Pemilu 2024
Hakim Konstitusi Dilarang Cawe-cawe Saat Sidang Sengketa Pemilu 2024
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Suhartoyo menegaskan hakim tak bisa memanggil saksi ahli dalam sidang sengketa pemilu.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Suhartoyo menegaskan hakim tak bisa memanggil saksi ahli dalam sidang sengketa pemilu. Hal ini disampaikan Suhartoyo menyoroti sidang sengketa hasil Pemilu 2024 yang akan digelar beberapa waktu mendatang.
"Apakah boleh hakim mengadili dalam perkara pileg dan pilpres nanti bisa aktif memangil pihak ahli ke persidangan, itu saya tegaskan enggak bisa," kata Suhartoyo, kepada wartawan di Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/3) malam.
Ia menekankan, hanya para pihak yang dapat memberi pembuktian di dalam sidang. Sedangkan, hakim tak boleh 'cawe-cawe'.
"Jadi semua itu harus dibawa ke persidangan, dibuktikan oleh para pihak, tidak boleh itu hakim cawe-cawe, harus begini, harus begini, enggak boleh," ucapnya.
Di sisi lain, meskipun hakim menyarankan untuk menambah saksi dalam persidangan, hanya pemohon yang boleh mencari dan menentukan siapa saksi tambahan tersebut.
"Kalau kemudian hakim menyarankan, misalnya 'eh kamu saksinya kurang nih', ditambah atau dan lain sebagainya, tetap yang mengajukan pihak yang bersangkutan langsung. Bukan hakim yang cari kemudian bisa mendatangkan ahli seperti pada pengujian UU atau judicial review. Enggak," jelas Suhartoyo.
Menurutnya, hakim yang menangani perkara sengketa pemilu tidak boleh melebih-lebihkan kasus. Bahkan, hakim dapat dikatakan sudah berpihak, jika mencoba untuk menambahkan fakta di persidangan.
"Dalam sengketa lembaga negara yang menjadi kewenangan MK, perkara pilkada enggak boleh berlebih-lebihan sikapnya kemudian menambah-nambah fakta di persidangan inisiatif hakim, itu hakim sudah berpihak," tegas Suhartoyo.
Baca juga: Bawaslu Malaka Gelar Rapat Koordinasi Penyelesaian Sengketa Pemilu 2024
Ia mengatakan, seorang hakim seharusnya bersifat pasif. Sebab, segala pembuktian dalam persidangan menjadi tanggung jawab pemohon perkara.
"Jadi hakim sebenarnya pasif seharusnya, kalau temen meliput perkara -perkara sidang perdata di peradilan umum, perkara pidana, hakim enggak ada hakim yang perintahkan panggil ini panggil ini, enggak boleh," kata Suhartoyo.
"Karena sifatnya harus pasif, pembuktian semuanya dibebankan kepada para pihak, kalau dalam perkara perdata penggugat dan tergugat, dalam perkara pidana ya jaksa yang mengalihkan mendakwakan terdakwa, yang mendatangkan saksi, mendatangkan ahli," tuturnya.
Suhartoyo juga menyoroti batas waktu 14 hari yang dimiliki Mahkamah untuk memutus sengketa pilpres. Ia menilai waktu 14 hari tidak ideal. Meski demikian Suhartoyo berjanji akan memaksimalkan penanganan perkara pilpres dalam waktu yang telah ditentukan tersebut.
Untuk diketahui, batas waktu 14 hari diatur dalam Pasal 475 UU Pemilu. Sementara itu, tenggat waktu bagi MK memutus sengketa pileg maksimal 30 hari, dan sengketa pilkada maksimal 45 hari.
"Dalam batas penalaran yang wajar, bisa enggak MK secara komprehensif menangani itu? Dengan berbagai, katanya, kompleksitas kecurangan atau anggapan-anggapan ada kecurangan, bisa enggak dengan waktu 14 hari kira-kira paling nggak 2 perkara (sengketa diputus)?" kata Suhartoyo.
"Kita tetap akan optimistis sepanjang yang secara maksimal bisa kami lakukan. Di luar itu kan kadang-kadang itu instrumen yang di luar kemampuan kami," sambungnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.