Uskup Anton Pain Ratu Wafat

Mgr. Anton Pain Ratu: Hei Kau Wartawan Tulis yang Benar, Jangan Seperti Orang Farisi

Lelaki kelahiran Tanah Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, 2 Januari 1929 ini memang selalu bicara tegak lurus, menyasar pada masalah.

|
Penulis: Paul Burin | Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Uskup Emeritus Mgr. Anton Pain Ratu, SVD. 

Oleh editor senior Pos Kupang, Paul Burin

POS-KUPANG.COM - Saya menempati sebuah kursi paling belakang saat Uskup Anton Pain Ratu, SVD, memberi retret bagi kaum awam di Gereja Santa Theresia, Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU).

Waktunya terlampau lama, tahun 1995 atau sekitar setahun saya bertugas di kabupaten itu.

Meski hari sungguh terik, umat mengikuti retret dengan khusuk. Mereka menyimak setiap kata Mgr. Pain Ratu yang sungguh dalam, aksentuatif, berkarakter dan menembus setiap hati umat yang hadir.

Baca juga: Uskup Mgr Dominikus Saku Mengenang Masa Hidup Uskup Emeritus Mgr Anton Pain Ratu

Beranjak dari tempat duduk pun hitung-hitung karena "keynote speaker" hari itu adalah Mgr. Anton Pain Ratu, tokoh yang sungguh disegani, pemimpin besar umat Katolik di Keuskupan Atambua.

Sekitar setengah jam berlalu. tak dinyana, Mgr. Pain Ratu menyeletuk dari atas mimbar.

"Hei kau wartawan, tulis yang benar. Jangan seperti orang Farisi. Orang bicara lain, kau tulis lain," katanya dengan suara khasnya yang sungguh bariton.

Ya, lelaki kelahiran Tanah Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, 2 Januari 1929 ini memang selalu bicara tegak lurus, menyasar pada jantung masalah. Jarang ia "taputar" atau berbelit-belit.

Saya kaget. Tersentak. Merasa apa begitu. Malu, ya sudah pasti. Dan, semua mata tertuju pada saya karena memang satu-satunya wartawan di ruangan itu cuma saya. Saya tetap tenang hingga beberapa saat kemudian pulang.

Bertemu atau bersua untuk sebuah wawancara dengan tokoh penting ini belum pernah saya lakukan. Dari mana beliau mengenal saya? Saya pernah melakukan kesalahan apa terhadap Yang Mulia ini?

Sejumlah pertanyaan muncul dalam pergumulan dan perasaan yang sungguh terganggu, perasaan yang galau saat itu. Saya sungguh percaya bahwa ada yang membisikkan kepada beliau tentang kehadian saya di tempat itu.

"Insiden" ini tak saya laporkan ke mabes Pos Kupang di Kota Kupang. Dalam beberapa kejadian Pemimpin Redaksi, Om Damyan Godho akan "membela" habis-habisan reporternya jika anak buahnya diperlakukan tak pantas.

Ada dua tiga pengalaman saya. Seperti Ketua DPRD TTU, Pak Gabriel Lim yang pernah meminta kepada Bupati Anton Amaunut agar saya "dipulangkan" ke Kupang karena tulisan-tulisan saya yang sungguh mengganggu pemerintahan saat itu.

Atau Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Willem Nope yang atas tulisan saya meminta para pejabat dan masyarakat jangan memercayai berita Pos Kupang.

Om Damy yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT saat itu spontan menyurati pemerintahan setempat disertai dengan tulisan di Pos Kupang (editorial) sebagai bentuk edukasi kepada mereka. Terus terang, saat itu,. masih banyak pejabat yang belum familiar dengan media.

Banyak pejabat berpikir media atau wartawan boleh-boleh diatur termasuk memulangkan ke redaksi.

Kejadian lain, Bupati Willem Nope melalui gubernur diminta segera ke Kupang untuk menjelaskan statementnya itu. Dan, Pak Willem akhirnya ke Kupang untuk memberi penjelasan di hadapan semua media.

Akan tetapi, tentang Uskup Pain Ratu yang mengatai saya sebagai "Orang Farisi," saya sungguh percaya bahwa Om Damy tak akan dan tak mungkin memrotesnya apalagi sampai menyurati atau membuat tulisan di media Pos Kupang.

