Liputan Khusus

News Analysis Kejati NTT Sita Tanah Mantan Wali Kota Kupang, Pengamat: Tidak Boleh Diskriminatif

Analisis itu disampaikan Deddy Manafe terhadap pelaksanaan penyitaan tanah Mantan Wali Kota Kupang Jonas Salean oleh Kejati NTT.

Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
Pengamat Hukum NTT, Deddy Manafe S.H., M.H 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengamat Hukum Dr. Deddy Manafe, SH menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh dilakukan atas dasar diskriminasi. 

Analisis itu disampaikan Deddy Manafe terhadap pelaksanaan penyitaan tanah Mantan Wali Kota Kupang Jonas Salean oleh Kejati NTT. Berikut analisis Dr. Deddy Manafe

Harusnya Kejaksaan Tinggi Provinsi Nusa Tenggara Timur ( Kejati NTT ) tunduk kepada surat edaran Kejaksaan Agung, yang menyatakan bahwa selama proses Pemilu, semua kasus pidana Tipikor ditangguhkan sampai selesai Pemilu.

Baca juga: Lipsus - Kejati NTT Sita Tanah Mantan Wali Kota Kupang Jonas Salean

Baca juga: Jonas Salean Bantah Tanah Sitaan Kejati NTT Milik Pemkab Kupang 

Kasus terbaru adalah juru bicara Paslon capres nomor urut satu yang ditangkap Kejaksaan. Kejadian itu viral dan kini sedang masuk dalam upaya hukum.

Kemudian keterangan dari Jaksa Agung dalam keterangannya saat rapat dengar pendapat dengan DPR RI mengenaskan bahwa surat edaran itu berlaku untuk seluruh Indonesia selama masa kampanye, Pilpres, Pileg dan Pilkada yang dalam proses 2024 ini.

Secara institusional maka mestinya Kejati NTT harusnya memerhatikan dan tunduk pada surat edaran Jaksa Agung itu.

Bahwa proses perkara itu sudah berlangsung sebelum Pemilu, tapi selama Pemilu ditangguhkan. Tidak boleh ada tindakan hukum, termasuk yang ditulis media bahwa ada penyitaan sejumlah bidang tanah.

Itu sebenarnya, kalau kasus itu masih berkaitan dengan pihak yang mengikuti proses Pemilu, baik itu caleg di DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi maupun DPR RI, harus ditangguhkan.Nanti setelah pemilu baru dilanjutkan sejalan dengan surat edaran itu.

Lalu, patut didalami, kasus pada objek yang sama, kemungkinan besar itu sudah ada putusan Mahkamah Agung yang inkrah meskipun itu ranah Perdata.

Sehingga, patut dipertimbangkan fakta hukum dalam Perdata kalau mau dijadikan pidana. Sehingga di negara ini terjadi ketidakpastian hukum.

Dalam sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum ditetapkan ada tiga tujuan yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Ketika ada putusan terkait dengan obyek yang sama dan sudah inkrah, bahwa subtansi seperti harus didalami.

Jika dalam proses yang sama ada proses administrasi di situ, yang kemudian ada produk hukum administrasi yang sudah diterbitkan negara, misalnya sertifikat hak atas tanah, maka sertifikat hak atas tanah, sesuai dengan UU pokok agraria dan peraturan pemerintah, disitu hak milik atas tanah adalah yang terkuat, terpenuhi dan turun temurun.

Jadi kalau misalnya ada hak lain yang membatalkan itu, maka pembatalan itu harus melalui pembatalan pengadilan. Dalam artian sertifikat itu adalah keputusan tata usaha negara. Maka, alas hak atas itu harus dibatalkan dulu, tidak bisa memidana pemegang hak atas tanah.

Sementara alas haknya sah menurut hukum negara. Itu tidak bisa. Pemegang atas hak kita bilang terindikasi tindak pidana korupsi misalanya, tapi alas hak dalam bukti sertifikat itu belum pernah dibatalkan.

Kalaupun dalam proses penerbitan alas hak itu ada unsur pidananya, harus dibatalkan dulu alas hak itu terhadap sertifikat yang dinyatakan tidak sah.

Relasi antara hukum perdata, administrasi negara dan pidana, maka urutan kerjanya, kalau lahir (perkara) itu dari hukum perdata maka hukum perdata diterapkan dahulu, kemudian diproses hukum administrasi negara lewat PTUN dan hukum pidana.

Karena hukum seperti ini, tindak pidana yang lahir dari perbuatan hukum yang lain maka perbuatan hukum pidana bersifat bukan obat yang langsung diterapkan tapi obat yang paling akhir diterapkan.

Perdata itu bicara tentang hak dan kewajiban. Kemudian, ketika dari keperdataan itu menuju ke hukum administrasi disitu bicara tugas dan fungsi maka lahirlah sertifikat hak atas tanah.

Lalu, dalam perbuatan perdata dan tata usaha, kalau ada penyalahgunaan baru lahirlah korupsi, UU Tipikor. Artinya, tindak pidana korupsi itu lahir kemudian setelah hukum perdata dan administrasi. Itu tahapan kerjanya.

Sesungguhnya, objek tanah Pemda Kabupaten Kupang itu mana saja?. Harus jelas. Karena tidak bisa kemudian katakan luasnya satu hektar lalu kita pilah yang seperempat hektar yang kita pidana, tidak boleh seperti itu, karena satu objek.

Benar bahwa Kejati NTT menyandarkan diri pada putusan pengadilan Tipikor terhadap sejumlah terpidana yang sudah dipidana, mereka di BPN itu berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dalam dengan perbuatan melawan hukum penertiban sertifikat tanah. Kita hargai itu, cuma, apakah sudah inkrah, apakah ada upaya hukum? Kita tidak tahu.

Tetapi yang paling mendasar itu adalah satu objek hak negara ketika dipilah dan diberikan kepemilikan kepada sejumlah oknum, kemudian penegakan hanya di satu orang, maka sesungguhnya tindakan itu adalah diskriminasi.

Hukum tidak boleh diskriminasi, penerapan standar ganda. Kenapa hanya empat sertifikat? Apa benar objek itu hanya empat sertifikat? Lalu yang lain bagaimana? Kapan baru ditegakkan? Apakah proses dicicil? Ada apa dibalik itu? Apakah oknum yang terlibat itu tidak diketahui keberadaannya? Apa pertimbangannya?

Penegakan hukum tidak boleh mengirim sebanyak-banyaknya orang ke penjara. Kalau kita lihat kepada tujuan penegakan hukum itu ada kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

Tapi kita lihat pada kepala putusan setiap keputusan itu demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, bukan demi keadilan berdasarkan kehendak penegak hukum.

Jadi, perlu direnungkan kembali. Saya sangat mengapresiasi bahwa aset negara itu dilindungi, tapi tidak boleh dengan cara-cara yang berpotensi melanggar hukum itu sendiri, apalagi melanggar hak asasi manusia.

Putusan perdata sudah inkrah, itu fakta hukum. Suka atau tidak suka, tapi perkara perdata sudah selesai dan tidak bisa diutak-atik lagi.

Sekarang domainnya adalah dari hak keperdataan itu, ketika diproses dalam hukum administrasi untuk menerbitkan alas hak itu, bisa saja ada korupsi yang disebut penyalahgunaan wewenang.

Maka, bisa saja berpotensi terjadi korupsi. Tapi lokus itu pada penyalahgunaan wewenang dalam proses penerbitan (sertifikat) objek tanah itu. Tapi soal objek tanah itu sudah jelas, dalam putusan perdata menyatakan bahwa tidak terbukti bahwa Pak Jonas dkk tanpa alas hak membagi tanah itu. Sudah selesai itu dan sudah final.

Sekarang titik bidiknya adalah penyalahgunaan sertifikat itu. Itu ada penyelenggara negara yang diduga menyalahgunakan wewenang dalam persoalan itu. Supaya jadi perkara Tipikor maka harus negara dirugikan, tapi bagian ini saya pikir penyidik lebih tahu. Karena, kalau tanpa kerugian negara baik keuangan maupun perekonomian maka tidak ada Tipikor. (fan)

 

Ikuti Liputan Khusus POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved