NTT Memilih
Ketua Bappilu DPD PDIP NTT: Kami Tidak Pernah Buka Ruang Kompromi Kejahatan Politik Dalam Parlemen
Menurut Cendana, terkait hal ini rakyat pemberi suara yang bisa menjelaskan. Rakyat lebih tahu kenapa dia memilih partai tapi tidak capresnya.
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Oby Lewanmeru
"Kalau dari segi faktor normal, itu kita berdebat sampai habis juga tidak ketemu sehingga alat ukur yang paling sederhana banyak, termasuk bansos termasuk sulap di lapangan. Jadi ini kan ada proses legal yang membutuhkan legitimasi dari rakyat. Ini kan sama dengan makanan halal. Halal itu melalui proses mendapatkan dan menggunakan. Silakan rakyat menilai," ungkapnya.
Terkait aksi-aksi di injury time yang menyebabkan perolehan suara capres jeblok Cendana menjelaskan, hal ini sudah diketahui semua tetapi pihaknya hanya menunggu keputusan resmi apalagi kewenangan tentang hal ini hanya ada di pasangan calon dan partai koalisi.
"Tetapi ada kejadian seperti ini, sejago apapun pengamat atau orang-orang yang sering berbicara, kok mentok? Sehingga rakyat bisa tahu apakah ada operasi khusus atau ada kesadaran politik yang begitu tinggi di rakyat atau ada nafsunya orang di sekitar pasangan ini. Itu saja indikatornya," kata Cendana.
"Ini seperti pilihan masakan. Kita pilih capcay seafood, capcay ayam, capcay daging. Berbahaya kalau diramu. Kepentingan ideal ini menjadi satu. Ini kan hanya soal semua orang membutuhkan bahwa yang kita produksi sekarang ini yang penting menang. Soal cara menangnya ini tidak pernah dipakai. Kurang kah kampus teriak, mahasiswa teriak, tokoh dalam seluruh level, tokoh agama, tokoh politik?," tanyanya.
Untuk mencapai hasil yang ideologis, apapun harus dikorbankan, harus disampaikan kalah kami membebek, banyak tokoh yang dulu maki-maki sekarang jadi hamba tapi partai ini sudah dilatih yang penting ideologisnya jelas, nasionalisnya jelas, memproduksi orang yang berada pada eksekutif legislatif itu jelas. ini memang tidak populer tapi kedepan akan ada hasil seperti ini. Ini pilihan tidak populer dan itu harus dikorbankan. Kurang apa partai ini mengorbankan, dua kali kasih orang luar," tambahnya.
Terkait efek Jokowi yang menurut pengamat berpengaruh terhadap pergeseran pemilih Cendana mengatakan, PDIP selalu melakukan kondisi ilmiah secara rutin.
"Ini kan soal pilihan. Tindakan popularitas atau melanggar konstitusi. Ini kan di luar kebiasaan. PDIP tidak pernah membenci Jokowi tapi semua orang pada tahu bahwa proses ini ada sesuatu yang sistemnya terputus. Tidak bisa ditutup soal faktor Gibran. Kita secara ideologis itu untuk sistem sekarang dan demokrasi kedepan tidak boleh mewarisi jabatan. Ini diwariskan lho entah hibah atau wakaf. Terjadi dan itu tidak populer buat PDIP.
Mewariskan dengan sistem yang dibuka dengan begitu telanjang bulat dan ini orang tahu tinggal sekuat-kuatnya pengamat, pelaku dan masyarakat menilai," ungkapnya.
Hasil Quick Count yang didapatkan oleh ketiga pasangan calon menurut Cendana tergantung sudut pandang karena bagaimanapun PDIP sudah lima kali bertarung. Dua kali kalah dua kali menang dan ini ketiga kalinya PDIP kalah.
Bagi Cendana, sebagai politisi yang benar-benar berjalan pada tatanan ini, situasinya biasa saja.
