankan-babi yang dibunuh (kameti maraku-mapadeningu, manu teangu heada-wei teangu meti).

Kristus telah menjadi korban penebus dosa, pendamaian dan keselamatan, yang matinya bediri tergantung di kayu salib, tubuh-Nya hancur dan darah-Nya tercurah (na tolu mata ndolaku-na wai maringu ndingiru), ialah jalan keselamatan yang menjadi pokok kehidupan dan keselamatan (na anda lii-luku pala, na pingi luri manangu-na pingi luri manjaku, na kadu ndakabu’ku-u’li ndakatandu).

Sebagai orang percaya, harus disadari bahwa injil keselamatan tidak hanya untuk manusia, sebab manusia bukanlah makluk tunggal di bumi. Allah menciptakan alam semesta (buana agung) dan segala isinya (buana alit) dan manusia adalah bagian di dalamnya. Karena itu, Injil keselamatan itu adalah untuk segala makluk.

Mengapa demikian? Sebagaimana hakikat mandate budaya ditegaskan, bahwa oleh dosa manusia menjadi serakah dan tamak, manusia memandang alam dalam relasi bukan lagi comunnio (persekutuan dan keutuhan), saling menghargai dan melengkapi, melainkan memandangnya secara dominio (kekuasaan).

Alam di eksploitasi sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem, lingkungan menjadi rusak atau berperan sebagai ayam yang dikorbankan-babi yang dibunuh (kameti maraku-mapadeningu, manu teangu heada-wei teangu meti).

Kristus telah menjadi korban penebus dosa, pendamaian dan keselamatan, yang matinya bediri tergantung di kayu salib, tubuh-Nya hancur dan darah-Nya tercurah (na tolu mata ndolaku-na wai maringu ndingiru), ialah jalan keselamatan yang menjadi pokok kehidupan dan keselamatan (na anda lii-luku pala, na pingi luri manangu-na pingi luri manjaku, na kadu ndakabu’ku-u’li ndakatandu).

Sebagai orang percaya, harus disadari bahwa injil keselamatan tidak hanya untuk manusia, sebab manusia bukanlah makluk tunggal di bumi. Allah menciptakan alam semesta (buana agung) dan segala isinya (buana alit) dan manusia adalah bagian di dalamnya. Karena itu, Injil keselamatan itu adalah untuk segala makluk.

Mengapa demikian? Sebagaimana hakikat mandate budaya ditegaskan, bahwa oleh dosa manusia menjadi serakah dan tamak, manusia memandang alam dalam relasi bukan lagi comunnio (persekutuan dan keutuhan), saling menghargai dan melengkapi, melainkan memandangnya secara dominio (kekuasaan).

Alam di eksploitasi sehingga menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem, lingkungan menjadi rusak atau hancur, terjadinya ketimpangan rantai makanan dan  jaring-jaring kehidupan. Pembakaran padang pembabatan hutan, pencemaran lingkungan. Akibatnya, tanah tidak subur, lingkungan tercemar, hilangnya burung/binatang endemic seperti kaka tua, ranggong (nggoagali), muncul hama belalang, sungai menjadi kering, perubahan iklim menimbulkan bencana alam seperti kemarau Panjang, pemanasan global, berbagai penyakit pandemi.

Akhirnya, alam yang sesungguhnya menjadi sahabat bagi manusia, berubah menjadi musuh yang mengancam. Nampaklah, ulah kejahatan manusia, bukan saja alam lingkungan binasa, tetapi sesungguhnya manusialah yang bunuh diri.

Disinilah, kehadiran injil sangat penting dan relevan, bukan saja untuk manusia, tetapi juga untuk alam semesta.

Sekarang pertanyaannya, kalau injil dapat diberitakan secara verbal kepada sesama manusia melaui credo dan kerygma (pengakuan dan pewartaan) “Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat, barangsiapa percaya ia dibaptis dan diselamatkan (Markus 16:16)”, bagaimana injil disampaikan kepada segala makluk diluar manusia?

Sebagaimana dikatakan oleh Ibelala Gea[1] “sebagaimana injil disampaikan kepada manusia tidak hanya diberitakan sebatas ungkapan kata-kata/verbal, tetapi dengan sikap hidup yang benar berdasarkan terang injil. Demikian jugalah, injil disampaikan kepada segala makluk/alam dengan sikap perilaku hidup yang benar, adil dan bertnggungjawab, yang mengedepankan pemeliharaan, pengelolaan sehingga terwujud keutuhan ciptaan.

Dengan cara ini, injil dapat diberitakan menjadi kabar baik bagi semua makluk. Disinilah, visi GKS akan terealisasi, yaitu: sumba yang damai sejahtera, adil, bermartabat dan terwujudnya keutuhan ciptaan.

Akhirnya, kita harus sepakat dan berkata, “injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan bukan hanya manusia, tetapi juga semua makluk”. Orang Kristen sebagai buah pekabaran injil dari para misionaris dan para martir, dituntut memperbaharui komitmennya untuk mengabarkan injil.

Gereja yang tidak mengkabarkan injil, bukan saja telah membelokkan hakikat gereja menjadi persekutuan institusi social belaka tanpa injil, bukan saja melecehkan tetesan darah para misionaris dan martir, tetapi gereja yang tidak memberitakan injil adalah pembangkangan nyata pada mandat Allah dan sesungguhnya gereja demikian sedang bunuh diri        .

Injil adalah kabar baik tentang anaugerah keselamatan dari Allah, yang dikerjakan Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya, untuk mendamaikan manusia dengan Allah dan alam serta menyelamatkan manusia dari maut upah dosa. Itulah sebabnya, injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan semua manusia dan makluk.

Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut dimanakah sengatmu? Sengat maut adalah dosa…tetapi syukur bagi Allah, yang telah memberi kemenangan oleh Yesus Kristus Tuhan kita (1 Korintus 15: 54-57).

Sebagai warga GKS, apakah api pekabaran Injil tetap menyala? Karena itu, mari kita harus beriktiar kepada Allah yang memberi mandat pekabaran injil, sebagai wujud pengabdian kita kepada seluruh makluk dan hormat serta kasih kita kepada darah para martir, kita berkata seperti Rasul Paulus “ ….celakalah aku, jika aku tidak memberitakan injil (I Korintus 9: 16)”. Amin…..!!!. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved