Opini

Opini: Mencari Tuhan di Qatar

Konsentrasi warga dunia pencinta sepak bola sedang menatap Qatar, sang tuan rumah. Sepak bola selalu melarutkan emosi bahkan afeksi.

Editor: Alfons Nedabang
DOK POS-KUPANG.COM
Isidorus Lilijawa. Opini: Mencari Tuhan di Qatar 

Di sini ungkapan iman terwujud: percaya kepada Allah Pencipta langit dan bumi, Allah yang menjadi sumber pengatur utama dinamika manusia dalam bermain sepak bola. Karena sepak bola berperan sebagai locus theologicus, maka kita yang terlibat di dalamnya walau hanya sebatas menonton juga mempunyai kewajiban menjadikan diri sendiri sebagai locus bagi Kerajaan Allah, tempat di mana buah-buah rohani lahir.

Baca juga: Opini : Makna Sopi Dalam Budaya NTT

Itu berarti, kita mesti tampil sebagai penonton yang tertib, penonton yang kritis, penonton yang bisa menyelami makna sepak bola secara mendalam.

Otokritik

Dalam sebuah pembicaraan pengisi waktu, seorang rekan memberikan komentarnya seputar gegap gempita jelang Piala Dunia 2022. Rekan ini berkata bahwa sepak bola hadir sebagai kritik terhadap agama.

Sepak bola mempersatukan semua orang dari berbagai latar belakang kebudayaan, agama, warna kulit, status sosial yang berbeda dan mereka menjadi rekan kerja, sahabat, sesama yang saling menghargai.

Pada titik lain, agama justru memilah-milah manusia ke dalam kategori keyakinan dan kepercayaan. Manusia terpecah-pecah dan saling mencurigai ketika agama hadir sebagai wajah yang ekstrim.

Pendapat rekanku ini memang benar. Sepak bola memang hadir sebagai pemersatu umat manusia. Sepak bola telah mengalami pergeseran kiblat, bukan semata sepak bola untuk sepak bola itu sendiri.

Sepak bola tidak lagi semata-mata hanya untuk meraih kemenangan walaupun orang mesti bermain sebaik mungkin supaya bisa menang. Sepak bola saat ini lebih mengutamakan nilai.

Sepak bola tanpa batas adalah misi Piala Dunia yang harus jadi misi kita juga dalam berbagai aspek kehidupan ini. Sepak bola adalah kritik untuk rendahnya solidaritas kita.

Baca juga: Opini : Beragama yang Baik dan Benar

Dengan label sepak bola, banyak dana dikumpulkan dan disumbangkan untuk kepentingan pemanusiaan manusia, untuk orang-orang yang tidak diperlakukan selayaknya sebagai manusia.

Para pemain sepak bola banyak membuat tindakan amal untuk kemanusiaan. Kritik untuk keyakinan kita yang berprinsip “esse est co-esse” (ada berarti berada untuk yang lain), tetapi tak jelas aplikasinya.

Di hari-hari Piala Dunia ini, setiap orang tentu akan berbicara tentang sepak bola, berdiskusi mengenai sepak bola, bahkan mempertaruhkan segalanya demi sepak bola.

Di hari-hari ini pula, kita akan secara langsung berusaha mengalami perjumpaan dengan yang ilahi dalam setiap pertandingan. Mampukah kita menyingkap tabir yang menghalangi revelasi ilahi dalam sepak bola?

Kita juga akan merayakan pesta solidaritas, pesta persatuan dan kebersamaan. Apakah kita juga bisa menumbuhkan nilai-nilai itu dalam keseharian: fair-play,kerja sama, toleransi, pengorbanan, kerendahan hati, kejujuran, disiplin, dll.

Dengan menonton Piala Dunia, kita sebenarnya sedang belajar tentang budi pekerti, belajar tentang nilai-nilai dan prioritas nilai.Melalui sepak bola kita belajar menenun kain habitus baru untuk menyelimuti dunia yang sedang dilanda kedinginan karena kurangnya solidaritas, minus religiositas dan hampanya sportivitas. (*)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved