Opini
Opini Reinard L Meo: Peristiwa Abu Dhabi dan Dialog dari Hati ke Hati
Peristiwa penting dalam daftar panjang keakraban relasi Islam dan Katolik kembali diinisiasi Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Pertama, keyakinan teguh pada ajaran autentik agama-agama,
Kedua, kebebasan adalah hak setiap orang,
Ketiga, keadilan berdasarkan belas kasihan,
Keempat, dialog, pengertian, penyebaran budaya toleransi, penerimaan orang lain, dan hidup bersama secara damai,
Kelima, dialog di antara orang-orang beriman,
Keenam, perlindungan tempat-tempat ibadah,
Ketujuh, terorisme adalah menyedihkan dan mengancam keamanan manusia,
Kedelapan, konsep kewarganegaraan didasarkan pada keseteraan hak dan kewajiban,
Kesembilan, hubungan baik antara Timur dan Barat, memperkuat rangkaian hak-hak asasi manusia, dan menghindari politik standar ganda,
Kesepuluh, mengakui hak perempuan atas pendidikan, pekerjaan, dan kebebasannya untuk menggunakan hak politiknya sendiri,
Baca juga: Opini Petrus Kanisius Siga Tage: ASEAN Summit dan Isu Migran di Wilayah Timur Indonesia
Kesebelas tugas keluarga dan masyarakat untuk melindungi hak-hak dasar anak,
Keduabelas, perlindungan hak-hak kaum lanjut usia (lansia), mereka yang lemah, cacat, dan tertindas.
Dialog dari Hati ke Hati
Kalau kita membaca dengan saksama dan cermat seluruh isi Dokumen Abu Dhabi, kesan kuat yang langsung muncul tentu saja ialah bahwa tanpa dialog, dokumen ini tidak akan lahir. Dan hemat saya, persis dialog tersebut bercorak ganda.
Pertama, dialog pada tataran akal budi. Dialog pada tataran ini, oleh Hans Küng (1928-2021), etikus dan teolog Katolik, disebut sebagai “dialog kritis”. Sebuah konsensus dihasilkan dari sebuah dialog yang memberi dan menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.