Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Prof Zubairi Djoerban : Poligami Bukan Cegah HIV/AIDS (Bagian-2/Selesai)
Spesialis Penyakit Dalam Prof dr Zubairi Djoerban memandang cara berpoligami pada praktiknya tidak mudah.
Selain itu itu juga ibu hamil positif HIV dianjurkan meminum obat supaya tidak tertular ke anaknya, dan itu sudah dibuktikan di banyak negara. Jadi banyak anak yang lahir tetapi tidak tertular HIV dari ibunya.
Apakah betul orang yang dalam masa recovery HIV mudah terinfeksi cacar monyet dan Covid-19?
Nggak benar sama sekali. Jadi yang terbukti amat sangat jelas ternyata pasien HIV/AIDS itu ringan sekali gejalanya. Khusus untuk pasien HIV yang terkontrol baik virusnya hampir semuanya baik tidak mudah tertular.
Memang cacar monyet penularannya ada yang droplet, bersentuhan kulit namun kenyataan dilapangan berbeda 95 persen. Amat sangat sedikit.
Kebanyakan seperti di Afrika penularan cacar monyet justru terjadi akibat hubungan intim laki dengan laki. Untungnya angka kematiannya rendah 0,1 persen dibandingkan Covid-19.
Selama menangani pasien HIV Aids adakah yg spesial pengalamannya?
Ada bayi yang ditinggalkan oleh seorang ibu di sebuah bidan. Pada akhirnya bayi ini diangkat anak oleh keluarga dan dibawa ke Singapura.
Ternyata hasil pemeriksaannya bayi ini HIV/AIDS, anak ini pun tidak diterima menjadi warga negara Singapura. Bayi ini akhirnya dikirim kembali ke Indonesia. Tidak ada yang menerima bayi terlantar ini, kami dari Yayasan Pelita Ilmu dengan senang hati mengasuh bayi tersebut.
Karena penasaran apakah betul bayi ini mengidap HIV/AIDS, kami melakukan pengetesan, hasilnya ternyata negatif. Bayi ini tidak tertular virus sama sekali karena seorang ibu bisa menularkan antara virus atau antibodi ke badan anaknya. Kebetulan anak ini hanya ada antibodi tanpa virus.
Sampai sekarang anaknya sudah setingkat SMA dan sehat. Yayasan Pelita Ilmu kita bangun di Tebet yang memang organisasi nirlaba memfokuskan pendampingan bidang HIV/AIDS.
Masih banyak anggapan-anggapan orang yg tertular HIV/AIDS? Bagaimana tanggapan Prof untuk meluruskan ini?
Kuncinya memang public opinion makers, pertama adalah dokter, kemudian ulama, guru, kalau sekarang influencer dan media. Pada waktu itu kita buat pelatihan dan kita baru tahu bahwa anak-anak SMA atau kuliah mana mau dengerin mbah-mbah kaya saya.
Jadi kita buat pelatihan anak-anak OSIS yang melakukan penyuluhan ke teman-teman sebayanya. Kita menyasar mall karena jumlah remajanya lumayan banyak supaya mereka dapat mencegah tertular HIV/AIDS.
Prof kalau dari pengamatan Anda bagaimana penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terutama di wilayah Papua?
Ya, masih serius, estimasi kita masih sekitar 560 ribuan. Masalahnya yang minum obat tidak continue dan yang butuh obat banyak.