Opini

Opini Frans X Skera: Catatan Kritis Batalnya Piala Dunia U-20

Jokowi mengajak menatap masa depan dan melupakan kekecewaan serta kemarahan akibat batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
Frans Skera saat diwawancarai di kediamannya Kelurahan Kelapa Lima Kota Kupang, Senin 10 Januari 2022. Terbaru, VFrans Skera menulis opini tentang Catatan Kritis Batalnya Piala Dunia U-20 

POS-KUPANG.COM - Kita sepakat mendukung Presiden Joko Widodo yang mengajak bangsa ini untuk menatap masa depan dan melupakan kekecewaan serta kemarahan akibat batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Kita memang harus move on, tetapi noda noda hitam yang melumuri gagalnya Indonesia sebagai tuan rumah adalah sejarah kelam sepak bola kita, yang tak boleh dilupakan.

Belajar dari sejarah adalah satu keniscayaan agar di masa yang akan datang kita tidak terantuk lagi pada batu yang sama. Sehubungan dengan itu perlu dicermati beberapa catatan penting sebagai modal menghadapi masa depan.

Catatan pertama bermula dari alasan FIFA membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah. FIFA mengatakan ”karena situasi saat ini (due to the current situation), sebagai alasan keputusannya dan situasi saat ini yang viral dan nyata adalah penolakan Gubernur Bali untuk melakukan undian pila dunia dan menolak kehadiran timnas Israel di Bali.

Disusul kemudian dengan pernyataan tegas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga menolak kehadiran timnas Israel di Jawa Tengah.

Baca juga: Piala Dunia U20, Presiden FIFA dan Erick Thohir Bahas Masa Depan Sepak bola Indonesia di Paris

Keduanya beralasan melaksanakan kebijakan PDIP yang mengamankan ucapan Bung Karno tahun 1962 yang berbunyi “selama kemerdekaan Palestina belum diserahkan kepada orang orang Palestina, maka selama itu Bangsa Indonesia menentang penjajajahan Israel”.

Hal inipun dikaitkan dengan mengamankan dan melaksanakan konstitusi kita. Sorotan kritis sehubungan dengan hal ini menyangkut status Gubernur sebagai “bawahan” Presiden, wakil Pemerintah Pusat di Daerah, dan loyalitas terhadap atasan serta ketaatan melaksanakan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Budiman Tanuredjo dalam catatan hukum dan politik,Kompas Sabtu 1-4-2023, mempertanyakan “apakah ada sosok yang lebih berkuasa dari pada Presiden?”. Jelas dan tegas Presiden Jokowi sudah menyatakan kesiapannya menyelenggarakan Piala Dunia U-20 dan menjamin keamanan.

Presiden menegaskan bahwa partisipasi Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Israel, karena dukungan kita kepada Palestina kokoh dan kuat.(ref. Kompas, Senin 3-4-2023).

Kalau Presiden sudah memutuskan, maka yang harus dilakukan oleh pembantu dan bawahannya adalah taat, setia dan siap melaksanakan.

Jadi ditinjau dari segi etika berpemerintahan, Gubernur Bali dan Jateng dinilai membangkang, tidak taat dan tidak setia pada atasannya.

Baca juga: Hubungan Jokowi PDIP Renggang Gara-gara Piala Dunia U-20 Batal

Mereka mengeluarkan pendapat yang dampaknya begitu destruktif tanpa konsultasi dan seizin Presiden. Keduanya bersikap dan bertindak seolah olah mereka adalah Presiden, sehingga benarlah sentilan Budiman Tanuredjo di atas.

Mestinya mereka ditegur keras oleh Presiden dan malu sebab lebih mementingkan Partai dai pada Negara dan Bangsa. Urusan penyeleggaraan piala dunia adalah tanggung jawab Presiden bukan bawahan dan partai politik.

Selanjutnya dengan menolak timnas Israel yang berbuntut pada pembatalan piala dunia, kedua Gubernur tersebut juga bisa dituding melanggar pasal 67 huruf f Undang Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah karena tidak melaksanakan Program Strategis Nasional.

Gubernur Bali dan Jateng seharusnya berpegang teguh pada prinsip “kesetiaan pada partai berakhir, tatkala kesetiaan pada Negara dimulai” (loyalty to your party ends, when loyalty to your country begins).

Begitu dilantik menjadi Gubernur,harusnya setia dan taat pada tugas pokok dan fungsi, serta pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan.

Namun sayang, mengapa dalam urusan sepak bola dunia yang pasti membawa keuntungan, kebanggaan dan kegembiraan bagi bangsa dan Negara, kedua Gubernur ini justru tidak setia dan taat pada presiden?

Baca juga: PSSI Lobi FIFA Lagi, Indonesia Berpeluang Tuan Rumah Piala Dunia U-17

Teringat penulis pada istilah “Petugas Partai” yang dicetuskan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Memang I Wayan Koster dan Ganjar Pranowo adalah petugas PDIP, mereka bisa menjadi Gubernur karena “kata putus/persetujuan “ ketum PDIP, sebab itu wajib hukumnya setia dan taat padanya.

Kekuasaan,kehormatan, kenikmatan dan kemasyuran yang diperoleh karena jabatan Gubernur,harus dibayar dengan kesetiaan pada ketum partai,meski pada saat yang sama harus mengorbankan Presiden.

Bagi Ganjar Pranowo kesetiaan dan ketaatan pada perintah partai untuk mengamankan ajaran Bung Karno dengan menolak timnas Israel,adalah “peluang emas” yang harus diambil.

Dengan lantang membela Bung Karno, siapa tahu putrinya pemilik PDIP ,bisa luluh,tergerak hatinya dan segera mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai capres PDIP 2024.

Ini harapan ideal, namun kalau nanti popularitas Ganjar merosot gara-gara anak-anak muda dan pecinta sepak bola marah/kecewa dan meninggalkan Ganjar dan PDIP, itulah risiko loyalitas ganda.

Presiden Jokowi, di mata ketua PDIP juga adalah petugas partai, maka kalau partai mengambil kebijakan,tentu diharapkan agar Presiden taat dan mengikuti garis partai.

Baca juga: Shin Tae Yong Sering Melamun, Pemain Timnas Kesal, Imbas Batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia

Di titik inilah rakyat dan bangsa harusnya geram dan marah karena Presiden adalah Kepala Negara dan Pemerintahan yang harus dihormati dan justru PDIP sebagai partai pengusung harus berdiri paling depan menghormati dan taat pada keputusan yang telah diambil, bukannya membangkang dan bersebrangan.

Saat membela Palestina rujukannya adalah konstitusi, tetapi tatkala membangkang dan bersebrangan dengan Presiden malah lupa pasal 4 dan penjelasan umum romawi empat uud 1945.

Sehubungan dengan penolakan timnas Israel oleh PDIP, sementara elitnya berkilah bahwa hal itu murni karena konstitusi dan pengamanan ajaran Bung Karno, bukan karena motif politik demi meraih dukungan umat Islam dalam pemilu/pilpres 2024.

Bagi mereka yang sadar politik,hal ini sulit dipercaya karena ketidak-konsistenan PDIP. Sudah pernah ada atlet panjat tebing,dan balap sepeda Israel yang bertanding di Indonesia, mengapa PDIP diam seribu bahasa?

Hal yang paling mencolok tatkala pertemuan Inter Parliamentary Union di Bali yang dihadiri oleh parlemen Israel dengan benderanya berkibar dan dihadiri oleh Puan Maharani, Ketua DPP PDIP, mengapa tidak lantang menolak kehadiran parlemen Israel dan meninggalkan rapat sebab haram hukumnya bertemu dan berbicara dengan orang Israel.

Begitu juga kemana perginya I Wayan Koster,Gubernur Bali sehingga tidak menggerakkan masa untuk menolak kehadiran Parlemen Israel? PDIP dan kedua petugas patrainya telah menabur angin, semoga bukan badai yang dituai nanti.

Catatan kedua menyangkut takaran kerugian ekonomi akibat batalnya Piala Dunia U-20. Sudah tiga tahun Pemerintah dan PSSI melakukan persiapan, sebut saja PSSI telah mengeluarkan begitu banyak biaya untuk membayar pelatih mahal, pemusatan latihan dan uji tanding di Spanyol,Turki, dan Korea serta di dalam negeri dan perbaikan stadion serta fasilitas pertandingan.

Baca juga: Jelang Piala Dunia U20, Presiden Jokowi : Timnas U20 Tidak Terus Larut Dalam Kekecewaan

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas pengeluaran dana begitu besar yang sia-sia karena batalnya piala dunia? Tidakah hal ini dipikirkan?

