Breaking News

Opini

Pendidikan Membangun Peradaban Bangsa 

Sebagian elite negeri ini menghabiskan engerginya hanya untuk hal-hal yang bersinggungan dengan perasaan seperti gengsi, nama baik, kehormatan

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong 

Pendidikan Membangun Peradaban Bangsa 

Oleh:  Arnoldus Nggorong

POS-KUPANG.COM - Dalam acara “Seminar Pendidikan Nasional Menyongsong 100 Tahun Indonesia Merdeka” Lemhanas di Jakarta pada tanggal 4 September 2013, Arif Rahman, Pakar Pendidikan, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, “Jika negara ingin maju, bukan politik atau ekonomi, melainkan pendidikan yang harus menjadi panglima dalam pembangunan bangsa” (Kompas, 5/9/2013).

Pernyataan Arif Rahman di atas mengingatkan kita akan salah satu tokoh penting yang amat dikenal dalam Perang Dunia II, bahkan hingga saat ini terutama oleh rakyat Jepang. Dia adalah Hirohito nan jenius lagi berjiwa besar.

Wikipedia mencatat, dia adalah Kaisar Jepang yang ke-124. Dia dikenal dengan nama Kaisar Shōwa (artinya damai, cerah budi) dan menjadi Kaisar dengan masa kekuasaan paling lama di negeri Sakura yakni 1926-1989.

Kaisar yang ‘jenius’ dan ‘berjiwa besar’

Dikatakan jenius dan berjiwa besar karena dialah yang amat menentukan nasib rakyatnya pada waktu itu, ketika Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu.

Jepang bertekuk lutut kepada Amerika dan sekutunya, setelah peristiwa penjatuhan bom atom dengan daya ledak yang amat dahsyat di dua kota yakni Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945).

Bom atom itu pun memakan korban nyawa sangat banyak. Sebagian besar korban adalah warga sipil. Korban tewas di Hiroshima berkisar 90.000 – 146.000 orang, sedangkan di Nagasaki sekitar 39.000 – 80.000 orang.

Dampak bom atom yang meluluhlantakkan dua kota tersebut membuat Kaisar Hirohito harus mengambil keputusan yang berani dan tepat.

Keberanian dan ketepatan mengambil keputusan merupakan buah dari kejeniusan dan kebesaran jiwa seorang Kaisar Hirohito, yang sangat dihormati oleh rakyat Jepang karena dipandang sebagai keturunan dari dewi matahari Amaterasu.

Keputusan yang diambil Kaisar Hirohito pada waktu itu bukanlah tanpa tekanan. Dia mendapat tekanan yang luar biasa, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.

Tekanan dari luar negeri adalah pihak Sekutu yang terus meningkatkan serangan terhadap Jepang terlebih dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tanda-tanda kekalahan Jepang mulai tampak di mana kondisi Angkatan Lautnya yang hampir habis dan Angkatan Daratnya pun mulai kewalahan.

Sementara secara internal tekanan datang dari para jenderalnya terutama Jenderal Angkatan Darat yang masih ingin melanjutkan perang yang terungkap dalam konferensi 6 besar.

Sebab Jepang memiliki tradisi yang dikenal dengan seppuku atau hara-kiri. Seppuku adalah suatu bentuk ritual bunuh diri dengan cara merobek perut dan mengeluarkan usus.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved