Opini
Opini: Menanggapi Tulisan Robert Bala: Siapa itu Penulis?
Siapa itu penulis? Penulis adalah orang yang menulis dan menerbitkan tulisannya. Lokasinya, sejatinya, tidak jadi soal, apalagi pada zaman Internet.
Oleh Felix Tans
(Dosen Program Pascasarjana/FKIP Undana)
POS-KUPANG.COM - Sesuai dengan judulnya, tulisan ini menanggapi tulisan Robert Bala (RB), dosen “Critical and Creative Teaching,” Universitas Multi Media (2010-2012), yang berjudul “Belajar Beropini Felix Tans” yang dimuat pada Pos-Kupang.com (15 April, 2024). RB sendiri menulis opini itu untuk menanggapi oipini saya yang berjudul “Siapa yang Tidak tahu Diri? Sebuah Tanggapan atas Tulisan Robert Bala” yang dimuat pada media yang sama (10 April, 2024). Tulisan RB yang awalnya saya tanggapi itu dimuat di Pos Kupang yang berjudul “Tidak Tahu Diri” (10 April, 2024, hlm. 2).
Saya mohon maaf atas keterlambatan menulis tanggapan ini. Setelah sibuk beberapa minggu terakhir, pada tanggal 4 Mei, 2024, baru saya kunjungi Pos.Kupang-com lagi. Ternyata ada tulisan RB di sana dengan judul seperti yang saya sebutkan di atas.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan beberapa tanggapan yang, kiranya, bisa memberikan pencerahan dan semangat sekaligus kepada pembaca, terutama kepada para penulis, untuk tetap menulis walaupun “bakal mendapatkan kritikan” dari pembaca seperti yang disampaikan oleh RB.
Pertama, saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada RB, salah satu penulis top bangsa kita, atas ucapan terima kasihnya terhadap kritik saya terhadap opininya. Tidak semua orang mau berterima kasih atas kritik, bukan? “Dengan latar belakang akademis sangat tinggi, yang hanya kita ungkapkan adalah rasa terima kasih,” tulis RB.
Kedua, soal substansi tulisan RB. Saya harus mengatakan bahwa polemik tersebut, disadari atau tidak, merupakan gambaran dari “perpecahan” bangsa ini ketika persoalan hasil Pemilu, khususnya Pilpres, dibawa ke MK: ada yang mendukung Paslon 01 dan 03; ada yang 02. RB, seperti terimplisit dari tulisannya, tidak mendukung 02. Saya sebaliknya.
Dengan demikian, bila dikaitkan dengan tujuan mengapa orang menulis, yaitu untuk memberikan informasi, melakukan persuasi, dan menghibur, saya yakin, dalam tulisannya RB, secara sadar atau tidak, mau mengajak MK mengambil keputusan yang menganulir hasil Pilpres. Itu, tentu, sah. Sangat sah, malah.
Namun, saya, tentu, juga punya hak untuk mengatakan sebaliknya. Karena itulah saya menulis bahwa tulisan RB “mengandung beberapa kelemahan” dan “tidak jelas,” dalam tautan dengan opininya, sebagai sebuah persuasi untuk mengubah hasil Pilpres.
Dalam konteks itu, saya harus mengatakan, argumen saya dalam tulisan itu tetap dan tidak berubah. Adanya keputusan MK yang mengesahkan Pilpres 2024 – terlepas dari dissenting opinions yang ada – memperteguh keyakinan saya akan pendapat tersebut.
Baca juga: Opini: Tidak Tahu Diri
Ketiga, RB menghendaki saya menyampaikan solusi dan bukan hanya sekadar melihat hal negatif dari opini itu. Harus saya akui bahwa ini saya lakukan dengan tahu dan mau. Sebab opini saya itu bukan sebuah kajian tentang baik atau buruknya opini RB. Dengan melihat sisi negatifnya, saya berharap persuasi saya, sesuai dengan tujuan tulisan itu, tercapai dengan risiko dinilai sebagai sesuatu yang “sangat rendah” sekalipun. Bagi saya itu tidak menjadi soal. Yang menilai pembaca, bukan saya, bukan?
Walaupun demikian, dalam beberapa hal, solusi yang diharapkan oleh RB, sesungguhnya, ada juga dalam tulisan itu. Minimal secara implisit. Misalnya, soal pernyataan tesis yang, sejatinya, mencakup topik dan fokus. Tesis itu, saya sarankan, perlu disampaikan secara eksplisit dari awal, yaitu, misalnya, Pemerintah RI tidak tahu diri dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan alasan yang disampaikan dalam tulisan itu.
Dengan cara itu, pembaca akan paham mengapa pemerintah, misalnya, disebut sebagai “tidak tahu diri”. Itu, tentu, dianggap “lebih berbobot,” tetapi RB, tampaknya, tidak sempat melihat sejauh itu.
Keempat, soal tanda tanya pada judul. Menurut RB, itu gaya lama dalam menulis. Harian sehebat Kompas saja sudah tidak menggunakannya lagi. RB, saya harus katakan, salah dalam hal ini. Tanda tanya itu hanya soal teknik penulis untuk menjamin tujuannya, seperti yang saya singgung di atas, tercapai atau tidak dalam menulis. Jadi, sejatinya, tidak ada yang salah dengan tanda tanya itu.
Kelima, soal ide Paul Ricoeur (1913-2005), filsuf Perancis, tentang otonomi teks dan pentingnya tidak membaca sebuah teks bak sebuah dialog untuk menghindari “conflict of interpretations.” Mengutip Ricoeur, dalam From Text to Action, Essays in Hermeneutics (1991), RB menulis, “… orang tidak bisa membaca sebuah tulisan seperti sebuah dialog … Pembaca sebuah artikel (atau buku) harus menganggap seakan-akan pengarangnya sudah mati dan buku itu lahir persis setelah pengarangnya mati. Pengarang dengan demikian tidak dapat merespons kembali dan cara satu-satunya yang tersisa yang dilakukan adalah membaca karyanya. Di sinilah otonomi sebuah teks terlihat.”
Dalam konteks tertentu, Ricoeur, tentu, benar, tetapi dalam konteks lain, saya pikir, idenya bukan sebuah keharusan. Jika penulisnya sudah wafat, dialog, kecuali dialog imajiner, jelas mustahil. Atau yang dianalisis adalah puisi yang penuh dengan makna yang tersembunyi, berdialog dengan penulisnya, jelas, tidak relevan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.