"Soal mengaku kalah atau tidak ini perlu alat ukur yang perlu ditunggu adalah lembaga penyelenggara. Kami sadar bahwa proses penyelenggaraan ini dari dulu memang tidak ideal. Kita terkesan kejar target selesai hasil ada. Tapi dugaan saya kedepan ini akan menjadi titik jenuh sehingga pemerintah dan DPR kedepan harus berpikir cara penyelenggaraan. Kenapa tidak elektoral vote itu kan pakai sistem komputer. Mahal tapi untuk sebuah proses kenapa tidak dilakukan. Tidak sekaligus tapi harus ada kemauan untuk itu. Ini untuk kedepan. Kalau proses sekarang ini kan kompromi yang terlalu lama dilakukan. Ketika membuat Undang-Undang Pemilu termasuk di KPU ini kan kompromi partai yang kecil dia menghitung kepentingannya dia termasuk parlemen threshold. Itu kan komprominya gila-gilaan. Ada yang idealis mempertahankan tapi dia tidak kuasai parlemen belum pemerintah ini macam-macam. Ini proses orang tahu betul dari dulu tidak ideal. Kita memaksa ada hasil tetapi ada pengorbanan. Ini kan gampang dia cuci tangan tidak sehat nanti kita tes ulang ini mau berulang sampai kapan," kata dia.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024 - Data Versi KPU: PDIP 17,85 Persen, Golkar 12,95 Persen, Gerindra 11,94 Persen
Lanjut Cendana, kedepan akan ada titik jenuh dan untuk itu harus segera dipikirkan.
Soal partisipasi tinggi dia mengakui, betul bahwa orang lebih tertarik pada pilpres tapi masyarakat tidak sedang dididik bahwa tidak ada calon presiden independen. Itu harus melalui partai politik. Artinya kecenderungan orang mengikuti eksekutif di Indonesia cukup tinggi. Disitulah celah yang menyebabkan proses ini tidak bisa ideal.
"Ini 18 partai, kalau jadi 40 lebih rumit lagi. Oleh karena itu orang kalau mengikuti proses pembuatan Undang-Undang itu kan baku curiga ini kemauan partai besar ini partai kecil sedang dianiaya. Toh hasilnya juga mereka diam di tempat. Enam saja sampai tujuh sesuai hasil survey teman-teman penyelenggara. Kita menebus proses dengan menembuskan keinginan partai politik. Ini tidak bisa dibiarkan. Ada fakta tapi tidak mau diakui dan estimasi saya kedepan akan ulang lagi nanti dua tahun menjelang pemilu proses ini akan diulangi terus menerus. Jangan pernah bermimpi proses demokrasi yang ideal bisa terselenggara," ujar Cendana.
"Apa kita tidak dengar para pihak pengamat atau kampus, banyak pihak? Ada kesadaran itu, seberapa kuat mereka melakukan penalaran Intelektual dengan fakta permainan politik praktis di lapangan itu kan hampir tidak berbanding lurus. Kembali kepada soal hasil kecewa atau tidak, kami terlatih untuk itu. Makanya kami segera tidak mau terbuai dengan Pilpres kami jaga pileg. kalau dulu kan tidak," ujarnya.
"Pileg dipisahkan dengan Pilpres sehingga ada calon tertentu dia bisa menjual. Mau saya menang, pilih partai a. Sekarang kan tidak bisa dibuktikan karena pengusung sendiri tidak menang di pileg. Ini fakta yang tidak bisa diabaikan Saya selalu amati dengan baik sebagai Bappilu, ini kan terbukti.
Kami partai berpengalaman kami sadar kondisi seperti ini kami tetap pelototi hasil pileg karena quick count ini kan hanya diselenggarakan untuk DPR RI. Kabupaten provinsi kan real count jadi real count kita jalan, sistem, ikhtiar sudah dilakukan tinggal sama-sama kita awasi. Jadi perasaan biasa saja," tandasnya. (uzu)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.