Saya percaya bahwa Om Damy juga menganut, " Roma locuta causa finita, kalau Roma sudah bicara, urusan selesai. Apa kata Uskup Pain Ratu tak akan dibantah." Ini asumsi saya. Bisa jadi saya keliru dan atau melanggar etika karena tak melaporkannya pada yang memberi penugasan.

Tentang Suksesi Kepemimpinan

Saat suksesi kepemimpinan di TTU, saya berinisiatif untuk mewawancarai Mgr.
Pain Ratu di Atambua, tentang sikap politik Gereja Katolik atas sejumlah figur kandidat bupati.

Saat itu beliau ada, namun mendelegasikan kepada Vikjen Keuskupan, namanya saya lupa - untuk memberi penjelasan.

Jawaban Vikjen sungguh normatif bahwa gereja tak mencampuri urusan politik pemerintahan.

Gereja tetap pada relnya. Ada satu dua pertanyaan saya menyoroti figur tertentu yang atas berbagai informasi berseberangan dengan gereja. Kira-kira, apa sikap Gereja?

Saya yang membawa notes mencatatnya dengan baik. Kemudian, tayangkan di koran. Bapak Uskup Mgr. Anton Pain Ratu menilai, saya salah mengutip. Saya dinilai membuat informasi yang kurang akurat.

Kalau sekarang bisa terkategori sebagai berita yang hoax. Itulah yang memicu hingga ia "mengatai" saya saat retret itu.

Ya, bisa jadi saya keliru mengutip. Bisa juga saat proses editing di redaksi. Tapi saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Kalau saya keliru, saya terima. Toh saat itu saya masih belajar menulis.

Peristiwa itu selalu muncul dalam ingatan saya ketika apa pun hal yang bertalian dengan Mgr. Anton Pain Ratu, sang Gembala Bertopi Merah ini. Sebuah pengalaman yang mendewasakan.

Pengalaman yang pahit, tapi saya sungguh berterima kasih atas "teguran" itu. Teguran untuk selalu berhati-hati dalam tugas terutama dalam konteks kutip-mengutip pernyataan narasumber.

Punya Kesamaan

Dalam sebuah tanggapan atas tulisan Bapak Anton Bele di media sosial, saya pernah mengatakan bahwa Mgr. Gabriel Manek, SVD, asal Lahurus, Belu, itu sungguh disayangi, sungguh dicintai dan sungguh menyatu dengan umat di Keuskupan Larantuka dan umat di Keuskupan Agung Ende. Ya, karena ia pernah menjadi uskup di dua tempat ini.

Jika demikian maka Mgr. Pain Ratu disayangi dan dicintai juga oleh umat Keuskupan Atambua atas karya-karyanya yang luar biasa.

Jika Mgr. Gabriel Manek mendirikan Tarekat Putri Renya Rosari ( PRR), Mgr. Pain Ratu mendirikan Tarekat Putri Maranatha ( TPM) tahun 2005.

Hal menonjol lainnya dari megakarya Mgr. Pain Ratu, adalah pemberdayaan ekonomi umat dengan mendirikan Credit Union (CU) Kasih Sejahtera yang kini sungguh dirasakan oleh umat di tiga kabupaten yaitu Belu, TTU dan Kabupaten Malaka.

Anggota Dewan Jenderal SVD di Roma periode 1979-1982 itu juga mengusai bahasa Dawan dan Tetum secara aktif dan mendalam.

Ia menguasai gramatika dua bahasa itu. Dalam pesan kegembalaannya terlampau sering ia menggunakan bahasa lokal ini. Pilihan kata-katanya (diksi) pas dan tepat sesuai situasi yang sedang berlangsung.

"Mgr. Pain Ratu sungguh berkelas dalam menggunakan dua bahasa itu," seorang tokoh umat mengatakan ini pada suatu saat.

Berapa bahasa yang ia kuasai? Yang jelas Mgr. Pain Ratu mengusai bahasa Lamaholot, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Latin, bahasa Jerman, bahasa Tetum, bahasa Dawan. Mungkin juga beberapa bahasa asing lainnya.

Bapa uskup emeritus yang terkasih, selamat jalan menuju keabadian di Surga. Doa kami untukmu selalu. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved