Opini
Pendidikan Membangun Peradaban Bangsa
Sebagian elite negeri ini menghabiskan engerginya hanya untuk hal-hal yang bersinggungan dengan perasaan seperti gengsi, nama baik, kehormatan
Ritual ini dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan nama baik setelah kegagalan melaksanakan tugas dan/atau kesalahan untuk kepentingan rakyat.
Seppuku juga adalah bagian dari kode kehormatan bushido, dilakukan oleh samurai secara sukarela. Si samurai memegang prinsip lebih baik mati secara terhormat daripada tertangkap musuh (dan disiksa).
Di samping itu seppuku juga merupakan bentuk hukuman mati bagi samurai yang telah melakukan pelanggaran serius atau perbuatan lain yang memalukan.
Dalam arti tertentu seppuku dapat disejajarkan dengan semboyan rakyat Indonesia yang amat dikenal pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah.”
Maka dalam konteks ini, kebesaran jiwa dapat disematkan dalam diri seorang Kaisar Hirohito. Sebab hanya orang yang memiliki jiwa besar (agung) yang dapat mengambil keputusan yang berani dan tepat seperti itu, apalagi dalam kondisi genting dan mencekam yang mengancam keselamatan banyak orang.
Termasuk kecermatan dan kehati-hatian yang menyertai pengambilan keputusan tersebut. Sebab keputusan itu pula yang amat menentukan mati dan hidupnya seluruh rakyat Jepang.
Kebesaran jiwa sang Kaisar diungkapkan dalam kata-kata yang tegas dan penuh keyakinan sebagai berikut: “Meneruskan peperangan hanya akan menambah kesengsaraan rakyat Jepang, kondisi negara tidak akan mampu untuk bertahan cukup lama dan kemampuan mempertahankan pesisir pantai saja sudah diragukan. Sangat sulit melihat tentara yang setia dilucuti…, tetapi saatnya menanggung apa yang tidak tertanggungkan. Saya menyetujui proposal untuk menerima proklamasi Sekutu (Posdam) yang garis besarnya ada di menteri luar negeri.”
Pernyataan di atas membuktikan bahwa Kaisar Hirohito mengabaikan kepentingan diri dan kelompoknya. Dia membuang jauh-jauh perasaan gengsi dan egoisme yang menyesatkan.
Ia meletakkan nasib rakyat di atas segala-galanya. Ia bukan hanya mendengar laporan tentang kondisi yang terjadi pada waktu itu, tetapi ia merasakan dan mengalaminya sendiri.
Dia melihat kenyataan yang amat mengerikan: reruntuhan bangunan telah menjadi puing-puing yang berserakan tak menentu. Sungguh tak terkira banyaknya tubuh rakyat Jepang yang tak bernyawa bergelimpangan begitu saja.
Sekali lagi, kebesaran jiwa Kaisar Hirohito menemukan momentumnya yang tepat pada waktu itu. Sebab jika mengikuti logika hukum duniawi, gigi ganti gigi, mata ganti mata, nyawa ganti nyawa, maka Sang Kaisar akan mengikuti keinginan para Jenderalnya (melanjutkan perang) yang sangat kuat dipengaruhi tradisi seppuku.
Dalam perspektif duniawi juga, adalah sangat sulit menerima apalagi mengaku kalah, karena hal itu berpautan erat dengan gengsi, kehormatan, ‘nama baik’, kewibawaan, dan prestise. Sesuatu yang inheren pada diri manusia.
Namun ia memilih untuk menanggung segala risiko termasuk rasa malu demi sesuatu nilai yang lebih besar.
Kaisar Hirohito membuktikan itu dalam kata-katanya sendiri sebagai berikut: “…, saatnya menanggung apa yang tidak tertanggungkan.”
Eksistensi Jepang sebagai sebuah negara dan keselamatan rakyatnya adalah nilai tertinggi bagi Kaisar Hirohito.