Opini
Opini Reinard L Meo: Peristiwa Abu Dhabi dan Dialog dari Hati ke Hati
Peristiwa penting dalam daftar panjang keakraban relasi Islam dan Katolik kembali diinisiasi Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
POS-KUPANG.COM - Momen bersejarah yang menambah satu lagi peristiwa penting dalam daftar panjang keakraban relasi Islam dan Katolik kembali diinisiasi Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik saat ini.
Momen bersejarah tersebut, sebagaimana terlampir dalam The Holy See, media resmi Vatikan, terjadi pada tanggal 3, 4, dan 5 Februari 2019.
Dalam Apostolic Journey of His Holiness Pope Francis to The United Arab Emirates tersebut, Paus Fransiskus terbang dari Roma dan tiba di Abu Dhabi Presidential Airport pada 3 Februari.
Pada 4 Februari, Paus Fransiskus melakukan kunjungan resmi ke Istana Kepresiden Uni Emirat Arab (UEA) dan bertemu Putra Mahkota Mohamad bin Zayed Al-Nahyan, mengadakan pertemuan pribadi dengan anggota Dewan Sesepuh Muslim the Grand Mosque of Sheik Zayed, dilanjutkan dengan pertemuan antaragama di The Founder’s Memorial.
Hari terakhir, 5 Februari, Paus Fransiskus melakukan kunjungan pribadi ke Katedral setempat, merayakan Misa Kudus di The Zayed Sports City, dilepaspisahkan secara resmi di Abu Dhabi Presidential Airport, lalu kembali ke Roma.
Baca juga: Opini Sarlianus Poma: KTT ASEAN Epicentrum of Growth, The Opportunity for Indonesian Economic Growth
Kunjungan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab (UEA) ini menjadi sangat monumental ditandai dengan ditandatangani The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together oleh Paus Fransiskus sendiri dan Syaikh Ahmad Al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar, pada hari kedua.
Secara garis besar, dokumen penting ini dimaksudkan untuk perdamaian dunia dan hidup bersama.
Dokumen Abu Dhabi
The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together atau yang dikenal juga dengan Dokumen Abu Dhabi, hemat saya, sangatlah penting.
Pastor Markus Solo Kewuta, SVD (2020:7-8), Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (Pontifical Council for Interreligius Dialogue – PCID), menjelaskan 2 (dua) alasan mendasar mengapa Dokumen Abu Dhabi ini sangat penting.
Pertama, kandungan dokumen yang terbilang revolusioner karena kelugasan bahasa yang langsung mendobrak pemikiran-pemikiran seputar relasi lintas agama dengan berbagai tantangannya yang selama ini masih sering dibungkus dengan teori-teori diplomatis.
Kedua, karena dokumen ini justru ditandatangani oleh Paus Fransiskus, petinggi agama Katolik sedunia, dan Dr. Ahmad Al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar.
Posisi dan peran keduanya menjadikan isi dan pesan dokumen itu, sekali lagi, lebih penting dan mendunia.
Baca juga: Opini Yohanes Krisostomus Dari: Tuan Rumah ASEAN Summit ke-42 dan Harapan Bagi NTT yang Tertinggal
Dengan pengandaian bahwa kita semua sudah membaca dan memahami isinya sambil mengajak kita semua yang belum untuk segera membaca dan memahami isinya, Dokumen Abu Dhabi secara sistematis dibagi dalam 6 (enam) sub-bagian.
Khusus sub-bagian keempat, ada 12 (dua belas) pokok yang dijunjung tinggi, antara lain:
Pertama, keyakinan teguh pada ajaran autentik agama-agama,
Kedua, kebebasan adalah hak setiap orang,
Ketiga, keadilan berdasarkan belas kasihan,
Keempat, dialog, pengertian, penyebaran budaya toleransi, penerimaan orang lain, dan hidup bersama secara damai,
Kelima, dialog di antara orang-orang beriman,
Keenam, perlindungan tempat-tempat ibadah,
Ketujuh, terorisme adalah menyedihkan dan mengancam keamanan manusia,
Kedelapan, konsep kewarganegaraan didasarkan pada keseteraan hak dan kewajiban,
Kesembilan, hubungan baik antara Timur dan Barat, memperkuat rangkaian hak-hak asasi manusia, dan menghindari politik standar ganda,
Kesepuluh, mengakui hak perempuan atas pendidikan, pekerjaan, dan kebebasannya untuk menggunakan hak politiknya sendiri,
Baca juga: Opini Petrus Kanisius Siga Tage: ASEAN Summit dan Isu Migran di Wilayah Timur Indonesia
Kesebelas tugas keluarga dan masyarakat untuk melindungi hak-hak dasar anak,
Keduabelas, perlindungan hak-hak kaum lanjut usia (lansia), mereka yang lemah, cacat, dan tertindas.
Dialog dari Hati ke Hati
Kalau kita membaca dengan saksama dan cermat seluruh isi Dokumen Abu Dhabi, kesan kuat yang langsung muncul tentu saja ialah bahwa tanpa dialog, dokumen ini tidak akan lahir. Dan hemat saya, persis dialog tersebut bercorak ganda.
Pertama, dialog pada tataran akal budi. Dialog pada tataran ini, oleh Hans Küng (1928-2021), etikus dan teolog Katolik, disebut sebagai “dialog kritis”. Sebuah konsensus dihasilkan dari sebuah dialog yang memberi dan menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan.
Dengan ini, dialog yang ditawarkan Küng mestilah sebuah dialog yang kritis, mana kala semua agama ditantang untuk tidak hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi menyampaikan pesan terdalam mereka dengan baik dan tepat.
Ringkasnya, dialog yang dibutuhkan ialah dialog dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa tidak satu pun agama memiliki kebenaran “yang telah tercipta”, tetapi semua menuju pada kebenaran “yang lebih mulia”.
Di sini, kemantapan pada pendirian dan keseriusan dalam menjalankan agama oleh setiap pemeluk, menjadi mutlak. Tanpa keduanya, tidak ada dialog, apalagi dialog yang kritis, yang masuk hingga ke fondasi agama-agama dengan segala konsekuensinya.
Dokumen Abu Dhabi merupakan konsensus yang dihasilkan dari dialog antara 2 (dua) pemimpin yang tentu saja sudah memenuhi syarat intelektual.
Baca juga: Opini Dr. Yonas KGD Gobang: Inovasi Merdeka Belajar dalam Menjembatani Kesenjangan Pendidikan
Sekali lagi, kalau kita membaca dengan saksama dan cermat seluruh isi Dokumen Abu Dhabi, kita akan menemukan hasil dari sebuah observasi, riset, dan pemaknaan yang serius yang dikerjakan dalam kurun waktu yang tidaklah singkat. Dokumen Abu Dhabi, bagi saya, dapat juga disebut sebagai sebuah konsensus ilmiah.
Kedua, dialog pada tataran hati. Setelah membaca dan memahami Dokumen Abu Dhabi, kita tentu saja akan tiba pada kesimpulan bahwa tanpa hati yang terbuka, tanpa keprihatinan mendalam, tanpa refleksi dan doa, dokumen ini tidak akan menemui titik berangkatnya.
Tanpa menjelaskan lebih detail pokok ini, saya tertarik untuk mengorelasikan Dokumen Abu Dhabi dengan Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia (ke-57), 21 Mei 2023 mendatang.
“Bicara dengan Hati” merupakan ajakan utama Paus Fransiskus yang referensinya diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus, “Berbicara dari hati menurut kebenaran dalam kasih” (4:15).
Sepintas, ajakan ini sangatlah normatif. Siapa saja dapat mengajak kita atau bahkan kita sendiri bisa mengajak orang lain untuk “bicara dengan hati”.
Namun, bagi saya, ajakan Paus Fransiskus ini sangat mendesak karena setidak-tidaknya berdasar pada 2 (dua) konteks.
Konteks pertama, perkembangan teknologi dan internet yang amat dahsyat dewasa ini, memosisikan kita sebagai manusia baru yang cenderung bicara dengan jari.
Ujaran kebencian, hoax, ataupun komunikasi ke segala arah tanpa tanggung jawab moral merupakan hasil dari intensitas bicara dengan jari yang nyaris tanpa kontrol.
Konteks kedua, “Peristiwa Abu Dhabi”. Saya tertarik untuk menarik korelasi antara “Peristiwa Abu Dhabi” dengan ajakan “Bicara dengan Hati”.
Kesediaan Paus Fransiskus untuk terbang ke Uni Emirat Arab (UEA) merupakan contoh nyata bagaimana bicara dengan hati.
Sebelum mengajak, Paus Fransiskus jauh di 2019 terlebih dahulu memberi contoh, sehingga “Bicara dengan Hati” tidak lagi ditanggapi sebagai ajakan normatif, melainkan ajakan yang datang dari praktik hidupnya.
Lebih dari itu, dari apa yang telah Yesus sendiri perbuat, dengan tujuan agar kita meneladani-Nya.
Selamat membaca (lagi) Dokumen Abu Dhabi, memaknai “Peristiwa Abu Dhabi”, dan merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun ini. (Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pertahanan RI)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.