Opini

Opini Arnoldus Nggorong: Prapaskah - Sekolah Penderitaan

Setiap tahun pada hari Rabu Abu, umat katolik di seluruh dunia memasuki masa puasa. Masa ini ditandai dengan penerimaan abu yang dioleskan di dahi.

|
Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM/HO-ARNOLDUS NGGORONG
Arnoldus Nggorong menulis opini berjudul Prapaspah: Sekolah Penderitaan. 

Dengan mengendalikan diri, kita berjuang menahan diri terhadap segala bentuk godaan. Kita singkirkan rasa aman dan nyaman yang memberikan kesenangan.

Aspek kesenangan adalah sesuatu yang inheren di dalam diri manusia. Kesenangan berhubungan erat dengan sifat egois. Sebab kesenangan lebih terarah pada diri sendiri, hanya memikirkan diri sendiri.

Godaan yang paling umum dapat ditemukan dalam kisah yang ditulis penginjil Lukas 4:1-13 yaitu perihal makanan, takhta, popularitas.

Dalam pemaknaan yang sederhana, makanan berkaitan dengan perut (kebutuhan dasar) pun dalam arti tertentu harta, kekayaan.

Takhta berhubungan dengan kekuasaan. Popularitas berpautan dengan kesombongan (tinggi hati). Ketiga hal tersebut berakar dalam kesenangan.

Secara naluri, manusia selalu menginginkan kesenangan dan menolak penderitaan. Dirumuskan dalam bahasa Jozef Pieniazek,SVD, penderitaan adalah pengalaman yang secara paling mendalam melawan keinginan yang paling dasariah pada manusia: hidup dan hidup Bahagia.

Diformulasikan dalam bahasa yang sederhana, orang yang bahagia adalah orang yang bebas dari penderitaan.

Justru aspek penderitaan ini mendapat penekanannya dalam masa prapaskah. Sebab kita mesti mengekang diri sekuat mungkin terhadap aneka ragam kesenangan (godaan).

Dengan kata lain, menahan diri terhadap kesenangan adalah menderita. Dalam teologi Katolik, penderitaan adalah salib. Dengan demikian jalan derita adalah jalan salib.

Perspektif Baru

Penderitaan, dalam perspektif duniawi, dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Penderitaan adalah beban, hukuman. Bila ditelisik lebih jauh, refleksi Paul Budi Kleden dalam bukunya ‘Membongkar Derita’ mengusik eksistensi manusia.

Budi Kleden menulis, penderitaan melahirkan deretan pertanyaan yang menggoyahkan kemapanan. Penderitaan melemahkan semangat, membuat tidak berdaya.

Dirumuskan secara radikal, penderitaan menggugat ketenangan dan kemapanan hidup dan iman. Sebab di hadapan penderitaan, manusia menjadi sadar akan keterbatasannya. Manusia menyadari ketaksanggupannya untuk menemukan ungkapan yang pas atau gestikulasi yang tepat.

Manusia mengalami kebuntuan. Khazanah perbendaharaan ilmiah manusia menemukan ketakberdayaannya.

Kehadiran Yesus dalam sejarah dunia mengubah cara pandang lama tentang penderitaan. Dalam sudut pandang Yesus, penderitaan adalah rahmat. Sebab penderitaan dilihat sebagai cara Allah memurnikan suatu jiwa. Ibarat emas yang dibakar dalam tanur api untuk mengetahui autentisitasnya.

Baca juga: Renungan Harian Katolik Minggu 5 Maret 2023, Transfigurasi: Yesus Berubah Rupa di Puncak Gunung

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved