Opini

Opini: Mewacanakan Reposisi Uskup Agung

Dari uraian ini bisa ditarik kesimpulan bahwa reposisi Uskup (Agung) bila mengikuti Kitab Hukum Kanonik mestinya perlu diwacanakan.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Robert Bala. 

Mengapa seorang Uskup Agung perlu dipilih dari uskup-uskup sufragan yang ada? Ini karena posisi yang ditekankan dalam KHK 436 - § 1. Dijelaskan, tugas dari seorang Uskup Agung (uskup metropolitan) bisa mengadakan visitasi kanonik ke keuskupan sufragan (2º) dan bisa mengangkat administartor diosesan bila keuskupan itu lowong (3º).

Untuk gereja NTT, posisi seperti ini rupanya tidak menjadi prioritas ketika Uskup Turang diangkat langsung menjadi Uskup Agung (meski dengan hanya setahun jadi uskup auxilier).

Hal yang sama terjadi dengan uskup Longginus da Cunha (1996) yang langsung menjadi Uskup Agung. Demikian juga Uskup Vinsensius Potokota (1997) yang menjadi Uskup Agung dengan hanya 2 tahun jadi uskup sufragan Maumere.

Dari uraian ini bisa ditarik kesimpulan bahwa reposisi Uskup (Agung) bila mengikuti Kitab Hukum Kanonik mestinya perlu diwacanakan. Tetapi harus diakui bahwa juga terdapat imam-imam hebat seperti Uskup Turang, Uskup Longginus, Uskup Sensi, dan kini Uskup Pakaenoni yang bisa ditahbiskan langsung menjadi Uskup Agung.

Tetapi ke depannya Gereja Indonesia pada umumnya dan Provinsi Gerejawi Nusa Tengara perlu memperhatikan bahwa posisi tawar gereja di level kabupaten atau bahkan propinsi darinya menjadi pertimbangan untuk penetapan Uskup Agung.

Pada sisi lain, mestinya dalam level provinsi gerejawi perlu dipikirkan adanya roling uskup agar seorang uskup tidak terlalu lama bertakta di sebuah keuskupan. Perlu dipikirkan agar setalah 2 atau 3 periode, seorang uskup bisa mendapatkan penyegaran baru dengan ditempatkan pada keuskupan lain.

Hal ini sudah terbukti dengan pemindahan Uskup Manek dari Larantuka ke Ende dan Uskup Vitalis Jebarus SVD dari Ruteng ke Denpasar.

Hal itu akan baik untuk uskup dan juga terutama bagi umat agar tidak merasa jenuh dengan kepempiminan seorang uskup yang kadang oleh kemanusiawiannya menjadi kendala baik bagi dirinya maupun umat yang dipimpin.

Yang lebih penting, jabatan uskup seperti ini perlu dipikirkan rotasi dan batas. Mengapa? Karena bahkan KHK ini menempatkan jabatan pemimpin gereja dalam buku II dengan judul UMAT ALLAH.

Itu artinya seorang imam, uskup, kardinal, bahkan paus pun masih bagian umat Allah yang tentu saja punya keunggulan dan keutamaan tetapi juga masih sebagai manusia dan karena itu perlu dijaga dengan pembatasan. Karena itu aneka pembatasan selalu positif. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved