Pemilu 2024
Litbang Kompas: Mencermati Lonjakan Suara PSI, Mungkinkah Masuk Senayan?
Konsentrasi suara PSI masih berada di perkotaan dan hanya tercatat di kurang lebih 15 dapil yang melebihi ambang batas.
Hal kedua terkait distribusi suara dari 45 TPS tersebut juga sangat jauh dari proporsi di tingkat nasional. Suara dari 45 TPS yang masuk rentang waktu di atas berjumlah sekitar 9.200 suara. Dengan memperoleh sekitar 3.300 suara, PSI mendapat lebih dari 33 persen suara dari beberapa TPS tersebut.
Baca juga: PSI Raih Tiga Kursi di DPRD Belu pada Pemilu 2024
Perolehan ini tentunya sangat jauh dari proporsi nasional karena saat itu perolehan PSI masih berada di kisaran 3 persen. Jika diproporsi, wajarnya PSI meraih sekitar 300 suara dari 45 TPS tersebut. Bahkan, dibandingkan dengan perolehan tertinggi di tingkat dapil, yakni DKI Jakarta III, suara PSI di TPS tersebut wajarnya berada di sekitar 1.200 suara atau setara dengan 13 persen.
Kecenderungan anomali ini menembus pemahaman statistik yang telah mapan lebih dari tiga abad. Salah satu teorema yang diyakini dan digunakan hingga saat ini adalah hukum jumlah besar (law of large number).
Secara singkat, teori ini menjelaskan bahwa rata-rata hasil yang diperoleh dari sejumlah sampel acak independen dan terdistribusi secara identik dengan populasi akan mirip dengan rata-rata hasil riil di populasi.
Dalam penerapannya, teori ini digunakan dalam banyak hal, mulai dari kasino hingga prediksi hasil pemilu. Dalam konteks kasino, kuatnya postulat yang dikandung oleh teori tersebut, bandar di kasino tidak akan ”kalah” karena dengan jumlah kejadian sekian ribu kali, kemenangan-kemenangan pemain akan lebih kecil dibandingkan dengan kemenangan sang bandar yang sudah diatur di permainan sejak awal.
Selaras, di pemilu, teori ini menjelaskan mengapa hasil dari hitung cepat umumnya tidak berbeda jauh dengan hasil riil yang dihitung penyelenggara pemilu.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, beberapa hasil hitung cepat lembaga survei, seperti Litbang Kompas, CSIS, Cyrus Network, LSI Denny JA, dan Charta Politika, menunjukkan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf di kisaran 54,3-55,71 persen. Hasil tersebut tak jauh berbeda dengan margin di kisaran plus minus 1 persen dibandingkan hasil resmi KPU yang tercatat berada di angka 55,5 persen.
Maka, dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi, tidak berlebihan jika hasil hitung cepat bisa dilihat sebagai salah satu upaya untuk mengawal jalannya penghitungan suara.
Apabila hasil dari penghitungan berbeda jauh dari hasil hitung cepat, ada potensi anomali data yang sebenarnya hampir tidak pernah terjadi. Dalam konteks ini, perolehan suara PSI berbeda jauh atau melebihi margin error dari berbagai lembaga yang melakukan hitung cepat saat pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu.
Basis suara PSI tak berubah
Tentunya, pergeseran suara dalam konteks elektoral mungkin saja terjadi. Argumentasi bahwa politik itu dinamis, terutama di Indonesia, memang sahih. Namun, agaknya sulit untuk bisa memahami potensi anomali dengan lonjakan suara PSI.
Salah satu cara untuk melihat pergeseran perolehan suara ialah melihat ekspansi dalam dimensi geografis. Dalam konteks bahasan kali ini dilihat bagaimana PSI mampu memperkuat suara di daerah lumbung atau menambah penguasaan di daerah yang sebelumnya gagal dikuasai.
Apabila PSI mampu untuk melakukan keduanya, pantaslah apabila terjadi kenaikan suara yang signifikan dibandingkan pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2019, PSI hanya mampu mengumpulkan sekitar 2,65 juta suara atau setara dengan 1,89 persen dari total suara sah. Dari jumlah suara tersebut, terdapat beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten di mana perolehan PSI melampaui 100.000 suara.
Di luar Jawa, suara PSI terbesar berada di provinsi Sumatera Utara, Papua, NTT, Sulawesi Selatan, dan Lampung dengan perolehan di atas 50.000 suara.
Baca juga: Pemilu 2024, PSI Percaya Diri Gaet Enam Kursi di DPRD NTT
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.