Selanjutnya, andaikata piala dunia dilaksanakan,Indonesia pasti meraup banyak keuntungan.Tetapi dengan batalnya penyelenggaraan, siapa yang harus bertanggung jawab atas “hilangnya kesempatan (opportunity loss)” di bidang pariwisata, transportasi dan UMKM.

Hotel ,rumah makan, toko souvenir, pengusaha angkutan udara,laut dan darat, mestinya meraup untung besar dengan hadirnya para turis terutama di enam kota penyelenggara, harus hilang begitu saja, karena mencampur adukan politik dan olahraga.

Siapa pula yang mesti bertanggung jawab kalau sudah ada pengusaha dan UMKM yang telah berinvestasi banyak karena melihat peluang meraih keuntungan saat piala dunia berlangsung?

Banyak pelaku ekonomi tersebut adalah “orang orang kecil”.apakah PDIP partai Wong Cilik sudah meikirkan hal-hal tersebut di atas sebelum berpolitik membela Palestina,tetapi menghancurkan anak bangsa sendiri?.

Catatan ketiga, menyangkut reputasi Indonesia dan kesempatan promosi. Dengan batalnya Piala Dunia U 20, nama baik Indonesia di mata dunia pasti tercoreng karena dituding tidak bisa memisahkan antara olahraga dan politik, serta menyia-nyiakan kepercayaan FIFA.

Banyak negara mendambakan ditunjuk sebagai penyelenggara tetapi tidak berhasil. Kita yang mendapat kepercayaan malah disia-siakan karena semangat membela negara lain dan menghancurkan mimpi anak-anak muda sendiri.

Masih beruntung karena katanya FIFA hanya memberikan sanksi kartu kuning pada PSSI, bukan kartu merah, sehingga nasib para pemain, pelatih dan wasit, masih bisa tertolong.

Batalnya piala dunia juga menyebabkan hilangnya kesempatan untuk promosi di bidang pariwisata dan investasi yang bisa mendongkrak perekonomian Indonesia.

Catatan keempat menyangkut pengucilan Israel. Di era globalisasi, transparansi, dan kemajuan teknologi yang begitu pesat,masihkah relevan untuk terus memusuhi dan mengucilkan Israel?

Baca juga: Palestina Sesalkan Keputusan FIFA Mencabut Hak Indonesia Sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U20

Selama ini yang bisa dilakukan Indonesia adalah ”keberpihakan dan keprihatinan” pada Palestina padahal penyelesaian Palestina cukup kompleks karena melibatkan berbagai kekuatan besar dunia dengan kepentingannya masing-masing.

Karena itu supaya adil dan berimbang dalam memperoleh informasi memadai, tidak saja Palestina yang dibela, tetapi juga berupaya mendapatkan infomasi lengkap tentang keadaan Israel sesungguhnya.

Sudah saatnya komunikasi dengan Israel dibuka agar bisa mengetahui duduk perkara dan alasan mengapa Israel bersikap dan berindak demikian selama ini.

Selanjutnya supaya obyektif, pelajari sungguh-sungguh sejarah Israel dan Palestina sehingga dapat dipertanggungjawabkan ketika menyebut Israel sebagai penjajah dan merampas tanah Palestina.

Evaluasi obyektif kritis terhadap sikap mengucilkan Israel perlu dilakukan mengingat antara lain tiap tahun puluhan ribu warga Indonesia mengunjungi Israel dan Palestina tanpa ada masalah.

Selain itu mungkin saja selama ini kita menggunakan produk industri dan teknologi Israel yang dijual negara lain. Sudah saatnya mempertimbangkan untung ruginya terus mengucilkan Israel, padahal banyak negara Arab muslim sudah membuka hubungan diplomatik dengan Israel, yang terkenal ampuh di berbagai bidang

Akhirnya,kalau elit PDIP mulai sungguh-sungguh melakukan evaluasi objektif kritis terhadap pengucilan Israel ,dan serius mempelajari sejarah Israel dan Palestina sehingga tahu betul duduk perkaranya, lalu mensponsori upaya untuk menjalin komunikasi dengan Israel demi penyelesaian masalah Palestina, maka rakyat akan melihat PDIP sebagai partai pejuang berwawasan luas dan paham betul apa makna politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Semoga. (Penulis adalah Warga Kota Kupang)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved