Wisata NTT

Wisata NTT - Pemerintah Wacanakan Penyisipan Kutipan Dana Pariwisata melalui Tiket Penerbangan

Pemerintah berencana menerapkan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan. Rencana ini masih dikaji, tetapi telah mendapat beragam respons.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Deretan pesawat dari maskapai Garuda Indonesia di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (3/11/2023). 

Apabila hal ini tetap diterapkan tanpa perencanaan yang matang, maka masyarakat pun bisa beralih ke moda transportasi lain. Biaya yang dibayar konsumen untuk membeli tiket akan lebih tinggi.

Saat ini, kondisi maskapai penerbangan belum pulih sepenuhnya. Pertama, tarif batas tak pernah direvisi Kementerian Perhubungan sejak 2019 yang semestinya disesuaikan dengan komponen biaya lainnya.

Kedua, nilai tukar telah mencapai Rp 16.224 per dollar AS hingga Senin (22/4/2024). Harga minyak pun juga akan tinggi. Apalagi jika ketegangan di Timur Tengah bereskalasi.

“Ini sama saja membunuh industri transportasi udara kita karena publik merasa yang naik adalah harga tiket, padahal uangnya bukan untuk maskapai penerbangan. Ini sangat tak adil,” kata Alvin yang juga pakar penerbangan ini.

Baca juga: Wisata NTT - 4 Aktivitas Seru Saat Mengunjungi Pulau Komodo dan Sekitarnya

Berdasarkan riset APJAPI, alasan terbesar penumpang terbang bukan untuk berwisata. Mayoritas responden melakukan penerbangan karena urusan dinas atau rapat kerja (29,7 persen).

Alasan itu diikuti keperluan pribadi (18,6 persen), pulang dari kegiatan (12,9 persen), dan menjenguk keluarga atau menghadiri perkawinan (12,3 persen). Baru sisanya, 12,1 persen responden, memanfaatkan pesawat untuk berwisata.

Asosiasi melakukan penelitian pada Januari 2024 terhadap 7.414 responden pemegang boarding pass. Metode yang digunakan berupa stratified random sampling di lima bandara internasional.

Kelima bandara yang dimaksud meliputi Bandara Soekarno-Hatta (Banten), Bandara Juanda (Jawa Timur), Bandara I Gusti Ngurah Rai (Bali), Bandara Kualanamu (Sumatera Utara), serta Bandara Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan).
Alvin melanjutkan, Asosiasi Internasional Transportasi Udara (IATA) mengatur bahwa harga tiket tak bisa dibebankan selain komponen yang telah disepakati. Komponen yang dimaksud adalah pajak pertambahan nilai, pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U), serta asuransi wajib.

Ada pula komponen tambahan, yakni biaya tambahan (surcharge) sebagai kompensasi kemahalan bahan bakar. “Jangan dibebankan pada tiket karena dampaknya seolah-olah harga tiket naik. Padahal yang naik tetek-bengek yang diselipkan. Nanti yang kena beban lagi adalah maskapai penerbangan, padahal uang enggak masuk ke maskapai,” tutur Alvin.

Ia juga mempertanyakan transparansi dana iuran pariwisata yang terkumpul, dari sisi pihak pengawas dan cara mengawasi serta manfaat dana. Sebab, dana tersebut digunakan dari dan untuk masyarakat, sehingga pihaknya harus bisa mengawasi ke mana iuran itu bermuara.

Berkaca dari dana zakat, ada badan yang bertanggung jawab, yakni Badan Amil Zakat Nasional. Badan ini bertugas mengelola dan mengawasi zakat yang dihimpun dan disalurkan. Konsep iuran pariwisata semestinya juga didesain serupa dengan pertanggungjawaban yang jelas.

Hariyadi juga mengingatkan pentingnya penggunaan serta pengawasan iuran pariwisata melalui tiket pesawat. Pembahasan iuran pariwisata semestinya dibahas secara komprehensif, termasuk payung hukum dan dasar penetapan kebijakannya. Apabila rencana ini tak dimatangkan dengan semestinya, maka terbuka risiko penyalahgunaan dana.

“Mekanismenya bagaimana? Siapa yang kontrol? Ini bisa jadi pungutan enggak jelas. Enggak balik ke industri. Kami enggak terima ya label ke pariwisata, tapi enggak balik ke industri,” kata Hariyadi.

(kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved