KKB
KKB Papua: Peneliti Australian National University Tawarkan Alternatif Pendekatan
Persoalan komitmen bersama menjadi penyebab utama lambatnya upaya pembebasan Philip Merthens, pilot asal Selandia Baru.
POS-KUPANG.COM - Hipolitus Wangge, Peneliti Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT, menawarkan alternatif pendekatan dalam penyelesaian konflik Papua yang melibatkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di satu pihak dan tim gabungan TNI dan Polri di pihak lain.
Dia menyebut salah satu opsi penting yang diajukan Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC) bagi pemerintahan mendatang adalah memperkuat pemerintahan lokal, termasuk menemukan pihak tepercaya untuk menjaga dan mengoordinasi kepentingan para pihak yang berkonflik, seperti yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya.
"Opsi ini perlu mendapatkan dukungan selain tawaran dialog yang masih mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, demikian Hipolitus Wangge, dalam artikel opini berjudul "Penyanderaan Pilot dan Persoalan Komitmen Bersama" yang dimuat laman Kompas.id, Rabu (6/3/2024).
Meski demikian, Hipolitus memberi catatan bahwa model yang diterapkan di Lanny Jaya akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat minimnya dukungan kelembagaan dan kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik di beberapa daerah pegunungan yang memiliki karakternya masing-masing.
"Sejumlah kebijakan populis yang kemungkinan besar akan dilanjutkan pemerintahan baru, seperti infrastruktur dan bantuan keuangan, tidak akan berdampak signifikan untuk menanggulangi eskalasi konflik," demikian pendapat Hipolitus.
Dia menulis, dalam satu dekade terakhir, upaya-upaya penanganan masih terpusat di Jakarta dan ruang keterlibatan masyarakat asli Papua, khususnya kelompok politik di Papua, sangat terbatas dan bahkan hilang dalam menyelesaikan sejumlah problem di Papua.
"Selain pembangunan yang masih terpusat di wilayah pesisir, penembakan, pengungsian, pembakaran, rasisme, deforestasi, korupsi, menjadi warna Papua dalam 10 tahun terakhir."
Baca juga: Anggota KKB Jukius Tabuni Pelaku Perampasan Senjata Api Berhasil Ditangkap Satgas Damai Cartenz
Dia menyoroti upaya penyelesaian kasus penyanderaan pilot berkebangsaan Selandia Baru Philip Mark Mehrtens yang diikuti sejumlah kontak bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau juga disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan pasukan gabungan TNI dan Polri yang membuat kondisi keamanan di wilayah pegunungan Papua belum stabil.
"Penyanderaan pilot dan konflik bersenjata yang menelan puluhan kombatan dan memaksa ribuan orang asli Papua (OAP) mengungsi menjadi konsekuensi dari tidak efektifnya pelaksanaan otonomi khusus (otsus) dan gagalnya operasi kontra pemberontakan yang dijalankan aparat keamanan di Papua. Sejumlah peristiwa kekerasan yang tak berkesudahan menjadi refleksi ketidakmampuan pemerintah pusat menyelesaikan konflik politik di Papua dalam 10 tahun terakhir."
Menurut dia, pemerintahan baru 2024 masih akan mewarisi siklus kekerasan di wilayah paling timur NKRI. Berdasarkan visi-misi dan debat capres, dia menilai, kepemimpinan baru belum memiliki model penyelesaian komprehensif selain mengulangi retorika dan kebijakan terdahulu pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Dia menyebut, pada 2021, pemerintah pusat dan parlemen menyetujui revisi dan perpanjangan Undang-Undang Otsus untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua dengan harapan akhir untuk mengakhiri konflik politik di wilayah tersebut. Tanpa melalui proses deliberasi yang menyeluruh, revisi UU Otsus justru mendapatkan penolakan yang cukup meluas di Papua, khususnya masyarakat asli Papua.
Sekalipun demikian, tulisnya, pemerintah pusat tetap memberlakukan perubahan undang-undang tersebut dengan memperkuat kewenangan pemerintah pusat di bidang keuangan, regulasi, dan politik, dan memperlemah eksistensi lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua.
Salah satu tujuan revisi otsus adalah memberikan insentif untuk jabatan birokrasi dan keuangan bagi usaha kecil dan menengah untuk OAP dengan harapan mereka pada akhirnya akan meninggalkan mobilisasi politik baik melalui jalur nonkekerasan ataupun terlibat dalam kelompok bersenjata.
Dengan latar belakang yang sama terkait percepatan pembangunan, pemerintah pusat dan sejumlah elite di Papua membentuk empat provinsi baru di wilayah tersebut pada 2022. Menurut Hipolitus, sejauh ini, baru provinsi Papua Selatan dan Papua Barat Daya yang memiliki kesiapan infrastruktur dan birokrasi dengan dukungan keuangan minimal untuk menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Dua ibu kota setiap provinsi itu, yakni Merauke dan Sorong, memiliki latar perkotaan sehingga memudahkan transisi pemerintahan baru.
Sementara itu, dua provinsi baru lainnya, menurut Hipolitus, masih berkutat dengan daya dukung keuangan, sumber daya manusia, dan infrastruktur. Dia mengangkat salah satu contoh, sejumlah gedung perkantoran dan sekolah di wilayah Yahukimo, Nduga, Puncak, Dogiyai, dan Deiyai tidak lagi digunakan untuk kegiatan pelayanan masyarakat. Dua perubahan struktural di Papua ini berlangsung di tengah meningkatnya eskalasi kekerasan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.