Opini
Opini: Tanggung Jawab Pelestarian Bahasa Daerah
Artinya, mereka tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan orang lain bahkan dengan orang tuanya sendiri.
Oleh Thomas Krispianus Swalar
Mahasiswa Program Magister Universitas Muhammadiyah Malang
POS-KUPANG.COM - Akhir-akhir ini penggunaan bahasa daerah di kalangan anak-anak dan remaja semakin merosot. Hal tersebut bukan sekadar hilangnya kosa kata bahasa daerah.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam relasi personal maupun komunal posisi bahasa daerah sebagai bahasa ibu terpinggirkan.
Artinya, mereka tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan orang lain bahkan dengan orang tuanya sendiri.
Pertanyaan penting ialah apakah hal ini kelemahan tunggal anak-anak dan remaja atau orang tua?
Tidak dapat disangkal, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut berpengaruh terhadap pola hidup seseorang dalam relasi komunikasi di tengah masyarakat penutur sebuah bahasa.
Kerapkali, bila anak-anak menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan dengan teman sebayanya dianggap ketinggalan zaman, ndeso.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat sebanyak sebelas bahasa daerah di Indonesia telah punah.
Maluku menjadi daerah paling banyak kehilangan bahasa daerah yakni delapan bahasa daerah.
Sementara itu, tiga bahasa daerah lainnya berasal dari Maluku Utara, Papua Barat dan Papua juga mengalami nasib serupa akibat hilangnya penutur bahasa daerah bersangkutan ((cnnindonesia.com, 30/6 2022)).
Keterancaman keberadaan bahasa merupakan suatu masalah tersendiri dalam perkembangan bangsa dan negara.
Menurut M. Paul Lewis dalam Ethnologue: Languages of the World (2009), Indonesia memiliki 715 bahasa daerah dan merupakan negara pemilik terbanyak kedua setelah Papua Nugini.
Sedangkan merujuk data Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, jumlah bahasa daerah (tidak termasuk dialek dan subdialek) di Indonesia yang teridentifikasi dan divalidasi sebanyak 718 bahasa (Kompas.com, 21/2 2020).
Data tersebut menunjukkan Indonesia kaya beragam bahasa daerah. Selain bahasa daerah, Indonesia juga sangat kaya khasana budaya serta kesenian dan merupakan mozaik indah kebanggaan serta jati diri bangsa.
Kekayaan dan kebanggaan ini tentu membutuhkan perawatan dan pelestarian berkesinambungan dan lintas generasi.
Hal ini tentu beralasan karena bila tidak dilakukan pelestarian bagi generasi niscaya suatu waktu senjakala kepunahan bahasa segera menjemput.
Pengalaman punahnya sebelas bahasa daerah tersebut adalah pelajaran nyata betapa bahasa-bahasa daerah tersebut tanggal dari para penuturnya dalam relasi komunikasi.
Kesadaran kolektif
Sebagaimana disebut di atas versi Kemendikbudristek, terdapat 11 bahasa daerah di Indonesia yang sudah mengalami kepunahan. Kabar tak sedap ini tentu bukan harus diratapi.
Namun, lebih dari itu dibutuhkan kesadaran kolektif para pihak (stakeholder) bergerak menyelamatkan bahasa daerah di Indonesia.
Mengapa? Bahasa daerah sebagaimana pula Bahasa Indonesia adalah identitas dan jati diri bangsa.
Upaya melestarikan bahasa daerah sangat urgen demi mencegah kepunahan bahasa daerah bersangkutan sekaligus menyadarkan masyarakat terutama penutur asli sedini mungkin. Paling kurang dimulai dari anak-anak dan remaja di bangku sekolah.
Materi muatan lokal (mulok) terkait pelestarian bahasa daerah menjadi ruang terbuka para pemangku kepentingan di semua satuan pendidikan.
Langkah itu paling kurang menjadi pintu masuk efektif merawat keberlangsungan bahasa daerah dari intaian kepunahan.
Berbagai upaya sudah, sedang dan terus dilakukan pemerintah untuk melestarikan bahasa daerah melalui Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa provinsi.
Upaya-upaya ini menunjukkan perhatian, komitmen dan konsistensi pemerintah terhadap keberadaan bahasa daerah demi mengantisipasi ancaman kepunahan.
