Berita Lembata
Tradisi Badu Watodiri Masih Asli, Peneliti Lingkungan Dorong Pemdes Tetapkan Kawasan Lokal
Badu berarti sebuah model atau sistem penangkapan ikan di kawasan laut yang sudah ditutup dari aktivitas penangkapan dalam rentang waktu cukup lama.
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Eflin Rote
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Pemerintah Desa Watodiri di Kecamatan Ile Ape akan menggelar Festival Badu pada 28-31 September 2023.
Secara harafiah, Badu berarti sebuah model atau sistem penangkapan ikan di kawasan laut yang sudah ditutup dari aktivitas penangkapan dalam rentang waktu cukup lama.
Magister lingkungan, Piter Pulang, ST, M.Ling, mengapresiasi pemerintah desa yang berinisiatif menggelar Festival Badu dan mengangkat kembali narasi-narasi besar di dalamnya.
Baca juga: Kapolres Lembata Bagi Buku di Atadei dan Curhat dengan Warga
Piter melakukan penelitian tentang mangrove di Desa Watodiri untuk program magister studi lingkungannya.
Dia melihat kekhasan dari tradisi Badu di Watodiri yang berbeda dengan tradisi yang sama di desa lainnya.
Tradisi Badu di Watodiri masih asli dan masyarakat tetap menghidupinya sampai sekarang. Ini merupakan tanda kalau masyarakat berdaulat mengatur kawasan lautnya sendiri.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di desa lain di wilayah Ile Ape dan Lebatukan yang membutuhkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk merevitalisasi tradisi serupa (Muro).
Baca juga: Upaya Pemda Lembata Tingkatkan Kualitas Keluarga dan Masyarakat
“Tradisi Badu di Watodiri itu murni kesadaran masyarakatnya untuk melestarikannya tanpa perlu ada agen eksternal seperti LSM yang merevitalisasinya,” kata Piter yang dihubungi POS-KUPANG.COM, Senin 25 September 2023.
Salah satu nilai dari tradisi Badu di Watodiri yakni manfaatnya untuk ketahanan pangan atau ketersediaan pangan (food security) bagi masyarakat, khususnya ditujukan untuk para janda, duda, orang miskin dan yatim piatu.
Menurut Piter, nilai ini sedikit berbeda dengan tradisi pembagian daging ikan paus (knato) kepada para janda, orang miskin dan yatim piatu di kampung Lamalera yang penekanannya lebih kepada keadilan sosial (social justice).
Baca juga: Fakta Baru ASN di Lembata Negatif Narkoba, Dirayu Hp Iphone Demi Baju Kaos Isi Sabu
Ada dua jenis konservasi yakni konservasi tapak dan konservasi spesies. Nah, di desa lain di Ile Ape dan Lebatukan, hanya ada kawasan konservasi tapak (Muro). Menariknya, di Watodiri sebenarnya berlaku dua jenis konservasi sekaligus. Di samping konservasi tapak (kawasan Badu), ada juga konservasi spesies karena di sana hidup jenis Siput (Kerang) Kima.
Piter juga membedakan istilah Badu dan Muro, yang maknanya mirip tapi tak serupa. Dalam bahasa Lamaholot di Ile Ape, Muro itu merujuk pada pada penutupan suatu kawasan dengan hukum-hukum adat di darat maupun di laut. Sementara, Badu lebih berarti sebuah ‘tanda’ atau batasan suatu kawasan sehingga orang tidak boleh masuk.
Perlu Legalitas Negara
Dalam konteks yang lebih luas, kawasan laut yang masuk dalam tradisi Badu perlu diakui negara. Kawasan itu perlu didaftarkan di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT menjadi kawasan konservasi perairan daerah (KKPD). Karena di Lembata tak ada peraturan daerah (perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, maka perlu ada legalitas atau pengakuan negara terhadap kawasan itu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.