Berita Papua

Viktor Yeimo Ajukan Pleidoi di PN Jayapura, Kecam Rasisme Sistemik Jakata di Papua

Viktor Yeimo mengajukan pleidoi atau pembelaan diri terhadap tuduhan makar dalam sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, Provinsi Papua, Kamis

Editor: Agustinus Sape
Tangkapan layar Youtube Jubi TV
Viktor Yeimo sesaat setelah turun dari mobil tahanan yang mengantarnya ke PN Kelas 1A Jayapura Provinsi Papua, Kamis 4 Mei 2023. 

POS-KUPANG.COM - Viktor Yeimo mengajukan pleidoi atau pembelaan diri terhadap tuduhan makar dalam sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, Provinsi Papua, Kamis 4 Mei 2023.

Dalam pleidoinya, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB itu mengecam "rasisme sistemik" oleh pihak berwenang Indonesia di wilayah Papua.

Dia mengklaim bahwa tuduhan makar terhadapnya diskriminatif dan bernada politik.

Viktor Yeimo membacakan pleidoi atau pembelaan diri atas tuduhan makar dalam sidang di PN Kelas 1A Jayapura, Kamis 4 Mei 2023.
Viktor Yeimo membacakan pleidoi atau pembelaan diri atas tuduhan makar dalam sidang di PN Kelas 1A Jayapura, Kamis 4 Mei 2023. (Tangkapan layar YOUTUBE Jubi TV)

Yeimo juga berargumen bahwa persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jayapura gagal memberikan bukti adanya kesalahan atau pelanggaran hukum apalagi pengkhianatan di pihaknya.

Tuduhan makar terhadap Yeimo terkait dengan dugaan keterlibatannya dalam aksi unjuk rasa antirasisme di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019.

Protes ini dilakukan untuk mengutuk pernyataan menghina yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Kamasan III di Surabaya pada 16 Agustus 2019.

Pada 12 Agustus 2021, Pengadilan Negeri Jayapura mendaftarkan kasus dugaan makar dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap. Persidangan dipimpin hakim ketua Mathius dan hakim anggota Andi Asmuruf dan Linn Carol Hamadi.

Saksi membuktikan tidak bersalah

Saat membacakan keterangan pembelaannya, Yeimo mengatakan bahwa semua saksi yang dihadirkan jaksa sebenarnya telah membuktikan bahwa dirinya tidak merencanakan atau mengkoordinir aksi unjuk rasa rasisme Papua yang terjadi di Kota Jayapura.

“Pada aksi 19 Agustus 2019, saya ikut serta sebagai peserta aksi anti rasisme, dan ikut mengamankan aksi damai atas permintaan mahasiswa hingga selesai,” kata Yeimo.

Dalam persidangan, Yeimo berdalih bahwa saksi yang dihadirkan jaksa justru menguatkan dirinya tidak bersalah. Kesaksian mereka menunjukkan bahwa dia tidak mengatur protes tersebut.

Yeimo menyatakan bahwa dia hanya berpartisipasi dalam protes sebagai pendukung perjuangan dan telah membantu memastikan perilaku damai mereka.

“Saat aksi unjuk rasa 19 Agustus 2019, saya hanya berperan sebagai peserta dan membantu menjaga aksi damai sampai selesai,” kata Yeimo dalam pembelaannya.

Yeimo menyoroti kesaksian Feri Kombo, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih 2019, yang menegaskan bahwa Yeimo tidak terlibat dalam perencanaan atau koordinasi aksi unjuk rasa antirasisme.

Kombo dipanggil sebagai saksi pada 7 Februari 2023, dan bersaksi bahwa Yeimo hanya memberikan pidato pada acara tersebut ketika diminta oleh pengunjuk rasa, dan pidato tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketertiban di antara mereka.

Pidato disampaikan

“Saya menyampaikan orasi mengungkapkan kekecewaan saya terhadap tindakan rasisme di Surabaya. Aspirasi ini dilindungi undang-undang negara sebagai hak konstitusional,” kata Yeimo.

“Sebagaimana dikemukakan oleh saksi ahli tata usaha negara dan saksi ahli filsafat, hak ini memiliki landasan ilmiah.”

Selain itu, Yeimo menegaskan tidak pernah terlibat, apalagi merencanakan, dalam aksi unjuk rasa yang terjadi pada 29 Agustus 2019 itu, yang dibenarkan oleh seluruh saksi yang dihadirkan di persidangan.

Yeimo mengaku pernah mengambil foto dan video di depan kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Kantor Gubernur, namun tidak ikut dalam aksi tersebut.

Yeimo mengklarifikasi bahwa dia mengambil foto dan video untuk dibagikan kepada wartawan dan masyarakat di luar Papua karena jaringan internet diputus oleh pemerintah pusat saat itu.

Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo telah divonis bersalah melakukan perbuatan melawan hukum oleh hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara terkait pemadaman internet.

Respons terhadap rasisme

Yeimo mengatakan, aksi unjuk rasa antirasisme merupakan aksi spontanitas yang dilakukan baik oleh masyarakat Papua maupun non-Papua sebagai respons atas hinaan rasial yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya.

“Protes antirasisme 2019 yang merebak di seluruh Papua merupakan respons spontan dari simpatisan Papua dan non-Papua dari berbagai latar belakang antara lain pekerja swasta, mahasiswa, petani, TNI dan Polri, dan lain-lain.

“Semua orang bereaksi terhadap pernyataan rasis di Surabaya. Demonstrasi di Jayapura diorganisir oleh mahasiswa dan kelompok Cipayung, dan tidak ada perencanaan, persekongkolan, maupun makar seperti yang dituduhkan.

“Pidato saya untuk mewakili rakyat Papua yang merasa geram dengan hinaan rasis itu. Saya menyangkal semua tuduhan yang menghubungkan saya dengan latar belakang organisasi saya dan kegiatan lain yang tidak ada hubungannya langsung dengan fakta protes antirasisme,” kata Yeimo.

Yeimo mengatakan, dalam aksi unjuk rasa pada 19 Agustus 2019, ia berbicara tentang isu rasisme dan diskriminasi di Indonesia. Ditegaskannya, persoalan-persoalan tersebut bukan semata-mata persoalan pribadi, melainkan persoalan sistematis yang dilanggengkan untuk kepentingan kekuatan ekonomi yang berkuasa.

“Pandangan rasis terbukti membuat orang Papua diperlakukan berbeda dalam segala aspek kehidupannya. Stigma negatif yang melekat pada orang Papua inilah yang menyebabkan ormas dan aparat negara menyerang Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.”

Dalam pernyataannya, argumen Yeimo berkisar pada isu diskriminasi rasial yang dihadapi orang Papua dan bagaimana hal itu dilihat sebagai kejadian normal yang ditoleransi oleh Negara.

Orang Papua melawan ketidakadilan

Dia menyoroti bahwa ketika orang Papua menentang ketidakadilan ini, mereka bertemu dengan tuduhan provokasi dan dituduh makar.

“Persidangan kasus ini membuktikannya. Rasisme benar-benar ada dalam semua tuduhan ini. Bisakah Negara menjelaskan mengapa ras Papua menjadi minoritas, hanya tersisa 2,9 juta orang, sedangkan di Papua Nugini sudah ada 17 juta orang Papua?” tanya Yeimo.

Dalam pleidoi-nya, Yeimo tidak hanya membela diri dari tuduhan makar, tapi juga mengkritik minimnya pembangunan Indonesia di Papua.

Dia mempertanyakan mengapa angka kemiskinan di Papua tetap tertinggi di antara semua provinsi di Indonesia dan mengapa Indeks Pembangunan Manusia di wilayah itu selalu terendah.

Yeimo mencontohkan perbedaan pendekatan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Aceh dan di Papua.

Beda dengan Aceh

Sementara konflik Aceh diselesaikan melalui pembicaraan damai, aspirasi kemerdekaan Papua dihadapi dengan kekerasan dan pemenjaraan.

Yeimo mempertanyakan mengapa pemerintah memperlakukan kedua daerah itu berbeda.

Yeimo mengatakan bahwa meskipun Indonesia telah memberlakukan beberapa undang-undang untuk mengatasi masalah diskriminasi, kebebasan berekspresi, dan otonomi khusus untuk Papua, undang-undang tersebut tampaknya tidak ditegakkan di Papua, dan penerapannya tidak menguntungkan orang asli Papua.

“Bukankah itu kejahatan terstruktur terhadap kami orang Papua? Bisakah pemerintah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Atau apakah jawabannya harus datang dari moncong senjata?” tanya Yeimo.

“Mengapa pemerintah menghindari solusi yang direkomendasikan oleh lembaga negara seperti LIPI, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan pihak lain yang menyajikan kajian-kajian tentang masalah Papua?”

Kompetensi saksi bahasa dalam persidangan Yeimo dipertanyakan

Dalam sidang tersebut, tim hukum Viktor Yeimo yang diwakili Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua menyampaikan pembelaan yang dibacakan advokat Emanuel Gobay.

Gobay berpendapat, kesimpulan JPU bahwa Yeimo telah melakukan makar hanya berdasarkan keterangan saksi ahli bahasa yang tidak memiliki keahlian yang diperlukan untuk membuktikan unsur tindak pidana makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang didakwakan pada Yeimo.

“Padahal, selama persidangan, JPU tidak pernah menghadirkan saksi ahli pidana. Sebaliknya, jaksa mengandalkan ahli bahasa dan kemudian menyimpulkan bahwa Viktor Yeimo bersalah melakukan makar,” kata Gobay.

Menurut Gobay, tim hukum Yeimo telah menghadirkan beberapa saksi ahli yang menjelaskan komponen makar, yang meliputi unsur kesengajaan, pemisahan wilayah, dan partisipasi.

“Semua unsur yang disebutkan dalam Pasal 106 tidak terbukti berdasarkan keterangan saksi baik dari jaksa penuntut maupun saksi ahli yang kami hadirkan,” kata Gobay.

Gobay berharap majelis hakim meninjau semua fakta yang dihadirkan dalam persidangan Yeimo.

Ia meminta majelis hakim mengkaji kembali data yang disampaikan pakar filsafat hukum Tristam Pascal Moeliono, pakar HAM Herlambang P Wiratraman, pakar penyelesaian konflik Papua Cahyo Pamungkas, dan pakar hukum pidana Amira Paripurna.

Akhirnya, Gobay mengajukan permohonan kepada hakim untuk membebaskan Viktor Yeimo, dengan menyatakan tidak ada bukti atas dugaan pelanggaran tersebut.

Dia meminta pemulihan reputasi Yeimo dan Negara menanggung biaya persidangan.

(asiapacificreport.nz)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved