Opini

Opini: Merindukan Pos Kupang Sebagai Media Peyahih

Pos Kupang sudah berusia 30 tahun, dan mulai menapaki hari pertama tahun ke-XXXI. Pos Kupang telah membantu menyalurkan bakat menulis saya.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
JB Kleden. Opini: Merindukan Pos Kupang Sebagai Media Peyahih 

Selama 30 tahun Pos Kupang tidak hanya menyodorkan berita, namun lebih dari itu ia telah menjadi sarana pertukaran informasi semua pihak dalam masyarakat. Bersama media-media lain ia bahkan terlibat dalam arena pertarungan tentang informasi siapa yang boleh dan akan diberitakan dan dengan tujuan apa.

Baca juga: Opini : Makna Sopi Dalam Budaya NTT

Sejak awal kelahirannya Pos Kupang telah memperkaya perspektif yang berujung penciptaan budaya yang membentuk masyarakat NTT seperti saat ini. Maka jika ingin menelisik wajah NTT tiga dasawarsa terakhir, bacalah dokumentasi Pos Kupang.

***

KEBERADAAN sebuah media terkait erat dengan segala aktivitas masyarakatnya di ruang publik. Dengan demikian perubahan interaksi dan komunikasi warga melalui media sosial, telah membuat wajah media berubah drastis.

Kita tahu apa itu media dan apa itu sosial. Namun ketika teknologi informasi menjadikannya sebuah frase tunggal “media sosial” konstelasi pengertian pun berubah total.

Perkembangannya yang begitu cepat di masa pandemi Covid-19, membuat medsos menjadi semacam “virus corona baru” yang memorak-morandakan pemahaman kita mengenai media. Tidak diterbitkan seperti koran, tidak disiarkan seperti radio atau tv tetapi diposting dan didisplaykan di internet.

Tidak butuh redaktur, tidak butuh percetakan, tidak butuh loper. Satu orang bisa menjadi wartawan, redaktur dan penerbit. Itulah Medsos. Tidak ada kabar yang lebih cepat datangnya dari WA, Twitter, FB dan sekarang Tik-Tok.

Penetrasi Sosmed ini membuat berita yang dulunya diagung-agung kini tidak lebih dari a big talk on small things, guncang-gancing di WA menjadi small talks on big things, tempat nongkrong generasi alpha mendadak menjadi small talks on small things bagi generasi baby boomer yang ingin berdua-dua-an dengan kekasih melewati malam usai gerimis.

Apa yang dulu dicemaskan, kini bukan lagi ancaman tetapi mitra menuju perubahan. Media sosial, memaksa kita berpikir instant sebagai reaksi cepat atas rangsangan seketika.

Orang tidak berpikir dengan keseluruhan dirinya tetapi berpikir dengan jari ketika menulis berita di media sosial. Berita lahir lebih tergantung dari kecepatan jari ketimbang ketelatenan berpikir.

Baca juga: Opini: Wajah Transformasi Sosial Pasca Pandemi

Ada semacam kondisi memudarnya proses penyuntingan. Deep thinking dalam membaca berita dianggap membuang waktu karena yang jauh lebih dibutuhkan bukan menyelami soal, tetapi menjelajahi permukaan yang membangkitkan rangsangan sejauh mungkin, tanpa perlu membedakan mana gabah mana sekam, mana informasi mana gossip, mana berita mana hoaks.

Namun kita tidak bisa mengelak dari situasi ini. Lagi punya semua media tetap berhak hadir karena sama-sama dibutuhkan. Kita mempercayai mainstream media, namun pada saat yang sama kita juga menyukai rangsangan yang ditawarkan tik tok. Meski saling bersaing pada waktu bersamaan mereka juga saling mengisi. Lalu?

***

JOURNALISM isn’t dead, it’s reborn. Jalan terjal yang dilalui bisnis media cetak saat ini akan membawa mereka kepada sejumlah pilihan wajib: jurnalisme yang lebih berkualitas, relevan dan bermakna bagi kehidupan publik.

Saya berkeyakinan penuh dalam tapak-tapak maju menuju tahunnya yang ke-31 Pos Kupang menemukan value propostion baru dalam stylenya yang fresh dan new to the world sesuai kebutuhan generasi alpha.

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved