Opini

Pertarungan yang Sebenarnya

Bahkan ketika hanya ada 2 paslon, Jokowi hanya menang 53,15 persen (2014) dan naik sedikit menjadi 55,50 persen di 2019.

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Pasangan Prabowo-Gibran. Berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan ini meraih kemenangan dalam Pilpres 2024. 

Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Facultad Ciencia Politica Universidad Complutense de Madrid Spanyol

POS-KUPANG.COM - Pilpres dan pileg sudah selesai. Pengumuman Quick Count, terlepas dari kecurigaan di baliknya, dan didukung perhitungan real count KPU, maka harus diterima, Prabowo dan Gibran menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.

Tetapi apakah pertarungan itu selesai? Apakah dengan kemenangan itu maka suara-suara kritis pun sepertinya kalah dan persoalan etik hanya sekadar omon-omon?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi fakta berikut bisa menjadi pijakan dalam penilaian. Pada satu sisi kemenangan sampai hampir 60 persen menjadi sebuah pencapaian yang luar biasa.

Bahkan ketika hanya ada 2 paslon, Jokowi hanya menang 53,15 persen (2014) dan naik sedikit menjadi 55,50 persen di 2019.

Apakah ini karena faktor kualitas diri Prabowo dan Gibran atau ada faktor X? Fakta empiris justru sangat minim untuk mendukung kesimpulan ini.

Kalau soal Jokowi, sesungguhnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang secara terang-terangan mengakui merupakan Partai Jokowi ternyata berada di ambang ketidaklolosan ke Senanyan.

Pada sisi lain PDIP yang seharusnya terbukti telah menjadi bagian dari kesuksesan Jokowi cukup kecolongan dengan terlampau mengkritik Jokowi.

Hasilnya telah menjadi sentimen negatif yang berujung pada pengurangan simpati kepada capres yang didukung PDIP.

Hal ini tentu menyakitkan terutama bagi Ganjar karena Jawa Tengah yang seharusnya ia menjadi 'segalanya' tetapi ternyata mengherankan pada akhirnya. Penurunan itu harusnya dijadikan evaluasi tanpa terus mengarahkan ke Jokowi.

Artinya kalau 'iman kuat', godaan apapun (terutama bansos) pasti lewat Tetapi kalau 'iman lemah', maka hasilnya seperti yang terjadi sekarang.

Kelemahan strategi PDIP tidak bisa dibebankan begitu saja ke Jokowi.
Fakta lain, meski kalah dari segi pilpres tetapi PDIP tetap menjadi teratas dengan pencapaian di atas 16 persen.

Ini menunjukkan bahwa kemenangan 'hatrick' dalam tiga pileg jadi bukti tentang kualitas idelogis PDIP. Ini akan menjadi fakta menarik sekaligus awasan bahwa PDIP itu tidak akan bermain-main kalau politik dipermainkan.

Pada sisi lain, Gerindra, partai besutan Prabowo hanya menjadi pemenang ke-3 padahal pada pileg 2019 ada di posisi ke-2 menjadi awasan besar.

Itu berarti Prabowo tidak bisa terlalu berharap kepada Gerindra. Ia harus banyak 'bertandang' ke Golkar dan partai pendukung lainnya yang berujung pada 'bagi-bagi kekuasaan' yang bisa saja positif tetapi juga bisa negatif.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved