Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Minggu 8 Mei 2022: Gembala Berbau Domba

Gereja saat ini melaju dalam gelombang revolusi sosial dan kultural dahsyat. Dunia politik sedang dilanda revolusi populisme kanan.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
RP. Steph Tupeng Witin SVD 

Biasanya, mereka bermalam, mengunjungi umat, memberi sakramen, rayakan Ekaristi, mendengarkan suara umat.

Model pastoral ini perlahan memudar kalau tidak mau disebut “menghilang” dari reksa pastoral milenial.

Paus Fransiskus mengajak para Gembala agar menggerakkan pastoral blusukan untuk membangun jembatan penghubung, merangkul sesama, serta menyentuh realitas penderitaan.

Gagasan pastoral blusukan Paus Fransiskus ini mendapat peneguhan dalam Ensiklik Evangelii Gaudium (Sukacita Injili) dimana ia mengajak komunitas Katolik agar membuka pintu Gereja selebar-lebarnya. Gereja bukan untuk yang sempurna, melainkan bagi siapa saja yang ingin mencari Tuhan.

Paus memprioritaskan Gereja bagi orang miskin, Gereja yang memar, terluka, sakit karena menjumpai orang.

Lebih baik sakit karena melayani ke luar, daripada sakit karena diam di dalam dan sibuk dengan dirinya sendiri. Sebab kemapanan dapat menyebabkan Gereja sakit secara spiritual.

Gaya pastoral blusukan sebenarnya bukan barang baru bagi Gereja Katolik. Para misionaris zaman dulu sudah mempraktikkan model pastoral blusukan itu dalam karya misi.

Jantung Gereja adalah misi. Pewartaan Injil harus ikut menegakkan keadilan supaya bermakna. Semangat ini selaras dengan dokumen Redemptoris Missio yang menegaskan bahwa hakikat Gereja adalah misioner.

Ciri kehidupan misi adalah kegembiraan batiniah yang berasal dari iman. Misionaris adalah manusia yang cinta akan Kristus, Gereja, dan lingkungan hidup.

Tanpa cinta, semuanya tidak akan menjadi bermakna. Gereja mesti berwajah orang miskin, para pencari Tuhan yang memar, terluka, sakit dalam perjumpaan yang menyatukan menuju pertobatan dunia.

Pertobatan Gereja ini akan menjadi energi spiritual untuk melawan apa yang oleh Paus Fransiskus digambarkan sebagai bahaya “globalisasi ketidakpedulian”.

Budaya berkecukupan dan mengejar kemakmuran menjadikan orang cenderung hanya memikirkan diri sendiri.

Akibatnya, orang tidak peduli dengan jerit tangis orang lain. Hidup hanya seperti sabun: yang tampak indah adalah busa tapi tak berisi.

Penuh bayangan kosong, tertutup, dan tidak peduli pada sesama. Itulah globalisasi ketidakpedulian yang sedang melanda masyarakat dewasa ini (HIDUP 18/01/2018).

Bagaimana menjadi gembala berbau domba dalam konteks Biblis?

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved