Opini

Opini Paul Ama Tukan: Jeritan Bumi dan Pertobatan Ekologis

Perubahan iklim disebut telah mengakibatkan korban jiwa, merobohkan ketahanan pangan masyarakat dan merusakkan alam.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-HUMAS KBL
Foto Ilustrasi. Memperingati Hari Bumi pada 22 April 2022, Komunitas Bonsai Lembata (KBL) melakukan penghijauan di kawasan mata air Erewuju di Desa Lite Ulumado, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, dengan menanam 300 anakan pinang lokal. Sementara Paul Ama Tukan menulis opini: Jeritan Bumi dan Pertobatan Ekologis. 

Secara formil, ajakan mendasar LSAP menyasar antara lain pada instansi-instansi pemerintahan untuk membangun komitmen secara simultan dan programatik serta berkiblat pada pembangunan komitmen personal masyarakat luas tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Di bidang ekonomi, investasi-investasi dan aktivitas industri mesti berbasis pada AMDAL. Di bidang pengambilan kebijakan publik, Pemerintah mesti menghormati hak hidup masyarakat banyak dan mempertimbangkan kelestarian lingkungan yang sifatnya berkelanjutan.

Undang-Undang tentang Masyarakat Adat misalnya mengatur tentang wilayah-wilayah yang tidak boleh mendapat intervensi kebijakan pemerintah.

Hal ini tentu didasarkan pada komitmen menjaga kelestarian alam dan bentuk kepedulian humanistik yang diatur secara konstitusional. Negara mengatur secara tegas tentang kelestarian bumi dan eksistensi masyarakat adat.

Di NTT khususnya, polemik tentang klaim kepemilikan tanah Besipae belum juga berakhir. Silang sengkarut klaim secara prosedural tentang Besipae mesti membuat Pemerintah kembali berpikir secara lebih arif dan komprehensif, tidak saja dari sisi idealisme pembangunan progresif tetapi juga pertimbangan secara biosentris (berpijak pada kelangsungan hidup manusia dan alam).

Baca juga: Opini Deddy Febrianto Holo: Mendorong Keadilan Iklim di Indonesia

Ajakan LSAP di atas tepat juga dalam konteks mendengar jeritan kaum lemah dan miskin yakni masyarakat kebanyakan yang menjadi korban dari kisruh berkepanjangan ini.

LSAP mengajak semua kita untuk berpartisipasi dalam merawat bumi dan menciptakan situasi dunia yang damai dan berkeadilan lebih-lebih dalam pengaturan sistem birokrasi pemerintahan. Di sini, keberpihakan pada kehidupan adalah tugas mutlak semua kita.

Pertobatan Ekologis

Paus Fransiskus menulis, “manusia yang tidak menghargai lingkungan itu berdosa. Merusak lingkungan termasuk dalam kategori dosa yang dinamakan dengan dosa ekologis.

Untuk menghapus dosa tersebut diperlukan pertobatan ekologis”. Pertobatan merupakan sebuah sikap “beralih” yakni beralih menuju kebaikan.

Eksploitasi besar-besaran terhadap bumi, pembabatan hutan, kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan kelangsungan hidup masyarakat akat rumput serta aktivitas industri yang menimbulkan pencemaran adalah bentuk dosa ekologis manusia.

Laudato Si mengajak semua orang untuk beralih dari sikap tersebut, pertama-tama dengan menyadari dan mengevaluasi diri baik secara komunal-institusional maupun secara personal.

LSAP mengajak masyarakat global untuk menjalankan pertobatan ekologis dalam empat model keterlibatan (Bdk. Budi Kleden: 2022) yakni Doa dan Refleksi (secara personal maupun komunal untuk menumbuhkan kesadaran personal dan kolektif), Aksi (pembersihan lingkungan, penghijauan di wilayah rawan bencana dan mengindari pemakaian bahan-bahan abiotik sekali pakai), Edukasi (sosialisasi dan pengajaran dalam berbagai sektor tentang pentingnya merawat bumi), serta Advokasi (mengontrol dan mengevaluasi kebijakan publik yang mengabaikan kelestarian lingkungan hidup).

Baca juga: Opini Yahya Ado: Seandainya Saya Gubernur NTT

Partisipasi Kolektif dan Sinergis

Merawat bumi mesti membutuhkan partisipasi kolektif dan kerja sama sinergis. LSAP telah mendapat respons global di antaranya dari instansi akademik.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved