Renungan Harian Katolik
Renungan Harian Katolik Minggu 9 Juni 2024, Berhentilah Mencari Kambing Hitam
Itu juga yang terjadi di Taman Eden, ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Adam yang telah melanggar perintah Tuhan dengan memakan buah
Oleh: Pastor John Lewar, SVD
POS-KUPANG.COM - Renungan Harian Katolik Minggu 9 Juni 2024, Berhentilah Mencari Kambing Hitam
Biara Soverdi St. Yosef Freinademetz STM Nenuk Atambua Timor
Minggu, 09 Juni 2024, Hari Minggu Biasa X
Lectio:
Kejadian 3:9-15
Mazmur 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8
2 Korintus 4:13 – 5:1
Injil: Markus 3:20-35
Meditatio:
Kita semua sering mendengar ungkapan “kambing hitam Ren’e Girard, seorang ahli sastra dari Prancis, dengan teori kambing hitamnya, mengatakan bahwa dalam sebuah masyarakat tradisional, manusia cenderung melemparkan kesalahan kepada orang lain atas segala peristiwa jelek yang terjadi dan untuk mengatakannya, orang harus mengorbankan sesuatu.
Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 9 Juni 2024, “Sebab Kata Mereka”
Kesalahan harus dilemparkan kepada seseorang atau kepada sesuatu, yang kemudian dijadikan korban penebusan kesalahan. Ketika ada persoalan orang berusaha “mencuci tangan”, melepaskan tanggung jawab dan mempersalahkan orang lain.
Sikap tidak mau bertanggung jawab merupakan virus dalam kebersamaan. Virus yang merusak hubungan seseorang atau kelompok orang.
Begitulah kecenderungan manusia; lari dari tanggung jawab, senang mencari kambing hitam, melemparkan kesalahan kepada pihak lain. Itu juga yang terjadi di Taman Eden, ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Adam yang telah melanggar perintah Tuhan dengan memakan buah "terlarang" itu, melemparkan kesalahan kepada Hawa (Kejadian 3: 12). Hawa pun tidak terima, sehingga ia juga melemparkan kesalahannya kepada ular (Kejadian 3: 13).
Manusia pertama, manusia primodrial, Adam dan Hawa, mempraktekkan teori kambing hitam ini ketika Allah meminta pertangungjawaban mereka. Adam dan Hawa lari dari tanggung jawab atas perbuatan mereka yang memakan buah terlarang di taman Eden.
Mereka ingin menjadi sama dengan Allah, menentukan segalanya untuk diri sendiri, tidak mau tergantung, ingin memiliki otonomi total dan tidak mau menerima jati diri mereka sebagai makluk ciptaan, namun kesombongan
inilah yang menjadi batu sandungan bagi mereka.
Beda dengan apa yang dilakukan oleh Rasul Paulus. Dia mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya dan siap menerima resiko yakni penderitaan. Paulus sendiri merasa sangat bergembira bisa menderita seperti Kristus, sering dimasukkan dalam penjara, kerapkali berada dalam bahaya maut.
Lima kali disiksa dengan pukulan cambuk, satu kali dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karang kapal. Kerap tidak bisa tidur, mengalami lapar dan dahaga, kedinginan dan tanpa pakaian. Paulus selalu mengarahkan perhatiannya kepada kebahagiaan kekal; dia percaya Allah akan menerima dia dalam kebahagiaan abadi.
Dengan penyembuhan dan pengusiran setan-setan, di satu pihak Yesus menarik perhatian banyak orang kepadaNya, tetapi di lain pihak Dia mengundang reaksi tidak bersahabat, baik dari kalangan pemimpin-pemimpin agama Yahudi maupun keluarga Yesus sendiri. Orang-orang Yahudi berpikir negatif terhadap diriNya dan ajaran serta pekerjaan yang dilakukanNya.
Para ahli Taurat yang datang dari Yerusalem menganggap-Nya kerasukan Beelzebul dan dengan bantuan penghulu setan itu Yesus dapat mengusir setan-setan. Ini adalah pikiran-pikiran negatif dari orang-orang yang sedang melihat Yesus dan karyaNya di atas dunia saat itu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.