Pertama, digalakan penulisan dan penerjemahan cerita anak dwibahasa yang diselenggarakan oleh kantor-kantor bahasa di setiap provinsi.
Melalui kegiatan ini, anak-anak usia sekolah diharapkan termotivasi dan terdorong untuk rutin membaca cerita dwibahasa anak. Muaranya, anak-anak akan termotivasi untuk mempelajari dua bahasa sekaligus yakni bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Kedua, kolaborasi dan sinergi dari komunitas-komunitas sastra yang dengan rutin mengadakan penulisan puisi dwibahasa. Sebut saja, komunitas sastra Taman Inspirasi Sastra Indonesia.
Komunitas ini diimunisasi para penyair atau sastrawan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Komunitas Sastra yang dipimpin Octavianus Masheka sejak 2022, telah menggiatkan penulisan puisi dwibahasa yang diterbitkan dalam tiga seri bertema Bahasa Ibu Bahasa Darahku.
Terlepas dari semua upaya yang sudah dan sedang dijalankan, keluarga sebagai pilar utama pendidikan menjadi kunci utama dalam pelestarian bahasa daerah.
Data Vitalitas Bahasa menurut Statistik Kerahasiaan dan Kesastraan (2021) menyebutkan beberapa bahasa daerah di NTT yang stabil tetapi terancam punah, kritis dan terancam punah.
Dengan demikian, keluarga mesti menjadi fokus dan lokus dalam pelestarian bahasa ibu agar anak-anak yang lahir dari keluarga tidak merasa asing dengan bahasa ibu atau bahasa daerah orang tuanya.
Bahasa daerah memiliki nilai seni yang sangat dalam dan sakral, apabila diungkapkan dalam tata bahasa daerah yang santun dan dituturkan dengan penuh etika.
Oleh karenanya, jika para orang tua tidak membiasakan berbahasa daerah di rumah, maka suatu saat bahasa daerah akan terlupakan.
Penuturan bahasa daerah yang bernuansa sastra akan hilang tak berbekas saat ini dan ke depan jika tidak digali dan didokumentaksikan sebagai salah satu cara pelestariannya.
Mesti disadari, dalam hajatan atau momen adat, bahasa daerah yang akrab dan kuat karena menyingkapkan nilai kesalahan bahasa daerah. Namun, mulai melemah bersamaan dengan berakhirnya proses adat-istiadat.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang Yus Mochamad Cholil dalam sebuah kesempatan di Lembata menekankan empat hal penting dari penerapan muatan lokal kepada para peserta didik.
Pertama, keteladanan dari para guru. Kedua, menghargai keberagaman. Ketiga, menggunakan bahasa yang positif dalam berkomunikasi.
Keempat, ruang ekspresi bagi anak dalam menggunakan bahasa daerah mesti diperbanyak (flores.tribunnews.com, 12 Oktober 2022).
Oleh karena itu, dalam mendukung dan mendorong pelestarian bahasa daerah, perlu diteruskan berbagai kegiatan budaya lokal.
Selain itu, perlu upaya mendokumentasikan bahasa daerah melalui perekaman suara, video dan penulisan, termasuk penggunaan bahasa daerah dalam media sosial.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari di rumah, sekolah, dan tempat kerja dapat mempertahankan kelangsungan bahasa daerah dari generasi ke generasi.
Kerja sama dengan pemerintah, lembaga pendidikan dan LSM serta perorangan yang menjadi pegiat bahasa daerah membantu mempertahankan kelangsungan bahasa daerah dari generasi ke generasi.
Hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius oleh semua pihak, terutama lembaga pendidikan dan pemerintah adalah memberi apresiasi atau penghargaan kepada individu atau kelompok yang berperan dalam melestarikan bahasa daerah.
Dari sana tumbuh kesadaran pentingnya pelestarian sekaligus motivasi bagi orang lain untuk terlibat berkontribusi.
Demikian juga pelatihan guru untuk mengajar bahasa daerah secara efektif membantu sekaligus garansi bahwa pengetahuan dan keterampilan akan disampiakan dengan baik kepada generasi penerus. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.